Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 : PERLINDUNGAN
Suasana di meja makan yang awalnya tegang perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak terduga. Ayah Erlangga, Pak Danu, meletakkan sendoknya dan menatapku dengan tatapan yang dalam. Sementara itu, Ibu Erlangga, Bu Martha, terus memerhatikan lebam yang berusaha kututupi dengan riasan tebal.
"Erlangga," suara Pak Danu terdengar berat, bukan lagi otoriter, melainkan penuh kekecewaan. "Lepaskan tanganmu dari bahunya. Kau menekannya terlalu keras hingga dia gemetar."
Erlangga tersentak, namun ia tidak segera melepaskanku. "Aku hanya menjaganya, Pa. Shilla sedikit pemalu."
"Cukup!" Bu Martha tiba-tiba berdiri. Ia berjalan menghampiriku, mengabaikan tatapan tajam putranya. Dengan lembut, ia memegang daguku dan memiringkan wajahku ke arah cahaya lampu kristal. "Hapus riasan ini, Shilla. Ibu tahu apa yang ada di baliknya."
Aku tertegun. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah juga. Bu Martha melihat bekas kemerahan di leherku dan bengkak di pipiku yang mulai terlihat jelas karena keringat dingin melunturkan concealer-ku.
"Kau melakukan ini lagi?" tanya Bu Martha pada Erlangga, suaranya bergetar karena marah sekaligus sedih. "Kau memperlakukannya seperti binatang hanya karena obsesi gilamu pada masa lalu?"
"Ma, jangan ikut campur!" Erlangga menggebrak meja, membuat gelas-gelas berdenting. "Dia milikku! Aku yang membawanya ke sini!"
Pak Danu berdiri, wajahnya memerah. "Dia manusia, Erlangga! Bukan boneka pengganti Sarah! Lihat dia, dia ketakutan setengah mati padamu. Kau sudah melampaui batas."
Bu Martha menarik kursiku menjauh dari Erlangga. Ia memeluk bahuku, memberiku kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan. "Shilla, Nak... maafkan putraku. Dia sakit. Dia kehilangan akal sehatnya sejak kecelakaan itu."
Erlangga mencoba meraih tanganku kembali, namun Pak Danu menghalanginya. "Jangan sentuh dia malam ini. Biarkan dia bersama ibumu."
"Kalian tidak bisa melakukan ini!" teriak Erlangga, matanya membelalak gila. "Dia harus pulang bersamaku! Shilla, berdiri! Ikut aku sekarang!"
Cengkeraman Erlangga pada lenganku kembali terjadi, sangat kuat hingga aku memekik kesakitan. Namun kali ini, Pak Danu memegang pergelangan tangan Erlangga dengan paksa.
"Jika kau menyentuhnya lagi di rumah ini, Papa tidak akan segan-segan memanggil polisi, tidak peduli kau putraku sendiri," ancam Pak Danu tegas.
Erlangga terengah-engah, rahangnya mengeras. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat mengerikan—campuran antara cinta yang terdistorsi dan kemarahan murni. Ia menyadari bahwa malam ini, untuk pertama kalinya, ia kehilangan kendali atas diriku.
Bu Martha membimbingku menjauh dari ruang makan yang penuh kekacauan itu. Langkahku lunglai, nyaris terseret, sementara di belakang kami, suara teriakan Erlangga dan bentakan ayahnya masih terdengar bersahutan, memecah kesunyian rumah mewah itu.
Kami memasuki sebuah kamar tamu yang luas dan hangat. Bu Martha segera mengunci pintu, lalu menuntunku duduk di tepi tempat tidur yang empuk. Ia tidak membuang waktu; ia segera mengambil kotak P3K dari dalam lemari.
Dengan gerakan yang sangat lembut, sangat berbeda dari sentuhan kasar Erlangga, Bu Martha mulai membasuh wajahku dengan kapas yang telah dibasahi pembersih. Saat riasan tebal itu terangkat, lebam keunguan di pipiku terekspos sepenuhnya.
"Ya Tuhan... anak ini," bisik Bu Martha, matanya berkaca-kaca saat melihat luka itu. "Maafkan Erlangga, Shilla. Maafkan Ibu karena telah membiarkan dia menjadi monster seperti ini."
Ia beralih ke telapak tanganku yang tergores kaca. Ia membersihkannya dengan sangat telaten, meniupnya perlahan saat aku meringis perih. Kehangatan sikapnya membuat pertahananku runtuh; aku terisak di pundaknya, menumpahkan segala ketakutan yang kupendam sejak tinggal di rumah Erlangga.
"Kenapa dia melakukannya, Bu? Aku bukan Sarah..." tangisku pecah.
