"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan Rania
“Ran, kamu yakin kalau aku nitipin Ameera di sini?” tanya Laras. Ia tadi dihubungi Rania agar membawa Ameera ke rumahnya.
“Yakin, Mbak. Sebentar lagi anaknya Mbak Nafisah juga datang. Biar Ameera main sama mereka,” jawab Rania mantap.
“Kamu lagi hamil, loh, Ran. Nggak capek memang?”
“Enggak dong. Aku kan ada bibi juga. Nanti Mbak Nafisah datang, jadi nggak bakal capek. Tenang aja ya.”
Laras akhirnya mengiyakan, meski sempat menolak karena takut merepotkan. Namun Rania terus meyakinkannya.
“Yaudah deh. Aku makasih banget ya, Ran.”
“Sama-sama, Mbak.”
Setelah Laras berangkat kerja, Rania mengajak Ameera masuk ke dalam rumah sambil menunggu kedatangan Nafisah dan Zaki.
“Ameera, mau soes cokelat?” tawar Rania.
“Mau, Tante!” jawab Ameera antusias.
Rania membuka toples berisi soes cokelat buatannya kemarin. Ameera langsung mengambil satu dan memakannya.
“Hemm… enak banget, Tante. Ini Tante bikin sendiri?”
“Iya dong. Tante bikin sendiri. Ameera suka?”
“Suka, Tante,” jawabnya sambil mengunyah.
“Nanti kalau pulang, bawa ya. Tante bikin banyak kemarin. Buat Gus Atheef sama Ning Hanifa juga.”
“Mereka itu siapa, Tante?”
Ting nong.
Bel rumah berbunyi.
“Nah, mungkin itu mereka. Yuk, kita sambut teman baru kamu.”
“Teman baru?” gumam Ameera.
Ia berjalan di belakang Rania menuju pintu.
“Assalamu’alaikum, Ran.”
“Wa’alaikumsalam, Mbak. Masya Allah, akhirnya sampai juga. Aku sudah nunggu dari tadi.”
“Maaf ya, tadi agak macet,” ucap Nafisah.
“Gapapa. Ayo masuk.”
Rania mempersilakan Nafisah dan Zaki masuk, diikuti kedua anak mereka—Gus Atheef dan Ning Hanifa.
“Eh, ini Ameera kan? Anaknya Laras?” tanya Nafisah.
“Iya, Mbak. Aku sengaja minta Mbak Laras bawa Ameera ke sini. Kasihan dia gak ada teman. Mumpung ada anak-anak Mbak, bisa sekalian main.”
“Ah iya, bener juga. Ayo nak, salaman dulu sama Tante Rania.”
“Hai, Tante!” pekik Hanifa yang memang sudah akrab dengan Rania.
“Hanifa…” tegur Zaki lembut. “Pelan-pelan, sayang.”
“Maaf, Abi. Aku kangen Tante Rania. Kalian ngobrol terus sih,” protes Hanifa.
Rania terkekeh. “Masya Allah, Hanifa memang anak ceria ya. Tante suka sekali.”
“Atheef pendiam, Tante. Tante tetap suka Atheef?” tanya Hanifa polos.
Rania mensejajarkan tubuhnya dengan Hanifa. “Tante suka kalian berdua. Kalian itu juga anak-anak tante. Sekarang Tante kenalin ya, ini Ameera. Dia keponakan Tante.”
Hanifa mengulurkan tangan. Ameera menyambutnya.
“Aku Hanifa. Kita bisa main bareng!”
“Hai, aku Ameera.”
Ameera melirik Atheef yang tampak diam.
“Aku Atheef,” ucapnya singkat.
Rania tersenyum. “Atheef sudah mau masuk SD ya?”
“Iya, Tante.”
“Oh iya, Tante sampai lupa. Tante bikinin Atheef nagasari, sesuai yang Atheef suka.”
Mata Atheef langsung berbinar. “Beneran, Tante?”
“Iya dong. Ayo ikut Tante ke dapur.”
Rania menyodorkan sepiring nagasari. “Ini Tante bikin khusus buat Atheef.”
“Makasih, Tante!”
“Sama-sama, sayang.”
Nafisah tersenyum. “Kamu itu, Ran. Repot-repot banget bikin buat anak-anak.”
“Gapapa, Mbak. Aku senang kalau mereka senang. Apalagi Atheef, senyumnya kelihatan banget kalau aku bikin ini.”
“Kamu memang jago bikin nagasari. Aku usah bikin sesuai resep yang kamu kasih tapi tetep aja Atheef lebih suka punya kamu ternyata beda tangan tetep aja hasilnya beda.” canda Nafisah.
“Ah, Mbak bisa aja.”
"Punya Umi juga enak kok, kan Atheef suka habiskan."
"Iya nak, tapi memang Umi akuin kok, buatan tante Rania emang enak."
Sementara itu, Hanifa dan Ameera bermain di taman.
“Aku senang main sama Kak Hanifa,” ucap Ameera.
