"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laras hamil
Pagi harinya datang dengan sunyi yang berbeda.
Bukan sunyi yang canggung seperti hari-hari sebelumnya, melainkan sunyi yang hangat—seolah rumah itu akhirnya mengakui kehadiran mereka sebagai kita.
Cahaya matahari menyelinap lewat celah tirai kamar. Lembut, tidak tergesa. Bani terbangun lebih dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum kesadarannya benar-benar utuh, lalu ia menyadari sesuatu yang asing tapi nyata.
Laras ada di sisinya. Bukan sebagai tamu.
Bukan sebagai ibu pengganti. Tapi sebagai istrinya.
Napas Laras teratur, wajahnya setengah tertutup rambut yang terurai. Tidak ada riasan, tidak ada senyum yang dipaksakan. Hanya Laras yang apa adanya. Tenang. Damai.
Bani menatapnya lama, dadanya terasa penuh oleh perasaan yang sulit diberi nama.
Bukan euforia. Bukan juga rasa bersalah yang menusuk seperti yang ia takutkan semalam.
Yang ada hanyalah kesadaran pelan, aku tidak sendirian lagi.
Tangis kecil terdengar dari baby monitor di sudut kamar.
Naura.
Laras bergerak lebih dulu. Ia terbangun dengan reflek seorang ibu, meski matanya masih berat. Tangannya langsung mencari jilbab yang tersampir di kursi.
“Aku aja,” ucapnya pelan, suaranya masih serak karena baru bangun.
Bani duduk. “Aku ikut.”
Laras menoleh, sedikit terkejut. Biasanya Bani memberi ruang. Biasanya Bani memilih jarak.
Mereka keluar kamar berdampingan—tanpa saling menyentuh, tapi juga tanpa jarak batin.
Di kamar bayi, Laras menggendong Naura. Tangis itu langsung mereda, seperti biasa. Naura menempel di dada Laras, jari-jari kecilnya mencengkeram kain gamis.
Bani berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu dengan mata yang tiba-tiba panas.
Ia teringat Rania.
Dan untuk pertama kalinya pagi ini, kenangan itu tidak datang sebagai luka—melainkan sebagai bisikan yang tenang.
Terima kasih.
Bani mendekat, mengambil botol susu dan mengeceknya. “Aku yang bikin susunya,” katanya.
Laras mengangguk. Tidak berlebihan, tidak ragu.
Saat Bani kembali, Laras menatapnya sejenak. Ada sesuatu di matanya—bukan tuntutan, bukan harapan berlebihan. Hanya kelegaan kecil.
“Mas…” panggil Laras pelan.
“Iya?”
“Terima kasih… sudah memilih berani.”
Bani terdiam. Lalu mengangguk sekali. “Terima kasih juga… sudah sabar.”
Naura kembali terlelap di pelukan Laras. Bani membantu memindahkannya ke boks bayi. Kali ini, Naura tidak menangis.
Mereka berdiri bersebelahan, menatap bayi itu. Tidak ada janji besar. Tidak ada kata cinta yang diucapkan lantang.
Hanya dua orang dewasa yang sama-sama terluka, berdiri di pagi yang baru belajar menjadi keluarga dengan cara mereka sendiri.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, rumah itu terasa… hidup.
***
Naura kini genap satu tahun.
Langkah-langkah kecilnya masih goyah, sering terhuyung sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan tawa renyah yang selalu membuat rumah terasa hidup. Ameera sudah berseragam tiap pagi, tas kecilnya menggantung di bahu, dan selalu berpamitan dengan cium di pipi Laras—lalu satu pelukan ke Bani yang kini tanpa ragu ia panggil Papa.
Dan Bani… Bani bukan lagi lelaki yang berjalan dengan jarak.
Pagi itu, Laras sedang berdiri di dapur, menyiapkan bekal Ameera. Rambutnya masih sedikit basah, disanggul seadanya. Ia tidak sadar Bani berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dengan tatapan yang tak lagi asing—tatapan yang tenang, penuh rasa memiliki.
“Laras,” panggil Bani pelan.
Laras menoleh. “Iya?”
Belum sempat ia bicara lagi, Bani sudah melangkah mendekat. Tangannya melingkar di pinggang Laras dari belakang, dagunya bertumpu ringan di bahu istrinya. Laras tertegun sesaat—refleks tubuhnya masih sering lupa bahwa sentuhan ini kini halal, kini nyata. “Papanya Naura kenapa pagi-pagi manja?” Laras tersenyum kecil.
