Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
"Eh, siap Dok!" jawabnya nyengir. Seketika gadis itu mengembalikan wajah normalnya.
"Bapak tunggu di luar ya karena di dalam banyak ibu-ibu lain. Nanti kalau ada perkembangan saya kabari ya," ujar perempuan itu ramah.
Rania kembali ke ruangan memeriksa ibu muda tadi, ia rajin mengecek pembukaan ibu itu. Sembari menunggu ibu-ibu yang mau melahirkan, Rania kembali ke nurse stasion. Setelah pembukaan lima, perempuan itu diam di sisi si ibu untuk observasi.
Faktanya mau ditinggal takut tetiba tuh si ibu mbrojol. Ekspektasi tak sesuai realita, jangan kalian pikir lahiran tuh cepet kaya di sinetron-sinetron, atau cerita novel. Well, memang ada kasus yang cepat, tapi yang terjadi di lapangan, apalagi lahiran pertama tuh rata-rata lama. Untuk bukaan satu sampai tiga aja butuh waktu sampai delapan jam.
Ngantuk dan lelah tentu tak menjadi keluhan. Siap dengan mental baja, dan bukan anak manja.
Jam sembilan malam, pembukaan bertambah tujuh. Rania sudah menestimasi di kisaran jam dua belas mudah-mudahan ibu muda itu melahirkan. Artinya ia bisa punya waktu sisanya untuk istirahat sebelum harus bangun lagi jam lima pagi untuk mulai bikin laporan pasien baru yang masuk.
"Duh ... nikmatnya dedek koas," batin Rania mulai merasa ngantuk.
"Dok, ini kenapa sakit sekali ya, sama sekali berbanding terbalik dengan cara buatnya," gumam Ibu muda itu mondar-mandir saat kontraksi. Terlihat ia mengomel dengan suami bocahnya.
"Sabar ya Bu, istighfar saja yang banyak, semoga dedeknya cepat keluar," timpal Rania harap-harap tenang.
Suasana semakin hectik, ruangan itu ramai sekali karena dalam satu ruangan ada banyak ibu-ibu yang mau melahirkan. Sekitar delapan ibu di ruangan yang sama. Jagain emak-emak yang mau dan habis melahirkan. Terlihat di tempat paling ujung Tama tengah menangani pasien yang baru saja melahirkan. Karena bapaknya pingsan lihat darah segitu banyaknya, alhasil Tama yang nyuapin tuh ibu dengan telatennya. Rania pun tersenyum, ketika netra itu bertemu.
"Emang keren kalau jaga di stase obgyn ya Tam, pacar mah apa atuh kalah, lewat bablas. Boro-boro gue urusin buat nyuapin, kencan aja nggak sempat, gagal mulu," gumamnya mendrama saat melewatinya.
"Latihan jadi suami siaga, nanti kalau istri gue lahiran gue udah khatam," jawab pria itu sekenanya berlalu ke kamar mandi.
Rania kembali cek ibu muda yang dalam observasinya. Tepat pukul satu dini hari pembukaan lengkap. Perempuan itu sudah bersiap-siap dengan apron dan sarung tangan.
"Pak, sudah pembukaan lengkap, mohon doanya saya mau pimpin persalinan."
"Siap, Dok," jawab bapak tadi penuh tegangan.
Dengan mengucap bismillah, perempuan itu memimpin persalinan saat itu juga, dan alhamdulillah jam satu lewat sekian menit, bayi perempuan lahir ke dunia dengan selamat. Rania menyerahkan bayi tersebut ke koas anak, perempuan itu fokus menangani ibunya.
Haru, dan ikut senang kala dapat menjadi orang yang membantu, membuka jendela kehidupan generasi penerus-penerus bangsa.
"Pak, Bu, selamat ya, alhamdulillah, bayinya perempuan sehat tanpa ada kurang suatu apapun," lapor Rania merasa lega.
"Terima kasih Dok," jawabnya penuh haru.
Usai menangani pasien, Rania bebersih, hari sudah hampir subuh. Fix perempuan itu melewati makan malam dan hampir tidak tidur semalaman. Alhasil perempuan itu tertidur di bed dengan sembarangan.
Tak ada yang bersuara saat dengan tiba-tiba pemilik rumah sakit itu masuk dengan sengaja.
"Pak Ray, tumben jalan-jalan ke sini Dok?" tanya Dokter jaga laiinya langsung sigap. Suasana masih terlihat ramai di ruang bangsal.
"Shhttt, Dok!" Rayyan memperingatkan untuk diam, pria itu menggendong Rania ke ruangannya. Rupanya Rayyan malam itu juga tidak pulang, ia tidak minat pulang karena di rumah pasti akan merasa kesepian.
Rayyan mengangkat tubuh Rania dengan hati-hati, secara sederhana Rania seperti merasa melayang, namun ia lebih ketidak peduli sebelum waktunya alarm ponselnya membangunkannya nanti. Rania kembali asyik terlelap dalam gendongan yang terasa begitu nyaman.
"Gini kan nyaman Ra, bobo aja yang nyenyak," gumam pria itu menurunkan gadis itu ke ranjang. Ruangan khusus untuk pria itu beristirahat jika malas menyapa dan tidak pulang. Bukan hanya Rania yang tertidur, Rayyan juga ikut tertidur di tempat yang sama. Ia mulai sedikit cuek dengan batasan keduanya yang ada.
Tepat pukul setengah lima alarm ponselnya memekik. Rania dengan malas mengumpulkan kesadarannya, rasanya sangat enggan untuk bangkit dari pembaringan yang terasa hangat dan nyaman. Ia pun mulai merasa ada yang ganjil di tengah rasa kantuk dan penasaran, ia mulai teringat saat ini tengah tugas jaga malam, tentu saja tidur nyaman sangat mustahil baginya. Perempuan itu tergeragap membuka netranya sepenuhnya saat menemukan sebuah tangan kekar nan kokoh melingkar indah di pinggangnya.
"What, Dokter Ray?! Bagaimana bisa gue berpindah tempat ke sini? Mampus gue, ya ampun ... bisa dalam masalah kalau orang-orang tahu kedekatan ini," gumam Rania melongo. Seketika Rania menjadi lemas.