“Aku juga. Tapi kalau kamu jahat, aku gak suka,” sahut Hanifa.
“Aku bukan orang jahat kok, Kak.”
“Hehehe… iya iya, aku hanya bercanda Ameera."
Di dalam rumah, Rania bertanya pada Atheef, “Kenapa gak main sama Hanifa dan Ameera?”
“Aku bosan sama Mbak Hanifa. Kalau Ameera… aku gak mau aja, Tante.”
“Nanti kalau anak Tante lahir, Atheef mau main sama dia? Dia perempuan, loh.”
“Mau dong. Tante baik, pasti anak Tante juga baik. Aku sayang Tante.”
Rania tersenyum haru dan memeluknya. “Kamu sweet banget. Tante puas-puasin peluk kamu sekarang. Kalau Atheef sudah baligh, Tante nggak bisa peluk kayak gini lagi.”
“Kenapa, Tante?”
“Karena kita bukan mahram, sayang."
"Ah iya, bener juga tante."
“Tapi ingat ya, Tante selalu sayang Atheef.”
“Makasih, Tante. Aku boleh bacain shalawat buat bayinya?”
“Boleh banget, sayang.”
***
“Semua ini kamu yang masak?” tanya Bani saat melihat meja makan yang berisi makanan kesukaannya.
“Iya, Mas. Makanan kesukaan kamu.”
“Ada acara apa?”
“Gak ada. Aku ingin aja.”
“Sayang, kamu tahu kan—”
“Aku tahu, Mas,” potong Rania lembut. “Aku nggak capek. Kalau cuma diam, aku malah stres. Kamu sudah melarang aku ke butik, masa masak juga dilarang?”
“Aku cuma gak mau kamu kelelahan.”
“Kalau capek, aku berhenti kok.”
“Yaudah. Temani aku makan.”
Rania mengangguk sambil menyendokkan nasi ke piring Bani.
“Makasih, istriku. Kamu terbaik.”
“Gombal.”
“Fakta.”
***
Waktu berlalu cepat. Kehamilan Rania kini menginjak usia tiga puluh minggu. Setiap pagi, Bani selalu menemani Rania berjalan kaki mengelilingi perumahan. Mereka dikenal sebagai pasangan harmonis—pancaran kasih dari mata Bani tak pernah bisa disembunyikan.
“Kamu capek?” tanya Bani.
“Sebentar lagi, Mas.”
Bani terus menggenggam tangan Rania. Beberapa tetangga memperhatikan dengan iri.
“Masya Allah, Pak Bani sweet pisan euy,” celetuk seorang ibu.
“Iya, Bu Rania beruntung banget,” sahut yang lain.
“Kalau mau suami kayak Pak Bani, ya harus kayak Bu Rania juga,” timpal ibu lainnya.
Bani hanya tersenyum. Rania mengangguk sopan.
“Terima kasih, Bu. Saya bersyukur punya Mas Bani.”
“Semoga persalinannya lancar ya, Bu. Sehat semuanya.”
“Aamiin. Terima kasih. Permisi.”
Bisik-bisik itu terdengar hingga ke telinga Laras. Ia tersenyum lirih. Rania pernah menolongnya—dan ia bersyukur. Meski sempat iri, Laras tak ingin menjadikan iri itu racun di hatinya.
“Aku iri… tapi aku bahagia,” batinnya.
“Rania pantas mendapatkan kebahagiaan itu. Karena Rania pun perempuan yang sempurna.”
***
Sore itu, Rania duduk di teras belakang rumah sambil mengelus perutnya yang semakin membesar. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga kamboja dari taman kecil di samping rumah. Tangannya berhenti sesaat ketika merasakan gerakan halus dari dalam rahimnya.
“Mas…” panggil Rania lirih.
Bani yang sedang membaca pesan di ponselnya segera mendekat. “Kenapa, Sayang?”
“Bayinya bergerak,” ucap Rania dengan senyum lebar.
Bani refleks berlutut di hadapan Rania, menempelkan telinganya ke perut sang istri. “Assalamu’alaikum, Nak. Ini papa.” ucapnya lembut.
Rania tertawa kecil. “Mas kayak ngobrol sama orang dewasa.”
“Buat aku, dia sudah jadi manusia utuh sejak sekarang,” jawab Bani serius namun penuh kasih.
Rania terdiam. Ada perasaan hangat sekaligus haru yang memenuhi dadanya. Ia menatap suaminya lama, seakan ingin mengukir momen itu dalam ingatannya.
“Mas…” suara Rania sedikit bergetar.
“Hmm?”
“Kamu pernah takut gak… kehilangan sesuatu yang kamu sayangi?”
Bani mengangkat kepala, menatap Rania penuh perhatian. “Kenapa tiba-tiba nanya begitu?”
“Entah. Akhir-akhir ini aku sering kepikiran. Takut kalau kebahagiaan ini cuma titipan sebentar.”
Bani menggenggam tangan Rania erat. “Semua memang titipan, Sayang. Tapi selama Allah masih menitipkan, tugas kita cuma satu—menjaga sebaik mungkin.”
