Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SISI CUCU KAMI
Bugh
Sebuah pukulan mendarat dirahang kiri Dilan. Meski usianya sudah lebih dari setangah abad, tapi pukulan Pak Cholis masih kuat. Pria yang sehari-harinya bekerja menjadi kuli bangunan itu, memang memiliki tubuh yang masih bugar.
Bugh
Sekali lagi pukulan itu diterima Dilan tanpa perlawanan. Darah segar terlihat menetes dari sudut bibirnya yang pecah. Tak tega melihatnya, Vani membuang muka kearah lain.
"Ada apa ini?" tanya seseorang yang kebetulan lewat. Dia dan seorang temannya melihat dengan mata kepala sendiri saat Pak Cholis menonjok Dilan. Sekarangpun, pria itu masih mencengkeram kerah kaos Dilan yang posisi punggungnya membentur dinding.
"Tidak ada apa-apa," sahut Dilan. Pandangannya sedikit kabur karena dua pukulan keras dirahangnya.
"Mas yakin tidak ada apa-apa? Saya bisa panggilkan satpam kalau Mas mau," tawar orang tersebut. Di lorong VVIP memang lumayan sepi, jadi tak banyak orang yang lewat dan menyaksikan kejadian itu.
"Tidak Mbak, tidak ada apa-apa," Dilan kembali menegaskan.
Saat dua orang wanita itu menjauh, Pak Cholis bersiap kembali melayangkan tinjunya, tapi mendadak tubuhnya terasa lemas, dia seperti kehilangan tenaga. Air matanya mengalir bersamaan dengan tangan yang terlepas dari kerah kaos Dilan.
Vani menghampiri Bapaknya lalu memeluknya. "Kenapa kau lakukan ini pada putriku, kenapa?" Pak Cholis tak sanggup menatap Dilan. Dia membenamkan wajah basahnya dibahu Vani. Dadanya terasa sesak saat teringat kembali bagaimana putrinya menderita sampai ajal menjemput. "Kenapa kau hancurkan kehidupan putriku?"
"Maaf, maafkan saya," sahut Dilan dengan kepala tertunduk dalam. Dia menyusut hidung dan menyeka air mata yang meleleh dari sudut matanya. "Saya sungguh tidak tahu jika Rani hamil."
Kedua telapak tangan Pak Cholis kembali mengepal kuat. Dia melepaskan diri dari pelukan Vani lalu menonjok perut Dilan dengan sangat kuat.
Dilan mengerang tertahan sambil memegangi perutnya, sama sekali tak ada niat menghindar apalagi membalas. Dia bisa paham apa yang dirasakan Pak Cholis saat ini.
"Tidak tahu kau bilang? Apakah kau sangat bodoh hingga tak tahu jika perbuatanmu bisa membuat Rani hamil?"
"Kami kebablasan hingga tak berfikir kesana."
"Kebablasan!" pekik Pak Cholis.
"Saya dan Rani saling mencintai, kami melakukannya tanpa paksaan. Dan Rani tidak pernah mengatakan pada saya jika dia hamil. Dia pergi begitu saja saat saya ada di US."
Pak Cholis tertawa sambil menangis mendengar penjelasan Dilan. "Pintar sekali kau mengarang cerita. Kalau kalian saling mencintai, Rani tak mungkin depresi. Dia pasti akan minta pertanggung jawaban padamu."
"Demi Tuhan saya tidak sedang berbohong."
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan. Baru saja kau mengakui sudah berbuat zina, dan sekarang kau membawa nama Tuhan. Tak tahu malu."
Dilan tertohok dengan kalimat Pak Cholis barusan. Dia menunduk dalam, menunjukkan jika dia sangat menyesali perbuatannya.
"Yang Mas Dilan katakan benar, Pak. Dia tak tahu Kak Rani hamil," Vani membantu menjelaskan. Tapi penjelasannya justru membuat Pak Cholis makin murka. Dia menatap Vani tajam dengan mata memerah. "Kamu belum lupakan, apa yang sudah terjadi pada alm. Kakakmu? Bisa-bisanya kamu malah membela bajingan ini."
Vani menggeleng cepat. "Vani bukan membela, tapi itulah kenyataannya. Mas Dilan sama sekali tak tahu Kak Rani hamil. Mas Dilan juga sempat mencari Kak Rani dirumah lama kita, tapi kita sudah pindah. Vani sudah menanyakan hal itu pada Anita, dan dia bilang, memang pernah ada pria kota yang mencari Kak Rani." Anita adalah teman sekaligus tetangga Vani.
"Saya mencari Rani sesuai alamat di KTP nya, tapi orang lain yang tinggal disana. Mereka bilang, kalian sudah pindah," Dilan menimpali. "Jika saya tahu Rani hamil, saya pasti tanggung jawab. Jika memang saya ingin lari, tak mungkin saya datang untuk mencari Rani."
Penjelasan Dilan terdengar sedikit masuk akal. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal dihatinya.
"Kalau memang begitu, kenapa Rani sampai depresi?"
"Itu juga yang saya pikirkan," jawab Dilan.
Ceklek
Mendengar pintu ruangan Sisi dibuka dari dalam, ketiga orang yang sedang menangis itu cepat-cepat menyeka air mata. Ternyata Bu Mia yang keluar.
"Kalian ngapain diluar sejak tadi?" Bu Mia curiga melihat gelagat aneh mereka bertiga. "Ada apa ini? Dia sebenarnya siapa? Pacar kamu, Van?"
"Dia ayah kandungnya Sisi." Jawaban Pak Cholis membuat mulut Bu Mia langsung menganga lebar. Wanita itu berpegangan pada kusen pintu karena lututnya terasa lemas. Dia menatap Dilan nyalang, hendak menghampirinya tapi Pak Cholis menahannya. "Ayo masuk lagi, Bu. Kasihan Sisi sendirian didalam."
"Tapi pria ini yang sudah..."
"Sudahlah Bu, kita bahas nanti. Kasihan Sisi sendirian." Pak Cholis lalu menatap Dilan. "Pergilah dari sini. Kami tak ingin melihatmu lagi ada disini. Meskipun kau ayah kandung Sisi, tapi kau tak punya hak atas anak itu. Dia anak Rani, cucu kami." Pak Cholis menarik Bu Mia masuk kedalam ruangan Sisi. "Van, masuk," ujarnya sebelum kembali menutup pintu.
"Lebih baik Mas Dilan pulang dulu. Nanti aku bantu jelasin sama Bapak dan Ibu." Vani menuruti Bapaknya, masuk keruangan Sisi.
"Daddy mana?" Tanya Sisi saat melihat bibinya menutup pintu.
"Daddy pulang."
"Kenapa pulang? Biasanya disini terus?"
"Sekarang sudah ada Kakek sama Nenek, jadi sudah ada yang jagain Sisi," sahut Pak Cholis.
"Tapi..."
"Nenek bawain Sisi jepitan rambut. Mau lihat gak?" Bu Mia membuka tasnya lalu mengambil jepitan yang beberapa hari yang lalu dia beli dipasar.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan