Gisel mendapatkan ide gila dari keluarganya, yaitu untuk memb*nuh Evan—suaminya. Karena dengan begitu, dia akan terbebas dari ikatan pernikahannya.
Mereka bahkan bersedia untuk ikut serta membantu Gisel, dengan berbagai cara.
Apakah Gisel mampu menjalankan rencana tersebut? Yuk, ikuti kisahnya sekarang juga!
Jangan lupa follow Author di NT dan di Instaagram @rossy_dildara, ya! Biar nggak ketinggalan info terbaru. Sarangheo ❣️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31
Ceklek~
Umi Mae perlahan membukakan pintu, saat sebelumnya bel rumah berbunyi.
Melihat Gisel sudah pulang, segera Umi Mae menyambutnya dengan hangat. Bahkan langsung memeluk tubuhnya.
"Alhamdulillah ... kamu udah pulang, Nak?"
"Ee-eh, Umi." Gisel merasa terkejut, dengan pelukan Umi Mae secara tiba-tiba itu. Dia pun segera mengulas senyum ketika pelukan itu perlahan terlepas. "Assalamualaikum, maaf kalau aku lupa mengucapkan salam." Gisel segera meraih tangan Umi Mae dan menciumnya.
"Walaikum salam, nggak apa-apa, Nak." Umi Mae mengangguk, lalu menatap sekeliling halaman rumah untuk mencari-cari keberadaan Arga. "Di mana Papamu, Nak? Apa dia langsung pulang?"
"Papa?!" Gisel kembali terkejut. "Umi tau, ya, aku pergi sama Papa tadi?"
"Iya, Umi nggak sengaja lihat, Nak," jawab Umi Mae dengan lembut, lalu merangkul Gisel dan membawanya untuk duduk bersama di sofa ruang tengah. "Umi boleh nggak sih, Nak, tanya sesuatu sama kamu?"
"Tanya apa, Umi? Katakan saja."
"Apa kamu ada masalah, dengan Papa atau keluargamu?" Umi Mae menatap Gisel penasaran. Wajah menantunya itu tampak murung sekali semenjak sampai rumah. Umi Mae sangat yakin, jika itu semua lantaran Gisel ada masalah yang dipendam. "Kamu bisa ceritakan ke Umi, barangkali Umi bisa membantumu, Nak."
"Sebelumnya terima kasih, Umi, atas perhatiannya. Tapi aku sama sekali nggak ada masalah kok dengan mereka," jawab Gisel berasalan. Dia tersenyum hangat.
"Syukurlah ...." Meskipun telah mengucap syukur, tapi nyatanya hati Umi Mae sama sekali tak merasa lega. Entah mengapa dia justru berpikir Gisel seperti sedang berbohong. "Kalau masalah ditempat lain, ada nggak? Semisalnya sama Evan atau di tempat kerjaan gitu?"
"Enggak ada, Umi. Semuanya baik-baik saja." Gisel menggeleng, masih berusaha untuk meyakinkan.
'Apa hanya perasaanku saja, kalau Gisel seperti sedang berbohong? Ah semoga saja memang benar, dia nggak ada masalah apa-apa. Tapi alasan Gisel memiliki suntikan itu apa, ya?' batin Umi Mae
Ada rasa ingin bertanya tentang hal itu, namun dia teringat ucapan Evan yang memintanya untuk menyembunyikan benda itu lebih dulu. Otomatis, Umi Mae juga tidak perlu membahasnya sekarang.
Dengan lembut, Umi Mae mengusap rambut Gisel. "Umi cuma khawatir aja kok sama kamu, Nak, soalnya dari kemarin malam Papamu datang ke rumah mencarimu. Tapi kamu 'kan lagi pergi sama Evan."
"Oohh ... mungkin itu alasan Papa juga kali tadi, sampai datang lagi ke sini. Barangkali memastikan aku udah pulang atau belum," kata Gisel mencoba menebak-nebak. Umi Mae mengangguk.
"Iya. Dan Umi sarankan ... meskipun kamu sudah menikah dan tinggal bersama suami, tapi kamu harus sering berkomunikasi dengan orang tua atau keluargamu, Nak. Lewat hape juga nggak apa-apa, kalau memang nggak bisa ketemu langsung. Soalnya Papamu sendiri sempat mengatakan kalau kamu susah dihubungi dari kemarin, Nak."
