Komitmenlah yang membuat dua orang terikat dalam sebuah hubungan. Seperti perjanjian, suatu hari akan dipertanyakan. Sekuat itu Ayya menggenggam ikatan meski sedari awal tak terlihat ada masa depan.
Sementara Ali butuh cukup waktu untuk me-reset ulang perasaannya setelah masa lalu bersarang terlalu lama dalam ingatan.
Akan dibawa ke manakah rumah tangga mereka yang didasari atas perjodohan orang tua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbu'na Banafsha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
Perjalanan menuju kantin terasa seperti jauh dari biasanya, Ayya berjalan sangat cepat sambil menunduk pikirannya melayang entah di mana hingga tak sengaja berpapasan dengan Ibra yang datang hendak membesuk Ali juga, seperti mendapatkan jalan, Ayya segera menitipkan orang tuanya dengan maksud untuk menghindar karena belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan Abi dan Umi, sementara dirinya pergi ke toilet mencoba mendinginkan pikirannya. Namun dugaannya salah, Ibra memanfaatkan keadaan dia bahkan menjawab dengan gamblang pertanyaan Bu Aisyah dan pak Ramlan tanpa seizin Ayya. Saat ini sudah tak ada lagi yang perlu Ayya sembunyikan dari orang tuanya. Bu Aisyah menelpon Ayya karena ingin bicara secara langsung dan menyelesaikan semuanya.
“Ayya, bisa temui umi sebentar, umi ingin bicara,” ucap Bu Aisyah dengan sendu, di hatinya muncul perasaan bersalah karena telah memaksa Ayya menikah dengan Ali waktu itu dan menyebabkan anaknya dalam kesulitan selama ini.
Dengan wajah menunduk, Ayya duduk di hadapan orang tuanya.
“Ayy, ikut umi pulang sekarang juga, ya.” Bu Aisyah menatap wajah anaknya yang sedari tadi mengalihkan pandangannya.
“Tapi, umi. Ayya masih harus merawat mas Ali.”
“Banyak orang yang akan merawatnya, kamu tidak dibutuhkan di sini,” ucapnya sambil meremas jari-jari anaknya yang dingin dan sedikit bergetar.
“Jangan khawatir, Umi akan menemui Ali dan meminta izin-nya untuk membawamu, umi juga akan bicara dengan mertuamu.”
“Tapi, Umi ....” Ayya ingin menolak karena dia tau persis Ali sedang membutuhkannya saat ini.
“Sambil menunggu jam besuk berikutnya, sekarang kita kita temui dulu mertuamu, Ayy.”
“Umi dan Abi silahkan temui Ayah dan ibu di rumah, biar Ayya menunggu di sini saja.”
“Baiklah, ibu akan minta Nak Ibra yang antar.”
Setelah bicara dengan orang tua Ali, Bu Aisyah meminta bik Nur untuk membereskan barang-barang milik Ayya.
“Tunggu dulu, mbak, Mas. kita harus menunggu keputusan mereka berdua dulu.” Bu Lastri memohon supaya Ayya tidak dibawa pulang dulu.
“Saya minta maaf, mbak Lastri. Saya tidak bisa membiarkan mereka berada dalam posisi sulit hanya karena keegoisan kita yang memaksa mereka menikah, andai saya tahu akan menjadi seperti ini, mungkin saya tidak akan menyetujui pernikahannya, akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur, saya hanya bisa membawa Ayya pulang ke rumah.”
Bu Lastri dan pak Maulana tidak berhasil meyakinkan besannya dan tidak bisa merubah keputusan yang sudah dibuatnya.
Begitu pun dengan Ali, dia masih belum paham duduk persoalannya, dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa ketika mertuanya membawa Ayya pergi. Ali mencoba meraih tangan Ayya namun dia tak berdaya. Ali memandangi kepergian Ayya, terlihat jelas Ayya menitikkan air matanya dan tak melepaskan tatapan dari suaminya itu.
Sejak saat itu Bu Lastri menggantikan Ayya merawat Ali di rumah sakit dan terpaksa harus selalu melihat wajah Vina yang sangat tidak disukainya. Berangsur keadaan Ali membaik, perlahan dia mulai bisa berbicara, hal pertama yang dia tanyakan hanyalah Ayya yang sudah lama tidak dilihatnya, Ali merindukan Ayya yang selalu berada disampingnya dan merawatnya, dia bahkan tidak pernah mempedulikan keberadaan Vina lagi saat ini.
“Al, jangan mengkhawatirkan Ayya lagi karena dia sudah mengambil keputusan yang tepat, dia gadis yang pintar, jadi sangat tahu apa yang harus dilakukannya, dan saat ini, ada aku di sisimu.” Vina selalu membujuk Ali untuk melupakan Ayya dan kembali padanya.