Bani terkekeh pelan. “Salah ya?”
Laras menggeleng. “Enggak.”
Bani mengecup pelipis Laras singkat, lalu lebih lama di kening. Tanpa ragu. Tanpa canggung.
Dari ruang tengah terdengar suara langkah kecil dan tawa Naura. Bayi itu berjalan tertatih menuju mereka, kedua tangannya terangkat, seolah minta disambut dunia.
“Naura…” Laras berjongkok refleks.
Namun Bani lebih cepat. Ia mengangkat putrinya, memeluknya erat, mencium pipi gembul itu berkali-kali. “Pintar banget sih kamu,” gumamnya bangga.
Laras memperhatikan pemandangan itu dengan dada hangat. Ada masa ketika ia tak pernah membayangkan akan melihat Bani seperti ini—lelaki yang dulu penuh dinding, kini begitu terbuka, begitu hadir. “Papa terlalu sering gendong Naura,” Laras menegur setengah bercanda. “Nanti aku cemburu.”
Bani menoleh, alisnya terangkat nakal. “Oh ya?”
Ia mendekat lagi, satu tangan masih menggendong Naura, tangan lainnya meraih Laras dan menariknya mendekat. Dahi mereka hampir bersentuhan. “Cemburu boleh,” ucapnya pelan. “Soalnya kamu istriku.”
Laras tertawa kecil, pipinya memerah.
Bukan karena kata-kata itu—tapi karena cara Bani mengatakannya, seolah tidak ada lagi keraguan.
Ameera muncul dari kamar dengan sepatu di tangan. “Papa! Bunda! Ameera siap sekolah!”
Bani menoleh dengan senyum lebar. “Sini, Papa bantuin.”
Ia berjongkok, mengikat tali sepatu Ameera dengan telaten. Ameera mengacak rambut Bani kecil-kecil, tertawa.
Laras menahan napas. Dulu ia takut—takut Ameera terlalu dekat dengan Bani, takut melukai batas yang tak tertulis.
Kini, ia hanya merasa bersyukur. Karena Bani bukan menggantikan siapa pun. Ia memilih.
Dan malam nanti, saat rumah kembali sunyi, Bani memeluk Laras tanpa jarak, bukan lagi dengan rasa bersalah, bukan pula dengan bayang-bayang yang menyesakkan.
Rania tetap tinggal di sudut hatinya, sebagai kenangan yang tak tergantikan.
Namun Laras kini hidup di pelukannya—sebagai istri, sebagai rumah, sebagai masa depan. Dan untuk pertama kalinya, Bani merasa… ia tidak mengkhianati siapa pun dengan bahagianya.
***
Setelah Ameera berangkat sekolah dan Naura tertidur kembali, suasana rumah menjadi lebih sunyi. Bani duduk di ruang keluarga sambil memperhatikan Laras yang melipat pakaian Naura. Tatapannya lama, penuh pertimbangan.
Akhirnya ia bicara. “Laras…”
Laras menoleh. “Iya, Mas?"
Bani berdiri, mendekat. Nada suaranya pelan, tidak menghakimi, justru sangat hati-hati. “Aku mau nanya… dan kamu gak perlu jawab sekarang kalau belum siap.”
Laras menghentikan gerakannya, fokus pada wajah Bani. “Kenapa… setiap kita bersama, kamu selalu minum pil pencegah?”
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Laras menunduk. Tangannya saling meremas. Ia sudah menduga pertanyaan itu akan datang suatu hari.
“Aku cuma… gak mau gegabah,” jawabnya jujur. “Aku takut melangkah terlalu jauh, Mas. Takut kalau aku melupakan posisiku… takut kalau aku seolah-olah menggantikan seseorang yang seharusnya tidak tergantikan.”
Bani menghela napas panjang, lalu mengangkat wajah Laras dengan lembut, memaksanya menatap.
“Laras,” ucapnya lirih namun tegas, “Rania tidak tergantikan. Dan tidak akan pernah.”
Dada Laras terasa sesak, tapi Bani melanjutkan. “Tapi kamu juga bukan pengganti. Kamu adalah istriku. Ibu bagi anak-anakku. Dan… bagian dari hidupku sekarang.”
Laras menelan ludah.
“Aku hanya ingin tau,” lanjut Bani, suaranya menghangat, “apa kamu mau… kalau suatu hari kita punya anak lagi? Bukan karena kewajiban. Tapi karena kamu memang menginginkannya.”
