Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Cinta
Dio memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya yang sudah terlihat sepi itu.
Dia cepat-cepat masuk karena berpikir orang tuanya masih menunggunya untuk mengobrol.
Mbak Yuyun nampak masih sibuk membersihkan dapur dan ruang makan.
"Ayah dan Bunda ada di mana Mbak?" tanya Dio.
"Sudah tidur Pak, tadi Tuan dan Nyonya besar menunggu di ruang keluarga, tapi karena sudah malam, mereka masuk ke kamar deh!" jawab Mbak Yuyun.
"Oh, Baiklah!" sahut Dio yang kemudian langsung berjalan naik ke atas menuju ke kamarnya.
Sementara itu, Dinda yang baru saja selesai membersihkan dirinya, kemudian mulai merebahkan tubuhnya di atas karpet beralas bed cover.
Dinda senyum-senyum sendiri saat teringat pertemuannya dengan Dio, dan apa yang mereka alami malam ini.
Ada semburat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Dinda. Dia mengecup cincin yang kini tersemat indah di jari manisnya.
"Hmm, sepertinya ada yang sedang bahagia!" goda Bu Lilis.
"Ibu belum tidur?" tanya Dinda malu.
"Belum lah, apalagi saat melihatmu pulang dengan wajah sumringah, seperti orang yang sedang jatuh cinta!" sahut Bu Lilis.
"Ah, Ibu bisa saja!"
"Apa yang membuatmu begitu bahagia Nak?" tanya Bu Lilis.
"Pak Dio ... memberikan aku cincin Bu, dia menyatakan perasaannya padaku!" jawab Dinda tersipu.
"Oya?"
"Mulanya aku takut, tapi dia memberikan harapan dan keyakinan, jujur aku sangat nyaman berada di dekatnya!" ungkap Dinda.
"Nak, Ibu tidak akan membatasi kebahagiaanmu, tapi kau juga harus hati-hati, apa kau pernah kerumahnya Din?" tanya Bu Lilis.
"Pernah Bu!"
"Rumahnya besar? Dia orang kaya?" tanya Bu Lilis lagi.
"Iya Bu, rumahnya sangat besar dan bagus, ada kolam renangnya, juga taman bermain yang sangat indah!" jawab Dinda.
Bu Lilis terdiam sesaat, ada raut kekawatiran yang terpancar di wajahnya, karena dia sedikit trauma dengan orang kaya, namun cepat-cepat Bu Lilis menepiskan semuanya itu.
"Tidurlah Nak, bukankah kau besok harus kembali mengajar?" ucap Bu Lilis menyudahi pembicaraan mereka.
"Iya Bu!" sahut Dinda yang berusaha untuk memejamkan matanya.
****
Pagi-pagi benar Bu Lilis sudah bersiap-siap, dia sudah mandi dan rapi berpakaian.
Pagi ini Bu Lilis berencana akan pulang kembali ke Bandung, setelah menginap beberapa hari lamanya di tempat kost Dinda.
"Kenapa Ibu sebentar sekali sih menginap di sini?" tanya Dinda sambil membuatkan teh hangat untuk ibunya itu.
"Ibu harus pulang Nak, kasihan rumah kita jadi tak terurus di sana! Nanti kalau waktu liburan, Ibu tunggu kau di Bandung ya, Jangan lupa ajak Kekasihmu!" jawab Bu Lilis sambil mencubit pipi Dinda.
"Ah Ibu, padahal aku ingin Ibu lebih lama lagi tinggal di sini, Aku butuh teman mengobrol!" sungut Dinda.
"Bukankah kau sudah punya teman mengobrol spesial? lagi pula Ibu kasihan padamu, kau harus tidur di lantai beralas karpet, nanti punggungmu bisa pegal-pegal!" sahut Bu Lilis.
Dinda kemudian membuka laci lemarinya, lalu dia mengambil sebuah amplop berwarna putih yang memang sudah disiapkan untuk ibunya.
Setelah itu dia menyodorkan amplop putih itu ke tangan ibunya itu.
"Ini pegang Bu, aku sisih kan dari uang gajiku, biasanya kan aku transfer, tapi karena Ibu ada di sini aku langsung berikan saja pada ibu!" ucap Dinda.
Bu Lilis nampak menatap Dinda dengan mata berkaca-kaca.
