Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nesha di visum
Nesha diam tertunduk di tepian ranjang. Ia merasa bersalah pada Garvi karena sudah ikut terseret ke dalam masalah yang ditimbulkannya.
Garvi pun masih tampak menelepon seseorang setelah masuk ke dalam kamar bersamanya. Ia tampak tegas berwibawa meski ia hanya memakai kaos dan celana bahan. Membuat hati Nesha semakin menciut.
Tak lama kemudian, Garvi menghampirinya setelah selesai dengan urusannya di telepon.
"Kamu pasti kesakitan", ujar Garvi seraya mengusap sudut bibir Nesha yang masih menyisakan setitik darah.
"Saya nggak apa-apa, Mas", jawab seraya mengusap punggung tangan Garvi.
"Maaf kan saya, Mas. Saya selalu saja membawa masalah buat kamu."
Garvi terdiam sejenak menatap manik hitam Nesha yang sudah tergenang.
"Kenapa sih kamu cengeng banget? Kalau ada yang nyakitin kamu, balas saja".
Nesha mendongakkan kepala menatap Garvi.
"Saya sudah melawan kok, Mas".
Garvi menghela nafas. Ia merasa kasihan pada istrinya karena selalu mendapatkan perlakuan tak adil di rumahnya sendiri. Padahal seharusnya rumah adalah tempat ternyaman dan teraman bagi seorang anak, tapi di rumah ini Nesha seperti orang asing yang kehadirannya tak diinginkan.
"Ayo pindah ke rumahku. Di sana kamu pasti aman dan nyaman. Nggak akan ada orang yang bisa menyakitimu".
"Rumah ibumu, Mas?"
"Bukan. Rumahku sendiri".
Nesha terdiam sejenak seraya meremat ujung kaosnya.
"Saya ijin sama bapak dul—"
"Bapak udah ngijinin kita pindah. Aku udah bilang sama bapak jauh hari".
"Baiklah kalau memang itu kemauan kamu, Mas."
Tak lama kemudian terdengar dua mobil terpakir di halaman rumah.
"Itu pasti Azka dan Dokter Frans datang". Garvi mengajak Nesha untuk keluar kamar.
Benar saja, ada beberapa orang yang datang. Nesha hanya mengenali Dokter Frans. Lalu ia menatap seorang lelaki yang tampak seumuran dengan suaminya, ia yakin kalau itu adalah Azka.
Mendengar kedatangan mobil, semua orang pun keluar dari kamarnya. Bu Rumi dan Nisha terperanjat ketika melihat dua orang polisi yang masuk ke dalam rumah beserta orang-orang asing lainnya.
Pak Edi pun ikut panik. Ternyata omongan menantunya itu sungguhan, bukan hanya ancaman belaka. Sekali lagi ia menyuruh Bu Rumi, Nisha, dan Fandi untuk meminta maaf pada Garvi dan Nesha.
"Nisha sebelum terlambat, cepat minta maaf sama kakak iparmu dan Nesha".
"Pak jangan nyuruh kami minta maaf. Kami nggak takut. Garvi itu cuman akting." Bu Rumi tetap dengan pendiriannya.
Nesha tampak diperiksa oleh dokter visum dari rumah sakit dan juga Dokter Frans. Garvi pun sibuk berbincang dengan kedua polisi itu dengan akrab seraya menjelaskan kronologi kejadian.
Pak Edi mendekati Nesha yang sedang diperiksa. "Maafkan bapak yang nggak bisa melindungi kamu, Nak", ucap Pak Edi seraya menitikkan air mata.
"Apapun yang akan kamu lakukan pada adik dan ibumu, bapak pasrah, Nak".
"Saya hanya mengikuti perintah Mas Garvi selaku suami saya, Pak. Maafkan Nesha juga."
"Nggak apa-apa nak. Kamu sudah benar dengan mendengarkan suami mu dengan baik."
Nesha memeluk Pak Edi dengan linangan air mata yang mengalir deras.
"Halah drama!" sentak Nisha.
Nesha dan Pak Edi memilih diam, sudah malas menanggapi bualan Nisha ataupun yang lainnya.
Nisha yang masih congkak pun masih merasa berada diatas angin. Namun tak lama kemudian ponselnya berdering. Setelah menerima panggilan tersebut, tiba-tiba kakinya terasa lemas.