Hening.
Laras memejamkan mata sejenak. Bayangan Rania sempat hadir, tapi kali ini tidak menyakitkan—lebih seperti restu yang tenang.
Ia membuka mata, menatap Bani dengan keberanian yang selama ini ia kumpulkan. “Aku mau, Mas," jawabnya pelan. “Kalau itu memang lahir dari niat kita berdua. Kalau aku diterima… sepenuhnya.”
Bani memeluknya erat. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya dekapan yang jujur. “Kamu sudah lama diterima, Laras,” bisiknya. “Aku hanya terlambat menyadarinya.”
Di sudut ruangan, Naura terbangun dan tertawa kecil melihat kedua orang tuanya berpelukan. Langkah kecilnya tertatih mendekat—dan tanpa sadar, sebuah keluarga baru tumbuh, bukan dari pengganti, tapi dari penerimaan.
****
Waktu berjalan dengan cepat. Empat tahun berlalu begitu saja.
Rumah itu kini jauh berbeda dari pertama kali Bani menapakinya tanpa Rania. Tidak lagi sunyi, tidak lagi terasa asing.
Naura kini berusia empat tahun. Langkah kecilnya sudah mantap. Tawanya riang memenuhi rumah, sering berlari kecil sambil memanggil,
“Papa… Bunda…”
Bani selalu berhenti dari apa pun yang ia lakukan setiap kali mendengar suara itu.
Papa.
Panggilan yang dulu terasa berat, kini menjadi bagian paling hangat dalam hidupnya.
Di ruang tamu, Naura duduk bersila di lantai, menyusun balok warna-warni. Ameera yang kini sudah lebih besar dan semakin dewasa—membantunya dengan sabar.
“Pelan-pelan, Naura. Jangan dijatuhin,” ujar Ameera lembut.
Naura mengangguk serius, lalu tertawa sendiri ketika baloknya tetap roboh.
Laras berdiri di ambang pintu, satu tangannya refleks mengusap perutnya yang membulat lima bulan.
Ia hamil.
Anak yang tumbuh dari perjalanan panjang, dari luka, dari kesabaran, dari cinta yang tidak pernah dipaksakan.
Bani datang dari belakang, langkahnya pelan. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Laras, lalu membiarkan dagunya bertumpu ringan di kepala istrinya.
“Kecapean?” tanyanya pelan.
“Enggak,” jawab Laras sambil tersenyum kecil. “Cuma lagi mikir… rasanya baru kemarin Naura masih di NICU.”
Bani ikut menatap anak mereka. “Dan sekarang dia sudah bisa bikin rumah jadi berisik,” katanya lirih, tapi penuh rasa syukur.
Naura menoleh. “Papa, adeknya kapan keluar?”
Bani terkekeh kecil, lalu berjongkok. “Masih lama, sayang. Adiknya masih numpang di perut Mama.”
Naura mendekat, menempelkan telinganya ke perut Laras.
“Halo, adik,” katanya polos.
Laras menahan haru.
Ia menoleh pada Bani—laki-laki yang dulu dingin, menjaga jarak, penuh luka—kini berdiri di sisinya sebagai suami, ayah, dan pelindung.
Tidak sempurna. Tidak menggantikan Rania.
Tapi nyata. Bani mengusap perut Laras dengan hati-hati, seolah masih takut terlalu kuat.
“Kamu takut?” tanya Laras lembut.
Bani mengangguk pelan. “Takut bahagia terlalu penuh.”
Laras tersenyum. “Kita sudah melewati yang paling berat, Mas.”
Bani terdiam sesaat. Dalam hatinya, nama Rania tetap ada—tenang, tidak tergeser, tidak tergantikan.
Namun di hadapannya kini ada Laras.
Perempuan yang tidak menuntut dicintai seperti orang lain,
yang tidak cemburu pada kenangan, yang menerima cintanya apa adanya. Dan di antara mereka, tumbuh kehidupan baru.
Bani mengecup kening Laras pelan.
“Terima kasih,” katanya lirih. “Untuk bertahan.”
Laras menutup mata sesaat, menahan getar di dadanya.
“Terima kasih juga,” balasnya. “Karena akhirnya membuka pintu.”
Di rumah itu yang pernah dibangun dari kehilangan kini tumbuh tawa, langkah kecil, dan harapan baru.