Ali bergegas menyibak selimutnya lalu berusaha bangun tanpa menghiraukan ucapan Vina.
“Al, kamu mau ke mana?” cegah Vina sambil menahan Ali.
“Minggirlah! aku akan mencari Ayya.”
“Al, sadarlah! mungkin Ayya saat ini sudah bersama Ibra, lihatlah aku ada di sini untuk kamu.”
Tiba-tiba Bu Lastri datang dan turut menahan Ali yang masih belum pulih 100% keadaannnya.
“Al, apa yang kamu lakukan? kamu belum memungkinkan untuk bangun.” tanya Bu Lastri.
“Kalau begitu, panggillah Ayya untuk menemuiku, Bu.”
Bu Lastri tidak menyangka bahwa Ali akan sangat kehilangan melebihi saat-saat dia kehilangan Vina dulu. Dia prihatin kenapa nasib anaknya selalu seperti ini. Di balik perawakan dan profesinya yang kuat dan tegas, Ali adalah orang yang lemah dan kurang beruntung dalam hal Cinta. Tidak ada yang bisa dilakukan Bu Lastri karena Ayya tidak bisa dihubungi lagi saat ini.
“Al, cepatlah sembuh, setelah itu cari Ayya dan bawa dia pulang, ibu pun selalu merindukannya,” hibur Bu Lastri tanpa menghiraukan Vina yang ada di sampingnya.
Vina merasa saat ini dirinya benar-benar tak lagi berharga, tak seorangpun menginginkannya. Dia berlari ke luar sambil menangis, ternyata usahanya selama ini sia-sia saja.
“Kalau begitu, Ali mau pulang, bu. Mintakan izin pada dokter supaya Ali bisa istirahat di rumah,” lirih Ali.
“Baik, ibu akan temui dokter, tunggu dan kembalilah ke tempat tidur.”
Setelah dokter mengizinkan pulang, akhirnya mereka membawa dan merawat Ali di rumah, sesekali dokter akan datang untuk memeriksa keadaannya.
Namun Ali selalu murung, karena semua yang ada di rumah ini mengingatkannya pada Ayya, mengingat semua perlakuan buruknya pada Ayya, mengingat Ayya yang selalu bertahan di sisinya meskipun dia tersakiti.
Yang dilakukannya setiap hari adalah mencoba terus menghubungi Ayya meskipun nomer ponselnya sudah tidak aktif, bahkan ketika pak Maulana datang ke rumahnya pun, Ayya tak ada di sana.
Parfum Aroma theraphy masih tercium di seluruh ruangan kamarnya, gordeng yang diterpa angin dari jendela yang terbuka, seprei dan selimut yang tertata rapi di tempat tidur juga baju-baju Ali di dalam lemari semua menebarkan wewangian yang identik dengan keharuman yang dibawa oleh Ayya.
Ali duduk menghadap jendela di dalam kamarnya. Tiba-tiba seseorang membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
“Ayy, bawakan aku secangkir teh chamomile, aku ingin tidur nyenyak siang ini,” seru Ali ketika mendengar derap kaki yang melangkah menghampirinya. Ali masih terbiasa dengan keberadaan Ayya karena selama ini hanya Ayya-lah yang boleh masuk ke kamarnya.
“I-ini ibu, Al.” Sambil berdiri di belakang Ali, menyentuh pundaknya. “Seperti halnya kamu, ibu pun masih merasakan kehadiran Ayya di rumah ini, Al. Bik Nur dan pak Karman, mereka juga sama.”
“Bu ...,” ucap Ali sambil memegang tangan ibunya yang menggelayut di pundaknya.
“Iya, Al.”
“Apa yang harus Ali lakukan sekarang, Bu? Ali tidak mau kehilangan Ayya. Apa ini akan berakhir seperti lima tahun yang lalu?”
Tidak bisa kita pungkiri jika terkadang seorang lelaki harus mencintai lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Ini masalah hati. Butuh cukup waktu untuk sang pemilik menyadari siapa yang dia inginkan untuk menemani sisa hidupnya.
“Saat ini, ibu hanya ingin kamu cepat pulih, setelah itu selesaikan masalahmu satu per satu.” Bu Lastri mencium kepala Ali sambil mengusap rambutnya.
BERSAMBUNG ...
Readers-ku tersayang mana suaranya? Author doakan semoga kalian selalu sehat dan banyak rejeki. Jangan lupa angkat jempolnya buat tekan like dan komen di bawah, dukung selalu karya-karya recehanku, supaya lebih semangat up-nya.😘