Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Setelah kejadian itu, Aku masih sering terdiam melamun sedikit ketakutan. Masih terbayang dengan jelas wajah mengerikan Aksara tadi.
Kak Furqan dan rekannya sedang beberes restorannya itu. Tiba-tiba 2 orang polisi dengan Aksara mendatanginya.
"Permisi Mas," sapa Polisi itu masuk ke dalam resto.
Aku langsung berdiri dan bersembunyi di balik tubuh Kak Furqan dengan rasa takut melihat Aksara.
"Ada apa ya Pak?" tanya Kak Furqan dengan ramahnya.
"Begini Mas, Kami dapat laporan dari Pak Aksara karena Mas sudah melakukan penganiayaan terhadapnya," ungkap Pak Polisi.
Kak Furqan sedikit terkekeh mendengarnya, "bapak harusnya tanya ke pelapor, sebelumnya dia melakukan hal apa sehingga saya berbuat seperti itu."
Kedua polisi itu kebingungan, mereka menoleh pada Aksara yang berdiam diri di ambang pintu restoran.
"Bawa aja dia, Pak!" pinta Aksara dengan lantang.
"Mas bisa jelaskan lebih lanjutnya di Kantor Polisi, kita hanya bertugas menjalankan laporan dari Pak Aksara saja," kata Pak Polisi.
Kak Furqan setuju untuk dibawa ke Kantor Polisi. Aku segera menahan tangannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dia menangkup pipiku dengan tatapan sendunya, "hey gak usah nangis, Kakak cuman mau jelasin semua yang terjadi tadi."
"Tapi kalau Kak Furqan di penjara nanti gimana?" tanyaku mulai menangis.
Dia tersenyum sembari menghapus air mataku lembut. Kak Furqan menoleh pada Azril, rekan kerjanya yang sejak tadi hanya diam tidak mengerti.
"Azril, gw titip Nur dulu ya! Tolong antarkan dia ke Rumah sakit tempat Ayah gw di rawat," pinta Kak Furqan segera diangguki Azril setelahnya.
"Kak Furqan..." ucapku pelan.
Dia hanya tersenyum menoleh padaku sembari mengikuti langkah Pak Polisi keluar dari sana.
Setelah selesai beres-beres dan restoran tutup, Azril membawaku ke Rumah sakit tempat Ayah Kak Furqan di rawat.
Ibu Kak Furqan terlihat sedang duduk bersama Ica di depan ruang suaminya. Aku menghampiri mereka sendirian karena Azril hanya bisa mengantar aku hingga depan Rumah sakit.
"Mamah, Ica," panggilku membuat mereka menoleh.
Mereka tersenyum padaku, Ica dengan eratnya langsung memelukku rindu.
"Nur kok kamu tau kita di sini? Furqan-nya kemana?" tanya Ibunya Kak Furqan.
Aku terdiam mencari alasan tentang keberadaan Kak Furqan, "tadi Nur dianterin sama temennya Kak Furqan. Soalnya Kak Furqan ada lembur hari ini."
"Tumben banget dia lembur, biasanya udah pulang jam segini," gumam Ibunya merasa aneh.
"Katanya tadi tanggung Mah, jadi dia lembur dulu," alasanku untungnya membuat mereka percaya.
"Kakak kapan ke Surabaya?" tanya Ica.
"Kayaknya udah hampir seminggu Ca," jawabku.
"Udah lama di sini, kenapa Kak Furqan gak pernah bawa Kakak ketemu sama Ica," gumam Ica heran.
Ibunya hanya tersenyum mengerti dengan masalah kita berdua. Hanya saja, Ica memang masih belum mengerti tentang hal ini. Dia juga tidak diberi tahu tentang hubunganku dan Kak Furqan yang sempat renggang.
Karena Ica akan menginap bersama Ibunya di Rumah sakit. Aku pun memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Apalagi aku masih belum tenang karena Kak Furqan belum ada sedikitpun kabar.
Pagi harinya, Ayah Kak Furqan sepertinya sudah terlihat lebih segar. Dia juga sempat bertanya tentang Putranya yang semalaman tidak ada bersamaku.
Ibunya mulai curiga ada yang disembunyikan darinya. Dia membawaku keluar dari ruangan, "nur jawab jujur sebenarnya Furqan kemana?"
Aku kelimpungan menjawabnya bingung, kak Furqan..."