Bu Martha menghela napas panjang, jarinya mengusap rambutku. "Sejak Sarah meninggal dalam kecelakaan itu, Erlangga kehilangan separuh jiwanya. Dia menolak menerima kenyataan. Dia mulai mencari siapa pun yang memiliki kemiripan fisik dengan Sarah, lalu memaksanya hidup dalam dunia ilusinya."
Ia menatapku dengan tatapan penuh iba. "Kau adalah korban keempat, Shilla. Tapi kau yang paling mirip, dan itulah yang membuatnya semakin gila. Dia merasa Tuhan memberinya kesempatan kedua melalui dirimu, padahal dia hanya menyiksamu."
"Ma! Buka pintunya! Bawa Shilla keluar sekarang!" suara Erlangga terdengar parau dan penuh tuntutan dari balik pintu.
Aku tersentak dan mencengkeram lengan Bu Martha dengan kuat. Tubuhku kembali gemetar. "Jangan biarkan dia masuk, Bu... tolong."
Bu Martha berdiri, berjalan menuju pintu namun tidak membukanya. "Erlangga, pergi ke kamarmu dan tenangkan dirimu! Jika kau tidak pergi sekarang, Papa akan benar-benar menghubungi polisi. Shilla tidak akan kembali bersamamu malam ini!"
Hening sejenak. Aku bisa mendengar napas berat Erlangga di balik daun pintu kayu yang tebal itu.
"Dia milikku, Ma," desis Erlangga dari luar, suaranya kini terdengar sangat dingin dan rendah, yang justru jauh lebih menakutkan daripada teriakannya. "Kalian bisa menjaganya malam ini. Tapi besok, atau lusa, dia akan kembali ke tanganku. Dia tidak bisa lari dariku."
Langkah kakinya kemudian terdengar menjauh, meninggalkan keheningan yang mencekam di dalam kamar. Bu Martha kembali duduk di sampingku dan menggenggam tanganku yang dibalut perban.
"Ibu tidak akan membiarkan dia membawamu kembali ke rumah itu, Shilla."
Malam itu terasa begitu panjang dan sunyi. Kamar tamu yang luas ini terasa jauh lebih aman karena ada Bu Martha di sisiku. Namun, rasa aman itu dibayangi oleh suara-suara dari luar kamar yang mengingatkanku bahwa badai belum benar-benar berlalu.
Bu Martha membiarkanku berbaring di tempat tidur yang hangat, menyelimutiku hingga ke dada. Ia sempat mengusap keningku dengan lembut sebelum akhirnya ia harus keluar untuk menghadapi putranya.
Melalui celah pintu yang sedikit terbuka sebelum Bu Martha benar-benar menutupnya, aku bisa mendengar suara Erlangga di ruang tengah. Suaranya tidak lagi menggelegar penuh amarah, melainkan terdengar rapuh dan penuh keputusasaan—sesuatu yang jauh lebih mengerikan untuk didengar.
"Dia akan pergi seperti Sarah, Ma... aku tahu itu. Dia akan meninggalkanku sendirian lagi," isak Erlangga. Suara gesekan langkah kakinya yang mondar-mandir terdengar gelisah.
Bu Martha menjawab dengan nada rendah, berusaha menenangkan. "Dia tidak ke mana-mana, Erlangga. Dia hanya butuh istirahat. Kau menyakitinya, Nak. Kau membuatnya takut. Jika kau terus begini, kau sendirilah yang akan mengusirnya pergi, bukan takdir."
"Aku hanya ingin dia tetap di sini! Aku tidak bisa bernapas jika dia tidak ada di rumah itu!" Erlangga berteriak kecil, diikuti suara benda yang terjatuh—mungkin ia merosot ke lantai.
Bu Martha kembali ke kamar setelah waktu yang cukup lama. Wajahnya tampak sangat lelah. Ia berbaring di sampingku, memelukku seolah aku adalah putrinya sendiri.
"Dia sudah tenang, Shilla. Papa sedang menjaganya di ruang kerja. Erlangga seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan mainan kesayangannya, tapi sayangnya, dia adalah pria dewasa dengan kekuatan yang berbahaya," bisik Bu Martha dalam kegelapan.
Aku tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Di bawah cahaya lampu tidur yang remang-remang, aku menatap langit-langit kamar. Aku bisa membayangkan Erlangga di luar sana, duduk di depan pintu atau di ruang gelap, terjaga sepanjang malam karena takut aku akan menghilang saat fajar tiba.
"Tidurlah, Nak. Selama ada Ibu di sini, dia tidak akan berani masuk," gumam Bu Martha lagi, suaranya mulai berat oleh kantuk.
Aku mencoba memejamkan mata, namun setiap suara kecil di luar kamar—derit lantai atau embusan angin—membuat jantungku berdegup kencang. Aku tahu, ketenangan ini hanya sementara. Erlangga tidak sedang berubah menjadi baik; dia hanya sedang ditenangkan agar tidak meledak.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,