"Kemarin itu hapeku lagi eror, Umi. Jadi mungkin itu penyebab aku susah dihubungi." Jika diawal sudah berbohong, jadilah Gisel terus mengatakan semuanya dengan kebohongan. "Tapi Umi tenang saja ... saran dari Umi mulai sekarang akan aku laksanakan. Terima kasih juga, karena Umi sudah begitu peduli sama aku."
"Sama-sama, Nak." Umi Mae kembali memeluk Gisel. "Umi sayang padamu, Umi mau kamu selalu bahagia."
Dapat Gisel rasakan sentuhan itu sangat lembut dan hangat, tampaknya Umi Mae benar-benar tulus menyayanginya.
'Bagaimana, ya, kalau Umi sampai tau aku selama ini berniat memb*nuh anaknya? Pasti dia akan berubah membenciku, dan bagaimana ini??' batin Gisel yang tiba-tiba teringat ucapan Arga. Mendadak dia menjadi dilema, karena waktunya hanya tinggal besok. 'Tapi kalau aku nggak berhasil meracuni Evan, cara apa kira-kira yang akan Papa lakukan? Memangnya Papa berani, ya, melakukannya secara langsung?? Apa dia nggak takut masuk penjara? Aku saja 'kan takut masuk penjara.'
Drringggg!!
Ponsel Umi Mae tiba-tiba berdering di dalam kamar, suaranya terdengar nyaring memecah keheningan sesaat.
Dengan perlahan, Umi Mae melepaskan pelukan lalu berdiri.
"Umi mau lihat hape dulu ya, Nak. Ada telepon," pamit Umi Mae seraya melangkah pergi meninggalkan Gisel.
Sementara Gisel, memilih untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri.
"Adduuhh ... kok tiba-tiba gatel begini?" keluh Gisel saat merasakan kedua selangkangannya terasa gatal yang begitu sangat. Segera dia menuju kamar mandi dan melepaskan celananya.
Dia pun menyadari jika semua itu terjadi karena dirinya yang memakai celana dalaam baru. "Aahh ini pasti gara-gara celana dalaam baruku. Bang Evan nih maksa beli kemarin, jadi iritasi 'kan," kesalnya, lalu berjongkok di atas kloset berniat membuat air kecil.
*
"Evan?!" Umi Mae terkejut melihat anak bungsunya kembali menelepon. Bergegas dia mengangkat panggilan itu. "Halo, iya, Nak?"
"Assalamualaikum, Umi. Apa Umi bisa keluar sebentar lewat pintu belakang? Sambil membawa suntikan yang Umi maksud tadi pagi."
"Walaikum salam. Memang kenapa, ya, Nak?"
"Aku udah sampai di rumah, Umi. Tapi aku nggak mau ketemu Gisel. Jadi kita ketemu di belakang rumah saja, ya?"
"Lho, kenapa kamu nggak mau ketemu Gisel, Nak? Apa ada masalah?" Rasa khawatir Umi Mae pun kembali muncul.
"Enggak, cuma aku lagi males ribet aja, Umi. Nanti Gisel pasti tanya-tanya kenapa aku udah pulang. Soalnya niatku pulang juga sebentar kok, cuma mau mengambil suntikan doang."
"Oohh begitu. Ya sudah ... tunggu sebentar ya, Nak. Umi akan keluar."
"Iya, Umi. Aku tunggu."
Umi Mae lantas mematikan panggilan, lalu mengantongi suntikan yang dia ambil di dalam lemari.
Setelah itu, dia melangkah keluar dari kamar dan menemui Evan lewat pintu belakang rumah. Kebetulan pintu kamar Gisel juga sudah tertutup rapat.
"Ini, Nak." Umi Mae menjulurkan tangannya, memberikan benda tersebut ke tangan Evan. Pria itu langsung mengambil dan memerhatikannya dengan teliti secara bolak balik.
^^^Bersambung....^^^
jadikan ini sebuah pelajaran berharga didalam kehidupan bang evan, ternyata berumah tangga itu butuh ketulusan hati, cinta dan kepercayaan, jika didasari dengan kebohongan apalagi sampai ingin melenyapkan itu sudah keterlaluan
buat kak Rossy semangat 💪, jujur aku suka ceritanya kak, seru buatku, malah selalu nunggu up tiap hari
alurnya itu unik dan bikin penasaran cuman pas up pendek banget thor🥲
sabar bang Evan masih ada Risma yang setia menunggu
jangan cepat ditamatin 😭