"Kenapa nanyain Furqan?" tanya Kak Furqan yang berjalan di belakang Ibunya.
Aku tersenyum lega bisa melihat dia baik-baik saja pagi ini. Untungnya tidak terjadi apa-apa.
Dia berdiri di sampingku menatap Ibunya, "furqan di sini Mamah. Mau apa nanyain Furqan?"
"Abisnya kamu tumben lembur gak ngabarin ke Mamah, apalagi selama di sini kayaknya kamu gak pernah lembur," ucap curiga Ibunya.
"Kan aku udah titip pesan ke Nur," katanya, "emang Nur gak sampein?" tanyanya seakan benar.
"Udah, tapi Mamah agak curiga kalian sembunyiin sesuatu," ucap Ibunya sembari menyipitkan matanya.
Kak Furqan terkekeh mendengarnya, "sembunyiin apaan sih Mah."
"Ya udah Mamah percaya sama kalian, awas aja kamu ya kalau nyuruh Nur buat sembunyiin sesuatu," peringat Ibunya.
Kak Furqan mengajakku untuk membeli sarapan bersama di depan Rumah sakit. Dia menggandeng tanganku seperti anak kecil yang takut hilang.
"Kak Furqan kok bisa bebas?" tanyaku sembari memakan bubur.
Dia menoleh padaku, "emangnya gak mau Kakak bebas? Mau calon suaminya di penjara?" tanyanya beruntun.
"Bukan gitu," kataku bingung.
"Kenapa Nur?" tanyanya menatapku yang menunduk sedih.
Aku menggelengkan kepalaku, "gak apa-apa."
"Gak apa-apa tapi sedih gitu, kenapa sih sayang, hmm?" tanyanya dengan lembut.
"Gara-gara Nur, Kak Furqan jadi dibawa ke Kantor Polisi," tutur-ku.
Dia tersenyum mendengarnya, "gak apa-apa kali Nur, kan cuman ditanyain aja. Kalau di penjara juga aku rela kok demi kamu apa sih yang enggak."
Aku mencubit pinggangnya tidak suka, dia terus menjawabnya dengan candaan.
Aw..
"Sakit Sayang!" keluhnya langsung menggenggam tanganku.
"Lagian di becandain terus. Kan aku lagi sedih, Kak Furqan malah santai sambil gombal," protes-ku.
"Ya udah iya, maaf ya!" ucapnya, "tapi makasih loh udah gak bicarain ini sama Mamah," lanjut Kak Furqan.
"Nur cuman gak mau keluarga Kak Furqan semakin banyak pikiran," jawabku, "lagian kan Kak Furqan juga gak salah. Jadi Nur yakin kalau Kak Furqan bakal balik."
Dia mengusak belakang kepalaku dengan tatapan senangnya, "makasih juga udah mau balikan sama Kakak."
"Emangnya siapa yang mau balikan?" usil ku.
Dia mengangkat alisnya protes, "kemarin kamu udah setuju kalau kita baikan."
"Iya kan itu baikan bukan balikkan, lagian balikkan ke hubungan apa," ujarku menahan tawa melihat wajahnya yang ditekuk.
Dia mendengus kesal sembari menatapku seperti anak kecil, "nur balikkan ya!" pintanya memohon.
"Iya balikkan ke hubungan apa Kak Furqan, kan kita belum ada hubungan yang jelas," tanyaku.
"Ya apa aja, calon tunangan, calon istri, pacar kek," ujarnya kukuh.
Dia menggoyangkan lenganku dengan wajah manjanya, aku menahan tawaku di sampingnya.
Banyak pasang mata yang menertawakan Kak Furqan dengan tingkah lakunya.
"Kak Furqan gak malu diliatin orang?" tanyaku berbisik padanya.
"Gak peduli yang penting kamu mau balikkan sama aku," kukuhnya.
"Iya aku mau, tapi sebagai apa kali ini?" tanyaku.
"Calon istri," jawabnya singkat.
"Yakin gak bakal ninggalin lagi kayak remaja labil?" tanyaku memastikannya.
Dia menggelengkan kepalanya cepat, "kan aku udah jelasin kemarin, kalau ninggalin kamu itu ada alasannya."
"Tapi ada syaratnya,"
"Apa syaratnya?"
"Kalau ada masalah kayak gini atau yang lain lagi harus dibicarain dulu berdua. Jangan main pergi-pergi aja!" pintaku. Dia mengangguk setuju dengan permintaanku.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica