Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Pergi
Dengan jalannya yang pincang, Anindya melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan perlukah ia meminta restu pada dia, suaminya. Sedang, pria itu pun tidak pernah menganggap ada keberadaannya. Bagi Anindya, apalah artinya hidup di tempat mewah dengan segala kemudahannya, tetapi tidak pernah dihargai di sana.
“Begitukah caramu menghindar dari masalah? Sudah menyerah cuma sampai sini? Tidak mau mencari solusi?” tanya pria itu yang tidak lagi menghalangi jalan Anindya.
Tentu, Anindya tetap berjalan sesuai kemaunnya selagi tidak ada yang jadi penghalang, maka itulah kesempatan.
“Berhenti, Anindya!” pinta Arsatya yang tidak juga digubris meski dengan suara yang ditekan lembut supaya tidak terbawa emosi.
Demi apa, Anindya bertingkah seperti anak baru gede yang bebal dan tidak mau mendengarkan apapun yang keluar dari mulut suaminya.
Sampai dia berada di bibir pintu, tidak ada tanda-tanda dia akan memutar langkah atau menyesal setelah mengucapkan kata pergi.
“Inilah caraku marah, sejak kemarin aku sudah sabar, tapi aku tidak bisa sesabar itu hanya untuk menghadapimu,” ujar Anindya dalam hati.
Akhirnya, Arsatya yang mengalah. Dia yang menekan kuat-kuat egonya dan mengejar Anindya sebelum wanita itu nekat benar-benar pergi dari rumahnya.
Arsatya menahan lengan Anindya hingga tubuh wanita itu berbalik menghadapnya, “Nin, ini bukan keputusan yang tepat jika kamu pergi. Jangan bertingkah seperti bocah. Aku minta maaf jika memang aku yang salah, aku tidak punya banyak waktu hanya untuk meladenimu yang suka kabur-kaburan seperti ini,” ucap pria itu panjang lebar demi menghalangi Anindya untuk pergi.
Mendengar itu, Anindya yang semula enggan menatap membuat mata Anindya terbuka lebar dan sontak menatap pria yang sedang menahan lengannya. Ada beberapa kalimat yang Anindya rasa tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Dalam hati dia berkata, “Suka kabur-kaburan apanya? Kapan? Mengada-ada saja! Selama ini aku bertahan di sini.”
Namun, ada yang lebih mengganggu daripada itu, alis mata Anindya mengerut, “Apa kamu bilang barusan?” saut Anindya pada akhirnya.
“Katamu, 'Jika memang kamu yang salah'? Sudah jelas di sini kamu yang salah. Kenapa masih berkata 'jika'?!” sentak Anindya yang sudah geram, pria di depannya sungguh memuakkan di matanya.
“Hah? Memangnya dimana salahku?” tanya Arsatya seolah tidak tahu dan berhasil memancing amarah Anindya.
“Cih, maling mana mau ngaku maling. Dengar, ya!Selama aku di sini, kamu selalu yang pertama memb–” ucap Anindya yang tidak diteruskan, hanya berakhir dengan menghela napas panjang.
“Huh, tidak ada untungnya aku menyebutkan satu per satu kesalahanmu jika kamu saja tidak sadar dimana salahnya. Sudahlah, yang waras mengalah, Anin,” ucap Anindya melanjutkan di dalam hati.
Anindya menepis tangan yang menyentuh jemari tangannya dari arah belakang. Dan, kini, pria itu berdiri tepat di depan Anindya untuk menghalangi langkahnya.
“Sumpah, aku tidak ingin berlama-lama berbicara dengan pria ini!”
“Pergi kemana? Kenapa bawa koper segala?” tanya Arsatya yang mengikuti arah jalan Anindya, ke kiri dan kanan hanya untuk menghalangi langkah Anindya.
“Tidak bisa, aku tidak izinkan!” ujarnya lagi.
