HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32: Langkah di Hutan Kegelapan
Kabut tipis perlahan memudar seiring langkah kaki Halim dan Rian yang semakin dalam menembus hutan. Suasana sunyi, hanya ditemani suara angin yang sesekali berdesir di antara pepohonan. Aroma tanah basah bercampur dengan sisa darah dari pertempuran sebelumnya masih menyelimuti udara.
"Kak, kamu yakin kita nggak tersesat?" Rian bertanya dengan nada ragu.
"Percaya aja, Rian," jawab Halim santai sambil mengangkat dahan yang menghalangi jalan. "Kalau ada jejak makhluk sebesar serigala iblis, pasti gampang dilacak."
"Tapi kenapa rasanya makin mencekam ya?"
"Nah, itu tandanya kita udah deket."
Rian mendengus pelan, jelas tidak setuju dengan logika kakaknya. Namun sebelum dia bisa membalas, langkah mereka terhenti di sebuah area yang terlihat seperti bekas perkemahan.
Bekas api unggun yang telah padam tergeletak di tengah-tengah. Ada sisa makanan yang berserakan, menunjukkan bahwa para petualang sebelumnya pergi dengan tergesa-gesa. Di salah satu sisi, terdapat jejak kaki manusia bercampur dengan cakar besar yang menancap dalam di tanah.
"Sepertinya mereka sempat istirahat di sini," ujar Halim sambil berjongkok memeriksa jejak.
Rian menelan ludah. "Tapi nggak ada satu pun yang selamat..."
"Tepat." Halim berdiri, matanya menatap lurus ke arah barat, di mana jejak cakar itu mengarah. "Makanya kita harus tau apa yang sebenernya mereka hadapi."
Saat mereka melangkah lebih jauh, suara ranting yang patah tiba-tiba terdengar dari balik semak-semak. Halim segera menghunus pedangnya, sementara Rian bersiap dengan ketapel kecilnya — senjata yang entah kenapa dia bawa dari desa sebelumnya.
"Siapa di sana?" Halim berseru.
Tak ada jawaban, hanya suara napas berat yang terdengar semakin dekat. Dan akhirnya, sosok yang muncul membuat keduanya membeku.
Seekor beruang raksasa dengan bulu hitam pekat melangkah keluar dari balik pepohonan. Namun yang membuatnya mengerikan bukan hanya ukurannya, melainkan mata merah menyala yang menatap tajam ke arah mereka. Aura gelap samar-samar mengelilingi tubuhnya.
"Astaga... Beruang iblis," gumam Halim.
"T-Tunggu, kita lari aja, Kak!" Rian panik.
"Santai, Rian." Halim menyeringai. "Ini cuma beruang. Nggak seganas serigala iblis kok."
Tapi sebelum Halim bisa bergerak, beruang itu tiba-tiba mengaum keras, menggetarkan tanah di sekitarnya. Tanpa aba-aba, ia melompat ke arah mereka dengan cakarnya yang besar.
Halim melompat ke samping, menghindari serangan beruang itu dengan gesit. Rian, di sisi lain, sudah berlari sejauh mungkin sambil berteriak, "Kak, aku nggak mau mati muda!"
"Ya ampun, dasar pengecut!" Halim berteriak balik, kemudian berfokus pada lawannya.
"Fireball!"
Sebuah bola api melesat dari tangan Halim, menghantam beruang iblis di sisi tubuhnya. Namun serangan itu hanya membuat makhluk itu semakin marah.
"Serangan langsung nggak cukup... Harus cari celah."
Beruang itu kembali menyerang, mengayunkan cakarnya dengan kekuatan luar biasa. Halim melompat ke belakang, menghindari serangan bertubi-tubi sambil mengamati pergerakan lawannya.
"Kalau aku bisa mengenai matanya... mungkin ada peluang."
Halim mengangkat tangan, mengumpulkan energi sihir di ujung jarinya.
"Flare Shot!"
Sinar cahaya melesat cepat, membutakan beruang iblis untuk sesaat. Makhluk itu mengaum marah, mencoba mengusir cahaya yang menyakitkan matanya.
"Rian, sekarang!" teriak Halim.
"T-Tapi aku nggak siap!"
"Aku juga nggak siap jadi Kakak kamu, tapi tetap aja aku bertahan!"
Mendengar itu, Rian akhirnya memberanikan diri. Dia mengambil ketapelnya, mengisi batu kecil, dan membidik dengan tangan gemetar.
"Ambil ini!"
Batu itu melesat, mengenai hidung beruang iblis dengan cukup akurat. Meskipun tidak memberikan kerusakan berarti, serangan itu cukup mengalihkan perhatian beruang.
"Perfect!" Halim bergegas melompat ke atas kepala beruang, menghujamkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Bugh!
Beruang itu meraung keras sebelum akhirnya tubuhnya tumbang, menggetarkan tanah di bawahnya.
"Hah... Selesai juga."
Setelah memastikan beruang itu tidak bangkit lagi, Halim duduk di atas batu besar sambil mengatur napas. Rian datang menghampiri, wajahnya masih pucat.
"K-Kak... kita beneran menang?"
"Iya, kita menang." Halim tersenyum kecil. "Dan kamu juga hebat, Rian."
"Tapi aku cuma pake ketapel..."
"Kadang, yang sederhana justru yang paling efektif," ujar Halim sambil mengacak rambut adiknya.
Setelah memastikan area itu aman, Halim memutuskan untuk mendirikan tenda kecil di dekat sungai terdekat. Malam itu, mereka menikmati makanan seadanya sambil menatap langit berbintang.
"Kak, kamu pikir kita bakal sampai kapan di perjalanan ini?"
Halim menatap api unggun dengan tenang. "Sampai semua yang harus kita lakukan selesai."
Rian terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku harap kita bisa kembali dengan selamat."
"Kita pasti bisa, Rian." Halim menepuk bahunya. "Dan siapa tahu... mungkin kita juga bakal nemuin sesuatu yang lebih berharga di perjalanan ini."
Di kejauhan, suara serangga malam mengiringi percakapan mereka. Petualangan Halim dan Rian masih panjang, dan rahasia yang tersembunyi di kegelapan terus menanti untuk diungkap.
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.