"Dinda, kau jangan terlalu memberi banyak pada ibu, kau perhatikan saja penampilanmu, kau kan juga butuh ke salon, apalagi sekarang... kau sudah ada yang punya!" ucap Bu Lilis.
"Tidak Bu, aku rasa aku sudah cukup, karena laki-laki yang baik itu tidak harus melihat orang dari penampilan luarnya saja!" sahut Dinda.
Kemudian setelah Itu, Dinda langsung mengantar Bu Lilis dengan menggunakan sepeda motor menuju ke terminal yang letaknya tidak jauh dari tempat itu, hanya sekitar 10 menit dari tempat kos Dinda.
Setelah Ibunya sudah naik ke dalam bus yang menuju ke Bandung, Dinda kemudian langsung melajukan motornya itu menuju ke sekolah untuk mengajar.
****
Sementara itu di tempat kediaman Dio, Pak Frans dan Bu Lian terlihat sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan pagi mereka.
Di situ juga ada ada Chika, yang juga nampak menikmati sarapannya.
Dio terlihat muncul dari arah tangga atas, sudah dengan berpakaian rapi, siap mengantar Chika ke sekolah.
"Duduklah Dio, katanya ada yang ingin kau bicarakan pada ayah dan Bunda?" tanya Pak Frans.
"Benar Ayah, tapi pagi ini waktu tinggal 15 menit lagi Chika akan masuk sekolah, jadi aku harus cepat-cepat mengantarnya ke sekolah!" sahut Dio yang langsung mencomot sandwich dari atas meja makan dan langsung memakannya.
"Hmm, Baiklah, nanti siang kau bicaralah pada kami!" ujar Pak Frans.
Mbak Yuyun kemudian membawakan tas sekolah Chika, juga tas bekal makan lalu menuntun Chika dan mengantarnya sampai ke ke mobil yang terparkir di garasi.
Dio kemudian mulai berjalan keluar untuk segera mengantarkan Cika ke sekolah.
"Ferdio!" panggil Bu Lian. Dio menoleh.
"Ya Bunda?"
"Nanti sore teman Ayahmu tetap datang ke sini, jadi kau tetap bersiap-siap ya, jangan Pergi kemana-mana!" kata Bu Lian.
"Oke, hanya sekedar datang kan?" tanya Dio.
"Dia juga membawa putrinya yang akan dikenalkan pada mu, kau jangan sombong Dio, jodoh atau tidak jodoh, tapi sikapmu harus tetap baik pada mereka!" jawab Bu Lian.
"Baik Bunda!" sahut Dio yang langsung naik ke dalam mobilnya itu.
"Dah Oma!!" seru Chika dari balik jendela mobil sambil melambaikan tangannya.
Dio kemudian langsung melajukan cepat mobilnya itu keluar dari rumahnya dan menuju ke sekolah Chika.
"Chika, nanti papa antar Chika sampai depan kelas Chika ya!" Kata Dio.
"Tumben, biasanya papa kalau mengantar aku buru-buru langsung pergi!" cetus Chika.
"Mulai sekarang, Papa akan berlama-lama kalau mengantar jemput Chika!" sahut Dio.
"Hmm, bilang saja mau melihat Bu Dinda, iya kan!"
"Anak pintar, sekarang Papa bisa memberikan hadiah ulang tahun yang Chika minta!" ujar Dio.
"Beneran Pa?" tanya Chika berbinar. Dio menganggukan kepalanya.
"Asyiik!! Aku pasti akan pamer ke teman-teman, kalau aku bakal punya Papa dan Mama lengkap, jadi tidak ada lagi yang akan meledekku!" seru Chika bersemangat.
"Asal Chika janji akan jadi anak yang baik, pintar dan penurut!" ujar Dio.
"Siap bos!" sahut Chika.
"Good! Nanti kalau ketemu Bu Dinda, bilang sama dia, Papa kangen!" bisik Dio.
"Dih! Papa genit! Bilang saja sendiri!" cetus Chika.
"Ah, Chika gitu deh, katanya senang kalau Papa sama Bu Dinda ..."
"Iya deh, nanti aku bilang sama Bu Dinda, aku jadi tak sabar ingin cepat-cepat ulang tahun, kata Oma, Opa dan Oma akan menginap di rumah kita sampai aku ulang tahun!" kata Chika riang.
Dio tersenyum melihat ada keceriaan yang telah lama hilang itu, dari wajah putri semata wayangnya.
Bersambung...
****