"Ada apa, Nis?" tanta Fandi panik seraya menopang tubuh Nisha yang berat karena perutnya yang semakin membesar.
"Mas.."
"Ada apa, Nis, katakan saja. Apa ada orang suruhan bede*bah itu yang mengancam kamu?" Fandi menatap tajam pada Garvi. Namun Garvi hanya memandang mereka remeh seraya menyeringai.
"Mas. Perusahaan minta ganti rugi seratus juta dan harus diserahkan hari jumat besok", ujat Nisha dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Darimana mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Sedangkan sekarang sudah hari rabu.
Fandi mengepalkan tangannya erat dan berjalan cepat menuju kearah Garvi. Ia sudah mengayunkan tangannya dan siap melayangkan pukulan ke wajah Garvi, namun dengan cepat tangannya ditangkis oleh Garvi. Bahkan cekalan tangan Garvi lebih kuat darinya, sehingga ia tak bisa memberontak.
"Pak lihat ini! Dia memegangiku dengan erat! Ini sudah termasuk dalam penganiayaan!" Fandi berteriak seperti orang kesurupan. Namun kedua polisi tersebut hanya diam. Mereka tahu kalau Garvi hanya menangkis pukulan.
"Haduh ada drama apa lagi di rumah ini?" Teriak Bu Endang dari luar rumah.
Garvi pun berbalik dan melihat keadaan sekitar yang sudah penuh dengan warga yang berkumpul di depan rumah. Sebenarnya mereka sudah berkumpul sejak tadi setelah melihat ada mobil mewah yang masuk pekarangan dan juga mobil polisi yang terparkir di pinggir jalan. Mereka baru berani mendekat setelah mendengar teriakan Fandi.
"Ngapain kalian kesini?! Cepat pergi!" Teriak Bu Rumi mengusir para warga.
"Oalah suami Nisha lagi cari masalah tuh sama suaminya Nesha!" celetuk Bu Endang yang mulai memahami situasi. Lalu terdengar riuh suara bisik-bisik dari warga lainnya.
"Jaga mulutmu!" Lagi-lagi Bu Rumi berteriak. "Ini semua salahmu yang sok-sokan pura-pura jadi orang kaya!" Tuduh Bu Rumi sambil menunjuk-nunjuk di depan wajah Garvi.
Kelakuan Bu Rumi pun semakin menjadi bahan omongan warga. Namun Garvi memilih diam tanpa melawan perkataan ibu mertuanya.
"Cukup, Bu!" Sentak Pak Edi. "Jangan menyalahkan orang yang nggak bersalah!" Pak Edi berdiri dari duduknya dan menghampiri Bu Rumi.
"Bela terus! Belain aja tuh menantu dan anakmu! Aku muak selalu bersikap baik pada anakmu yang nggak tahu diri itu!"
"Istighfar, Bu" Pak Edi memohon dengan raut wajah yang sendu. Air mata sudah tak sanggup ia bendung mendengar perkataan Bu Rumi.
"Anakmu itu seperti benalu dalam hidupku! Mengingatkanku dengan Ambar yang sudah mati!"
Semua orang pun tercengang mendengar ucapan Bu Rumi. Terutama Nisha dan Nesha yang mencoba mencerna apa maksud perkataan ibunya.
Air mata terus mengalir deras di pipi Pak Edi. Ia tak menyangka bahwa istrinya memendam perasaan dendam pada Nesha yang tak tahu apa-apa. Ia pikir selama ini sikapnya terhadap Nesha hanya karena membela Nisha. Namun ternyata terselip rasa amarah terhadap masa lalu yang ia lampiaskan pada anak yang tak bersalah.
"Pak, apa maksud ibu?" Tanya Nesha yang selesai melakukan visum dan menghampiri Pak Edi dan Bu Rumi.
Bu Rumi memilih diam setelah melontarkan kalimat kejam menyayat hati. Ia bahkan tak bermaksud menjelaskan pada Nesha.
"Bu, apa maksud ibu?" Nesha masih mencoba mencari jawaban.
"Apa kamu sudah di periksa?" Tanya Pak Edi mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Pak. Jadi apa maksud Ibu, Pak?"
"Nanti bapak akan jelaskan sama kamu kalau suasana sudah tenang ya, Nak?"
Melihat sikap lembut Pak Edi, membuat Nesha akhirnya menyerah dan menuruti perkataan bapaknya.