Dan cinta, akhirnya tidak lagi terasa seperti pengkhianatan pada masa lalu, melainkan bentuk keberanian untuk tetap hidup.
***
"Masya Allah, Naura sudah tumbuh jadi anak yang pintar ya Mas... Dia benar-benar mirip Rania." Ucap Nafisah sambil tersenyum haru saat melihat Naura yang ceria.
"Betul. Dia bener-bener mirip Rania..." Jawab Zaki.
Nafisah dan Zaki serta kedua anaknya, Gus Atheef dan Ning Hanifa sedang berkunjung ke rumah Bani dan Laras.
Laras membawakan minuman dan beberapa cemilan, "Mbak, Mas, silahkan di minum."
"Terimakasih ya Laras.... Masya Allah, kandungan kamu sudah berapa bulan?"
"Lima bulan, mbak."
Mereka melanjutkan obrolannya. Sedangkan di tempat lain, Hanifa, Ameera, Gus Atheef dan juga Naura sedang berkumpul di taman belakang rumah.
"Gus, kok diam aja?" tanya Naura yang sejak tadi memperhatikan Gus Atheef bersandar di tiang kayu gazebo.
"Gapapa." Jawabnya singkat.
Naura manyun karena Gus Atheef selalu menjawab singkat dan dingin ketika Naura bertanya.
"Gus kok singkat banget jawabnya? kalau sama Kak Ameera aja gak begitu!" Protes Naura sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Sama aja. Sama siapapun, aku ya seperti itu."
"Gus juga kenapa dulu suka gendong aku, banyak foto foto kita di album, saat aku kecil, Gus suka gendong aku. Kenapa sekarang tidak?"
"Karena kita bukan mahram, Naura!"
"Mahram itu apa, Gus?"
Atheef menghela napasnya. Gus Atheef mengambil satu helai daun yang jatuh di sampingnya. “Naura tau papa?”
“Tau dong,” jawab Naura cepat. “Papa itu Bani.”
Gus Atheef tersenyum. “Nah, papa itu termasuk orang yang boleh pegang Naura, boleh peluk, boleh gendong. Namanya… mahram.”
Naura mengerutkan kening. “Mah… ram?”
“Iya,” Gus Atheef mengangguk. “Mahram itu orang-orang tertentu yang Allah izinkan untuk dekat, karena mereka keluarga dekat.”
Naura berpikir keras. “Selain papa siapa lagi, Gus?”
“Bunda Laras,” jawab Gus Atheef sambil melirik Laras yang tersenyum haru.
“Terus Ameera kakakmu. Lalu kakek, nenek, dan om-om tertentu.”
Naura mengangguk pelan. “Kalau laki-laki lain,” lanjut Gus Atheef lembut, “yang bukan papa, bukan kakek, bukan om yang mahram… Naura tidak boleh sembarangan dipeluk atau digendong.”
Naura menatap Gus Atheef serius. “Kalau Gus?”
Gus Atheef tersenyum. “Aku juga bukan mahram. Jadi aku jaga jarak, dan Naura juga harus jaga diri.”
Naura mengangguk mantap. “Berarti kalau ada orang mau pegang Naura, Naura harus bilang?”
“Iya,” jawab Gus Atheef bangga. “Bilang ke papa atau umi. Karena tubuh Naura itu amanah dari Allah.”
Naura tersenyum lebar. “Papa pernah bilang, tubuh Naura berharga.”
Gus Atheef mengelus kepala Naura dengan sopan, tidak menyentuh terlalu dekat. “Papa Naura benar. Dan aku senang Naura anak yang pintar.”
"Terus apa kita bisa jadi mahram, Gus?" tanya Naura polos.
"Bisa." Reflek Atheef mengusap tengkuknya seperti salah tingkah. "Jika nanti kalau sudah dewasa kita menikah maka kita menjadi mahram."
"Waahh!! berati Gus bisa gendong aku lagi ya seperti waktu kecil?"
Atheef mengangguk penuh senyum.
"Yeaayy!! Aku akan menunggu momen itu tiba, Gus!" Naura melompat kegirangan.
Itu hanya ucapan anak kecil yang polos, yang belum sepenuhnya mengerti. Tapi entah mengapa, Atheef merasa senang dengan kepolosan Naura..
Di sisi lain, Ameera mendengarkan itu semua. Entah mengapa rasanya, seperti hatinya tak rela jika Atheef begitu dekat dengan Naura.