Rania mengangguk pelan. Kata-kata itu menenangkannya, meski jauh di lubuk hatinya ada kegelisahan yang belum mampu ia jelaskan.
***
Di tempat lain, Laras duduk di tempat kerjanya. Tangannya berada di atas keyboard komputer, namun pikirannya melayang pada wajah Rania yang selalu terlihat tenang dan bahagia.
“Apa benar semua orang yang terlihat sempurna itu benar-benar tanpa luka?” gumamnya.
Ia teringat mata Rania sore tadi—hangat, namun sesekali tampak kosong seolah menyimpan sesuatu yang tidak pernah ia ceritakan.
Laras menghembuskan napas panjang. “Semoga aku salah.”
Malamnya, Rania terbangun dari tidurnya. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit, melainkan mimpi yang samar namun meninggalkan rasa tidak nyaman. Ia menoleh ke samping, Bani masih terlelap.
Rania menatap langit-langit kamar. Tangannya kembali mengusap perutnya.
“Kalau suatu hari Ibu terlihat lemah,” bisiknya lirih, “jangan pergi ya, Nak.”
Air mata jatuh tanpa suara.
Di balik ketenangan rumah itu, tak ada yang tahu bahwa semesta sedang menyiapkan ujian—perlahan, nyaris tak terasa, namun pasti akan mengguncang.
Pagi itu, Rania terbangun dengan perasaan yang berbeda. Bukan nyeri yang tajam, melainkan rasa berat yang menekan di perut bawahnya. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, menarik napas panjang.
“Mas…” panggilnya lirih.
Bani membuka mata. “Kenapa, Sayang?”
“Entah kenapa… perutku rasanya kencang terus.”
Bani langsung bangun dan duduk di samping Rania. “Sejak kapan?”
“Sejak subuh. Aku kira cuma kontraksi palsu.”
Bani meraba perut Rania. Wajahnya tampak khawatir meski berusaha tenang. “Bayinya masih gerak?”
Rania mengangguk pelan. “Masih… tapi gak seaktif biasanya.”
Bani terdiam sejenak. “Hari ini kita ke dokter, ya.”
Rania ingin menolak, namun rasa tak nyaman itu membuatnya mengangguk.
***
Di ruang praktik dokter kandungan, Rania berbaring dengan layar USG menghadap ke arahnya. Suara detak jantung bayi terdengar, namun ritmenya terdengar sedikit lebih cepat dari biasanya.
Dokter Sintia mengernyit tipis. “Bu Rania, belakangan ini sering merasa perut kencang?”
“Iya, Dok.”
“Pusing, mual berlebihan, atau keluar flek?”
Rania ragu sejenak. “Kadang pusing, Dok. Flek… tadi pagi sedikit, tapi warnanya cokelat.”
Bani langsung menegang. “Itu berbahaya, Dok?”
Dokter Sintia menarik napas pelan. “Belum tentu berbahaya, Pak. Tapi kita harus waspada. Ada tanda iritabilitas rahim. Bisa jadi Ibu terlalu banyak aktivitas.”
Rania menunduk. Ia teringat masak, membuat kue, Jalan-jalan sore.
“Saya sarankan bed rest parsial. Kurangi aktivitas, jangan berdiri lama, dan hindari stres,” lanjut dokter. “Saya juga akan beri obat penguat dan vitamin tambahan.”
“Bayi saya…” suara Rania bergetar.
“Untuk saat ini masih baik, Bu. Tapi kita perlu kontrol lebih sering.”
Bani menggenggam tangan Rania. “Kami ikuti semua saran dokter.”
Dokter Sintia mengangguk. “Kalau ada nyeri hebat, flek merah segar, atau gerakan bayi makin berkurang, segera ke rumah sakit.”
Rania mengangguk, meski dadanya terasa sesak.
Di mobil, suasana hening. Rania menatap jalan tanpa benar-benar melihat. “Maaf ya, Mas,” ucapnya tiba-tiba.
Bani menoleh. “Maaf kenapa?”
“Aku terlalu memaksakan diri.”
Bani menghentikan mobil sejenak di pinggir jalan. Ia menatap Rania dalam-dalam. “Denger ya. Kamu gak salah. Tapi mulai sekarang, tugas kamu cuma satu—jaga diri dan bayi kita. Yang lain, biar aku.”
Air mata Rania jatuh. Bani mengusapnya perlahan.
Malamnya, Rania terbangun karena kram halus di perut. Ia mencoba mengubah posisi, namun rasa kencang itu datang dan pergi.
Ia meraih ponsel, mencatat jam dan durasi seperti yang diajarkan dokter.
02.15 — perut kencang
02.34 — terasa lagi
Rania menelan ludah.
Ia menoleh ke arah Bani yang tertidur pulas. Tangannya gemetar menyentuh perutnya.
“Tenang ya, Nak,” bisiknya. “Ibu lagi belajar berhenti kuat.”
Di luar kamar, hujan turun pelan—seolah ikut menahan napas bersama Rania.