Anindya mengembuskan napas berat, lelah, dan jengah saat langkahnya selalu dihalangi, “Minggir. Nanti aku bisa tertinggal kereta,” ucap Anindya setelah sekian lama membisu.
“Kereta? Kereta kemana?” tanya Arsatya yang kebingungan. Bukan taksi atau mobil yang dipesan online, tapi yang Anindya sebut malah kereta.
“Kenapa kereta, mau kemana?” tanya Arsatya lagi.
Anindya mendesah, memutar bola matanya jengah, “Pergi bimbingan. Kamu, lupa?”
"Dan sebenarnya aku tidak ingin kembali le rumah ini lagi untuk sementara waktu," lanjutnya dalam hati.
Duar! Arsatya tertegun.
Bahkan dua hari yang lalu mereka baru saja membicarakan hal itu. Namun, selama dua hari itu pula mereka lewati dengan serangkaian kejadian rumit hingga nyaris terlupa dengan agenda penting yang harusnya dilakukan hari ini.
Sejujurnya, Arsatya merasa aneh karena tidak biasanya Anindya membawa koper jika hanya untuk pergi bimbingan selama satu atau dua hari, tetapi pria itu enggan bertanya lebih dan daripada tidak tenang hati, maka dia akhirnya membuat keputusan.
“Okey, tunggu sebentar. Aku antar!” ujar Arsatya pada akhirnya.
Anindya melihat layar ponselnya, jam digital menujukkan jika waktu terus berjalan dan sudah banyak terbuang sia-sia. Kini, hari semakin siang sehingga memang perlu untuk diantar supaya cepat sanpai stasiun tujuan.
“Sampai stasiun, kan?” tanya Anindya saat pria itu berjalan masuk ke dalam rumah.
“Sampai Jogja!” balas Arsatya
Anindya melotot, “Hah? Mana mungkin?” lirihnya yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.
Benar, saat mobil melintas jalan yang seharusnya ke arah stasiun, tetapi Arsatya melewatinya begitu saja. “Keretaku setengah jam lagi. Kita mau kemana?”
“Sudah kubilang, kan?” jawab Arsatya yang menatap Anindya dari spion depan. Tidak perlu diperjelas, apa yang sudah dikatakan akan tetap dilaksanakan bahwa dia akan mengantar sampai kota tujuan.
Anindya memalingkan wajah, dia sungguh kesal dengan pria yang suka seenaknya sendiri menurutnya.
“Bagaimana pun, Ansha Chesa membutuhkanmu. Aku tidak mau mendengar suara tangis mereka setelah kau pergi,” ujar Arsatya kemudian.
Anindya yang enggan menatap ke depan dan hanya melihat ke samping jendela pun berdecih, “Dasar tidak bertanggung jawab,” cibir Anindya dengan suara lirih yang mungkin bibirnya pun seolah tidak bergerak.
Namun, yang di depan sana ternyata mendengarnya, “Kalau tidak tanggung jawab sudah kubuang mereka ke panti asuhan,” jawab Arsatya dengan entengnya.
Sontak Anindya melotot, lalu melirik pada dua bayi yang pulas dalam tidurnya. “Memang gak waras bapak kalian, mending aku bawa pergi saja kalian bersamaku,” lagi-lagi Anindya berbicara lirih seolah tidak ada orang lain yang mendengarkan.
“Tapi, tidak jadi karena kalau tidak ada mereka, aku akan jadi sebatang kara juga, Nin. Ditinggal istri, ditinggal anak, merana di hari tua.”
Tentu, Anindya tidak merasa iba sama sekali. Jangankan iba, Anindya bahkan tidak memberikan tanggapan apapun karena saat ini Anindya menganggap tidak ada orang di sekitarnya kecuali si kembar yang berada di sampingnya.
Dan suara-suara yang didengarnya sejak tadi itu, Anindya anggap seperti embusan napas yang tidak penting dan sudah sepantasnya diabaikan.
...🦋🦋🦋...
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano