"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Ia menatap Naomi. Kali ini, penilaiannya tidak hanya dingin, namun ada sedikit pengakuan yang tidak menyenangkan.
“Sempurna,” kata Ryu, suaranya rendah. “Gaun itu cocok dengan warna matamu. Tapi kau harus tersenyum, Naomi. Senyummu harus terlihat tulus, seolah kau bangga berdiri di sampingku.”
Naomi memaksakan senyum. Itu terasa palsu, tetapi cukup meyakinkan.
“Bagus,” Ryu mengangguk. Ia melangkah mendekat, memegang lengannya, dan menuntunnya keluar. “Mulai sekarang, kau adalah perhiasan yang kupakai. Kau harus memantulkan cahayaku.”
Di dalam lift pribadi, Naomi memberanikan diri. “Bagaimana, bagaimana kondisi ibu saya?”
Ryu menatapnya. “Dia baik-baik saja. Dia diurus oleh perawat terbaik. Aku bahkan menyempatkan diri untuk melihatnya sekilas. Kau tidak perlu khawatir. Fokusmu adalah pertunjukan malam ini.”
Mendengar konfirmasi bahwa Ryu telah melihat ibunya, rasa terima kasih yang mendalam bercampur dengan rasa malu. Pria ini sudah mengambil kehormatannya, tetapi juga memegang nyawa ibunya. Itu adalah ikatan yang tidak bisa ia putuskan.
Saat mereka tiba, hiruk-pikuk lampu kilat kamera dan kerumunan elit sosial langsung menyerbu mereka. Ryu Dirgantara adalah magnet. Dan Naomi, yang berdiri di sampingnya, tiba-tiba menjadi pusat perhatian yang baru.
Lengan Naomi terasa kaku saat berpegangan pada lengan Ryu. Ia merasakan tatapan ratusan pasang mata yang menusuknya, menilai pakaiannya, perhiasannya, dan yang paling penting, hubungannya dengan Ryu.
Ryu memperkenalkannya dengan cara yang santai, tetapi penuh makna. “Ini Naomi. Dia sekarang tinggal bersamaku di Penthouse B. Kuharap kalian bisa bergaul dengannya.”
Kata-kata tinggal bersamaku sudah cukup. Dalam dunia elit ini, itu adalah pernyataan tidak langsung yang menegaskan kepemilikan. Bisik-bisik langsung menyebar seperti api.
Mereka bergerak di antara para tamu. Naomi berusaha keras untuk tersenyum dan mengangguk, tetapi ia merasa seperti sedang berakting di panggung drama yang ia tidak pernah audisi.
Hingga ia bertemu dengan sepasang mata yang membuatnya terpaku.
Seorang wanita cantik, berambut panjang, dengan gaun couture berwarna merah darah, berdiri di samping seorang pria tua. Wanita itu memiliki aura yang tenang, tetapi matanya memancarkan rasa kepemilikan yang jauh lebih tua daripada yang dirasakan Naomi.
Ryu membeku sesaat ketika melihat wanita itu. Senyumnya menghilang, digantikan oleh lapisan es.
“Ryu,” sapa wanita itu, suaranya merdu, tetapi ada nada ancaman yang terselubung. “Aku tidak tahu kau membawa pendamping malam ini.”
“Vanessa,” balas Ryu, suaranya terdengar tegang. Ia tidak memperkenalkan Naomi.
Vanessa menatap Naomi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tatapannya sangat merendahkan, seolah sedang menilai kualitas suatu barang.
“Siapa ini, Ryu? Aku tidak pernah melihatnya di kalangan kita. Kenapa dia terlihat seperti boneka porselen yang baru dikeluarkan dari kotaknya?”
Naomi merasakan harga dirinya terkoyak, tetapi ia menahan diri untuk tidak bereaksi.
“Dia tamu saya, Vanessa. Tidak ada lagi yang perlu kau ketahui,” jawab Ryu, nada suaranya mengancam.
Vanessa tersenyum dingin. “Benarkah? Kupikir kau mencari yang lebih berpengalaman. Mengingat situasimu.”
Naomi bingung. Situasi apa?
Vanessa mengalihkan perhatiannya ke Ryu, suaranya menjadi lebih pelan dan intim, seolah ingin mengabaikan kehadiran Naomi. “Ayahku bilang, dia akan segera mengumumkan pertunangan kita, Ryu. Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk menghindarinya, bahkan dengan membawa mainan baru.”
Naomi merasakan kakinya lemas. Pertunangan?
Vanessa mencondongkan tubuhnya ke Ryu, berbisik, “Dia mungkin bisa memberimu pelarian sementara, tetapi dia tidak bisa memberimu apa yang ku punya. Ingat, Ryu. Aku yang akan menjadi Nyonya Dirgantara.”
Ryu menegang. Ia mencengkeram lengan Naomi dengan erat, yang membuat Naomi mengernyit kesakitan.
“Jangan membuatku mengambil tindakan, Vanessa,” desis Ryu.
“Tindakan apa?” Vanessa menantang. “Menikahi gadis lugu ini? Apakah itu akan menghentikan diagnosismu?”
Naomi tidak sengaja mendengar kata itu.
Tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Ryu Dirgantara, pria yang dingin dan kejam ini, sedang berjuang melawan sesuatu yang ia sembunyikan. Dan Naomi, ia bukanlah pasangan cinta, bukan pula pelarian semata, ia adalah tameng. Sebuah pelarian dari pernikahan paksa, dan mungkin, sebuah pelarian dari kematian.
Ryu menarik Naomi menjauh dengan kekuatan yang nyaris menyakitkan. Mereka meninggalkan Vanessa di tengah lantai dansa.
“Jangan pernah dengarkan kata-kata wanita itu,” Ryu memerintahkan, suaranya keras.
“Situasi apa yang dia maksud? Diagnosa apa, Tuan?” Naomi memberanikan diri bertanya, meskipun ia tahu ia melanggar aturan tidak ada tuntutan.
Ryu berhenti. Ia memutar tubuhnya, menatap Naomi dengan mata yang kini dipenuhi badai yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya, Naomi melihat kerentanan yang bercampur dengan kemarahan di wajah pria itu.
“Kau tidak punya hak untuk bertanya, Naomi.”
“Saya harus tahu, Tuan. Jika saya adalah tameng, saya harus tahu apa yang saya lindungi!”
Ryu mendekatkan wajahnya ke wajah Naomi. “Kau tidak perlu tahu apa-apa selain ibumu aman dan tubuhmu milikku. Aku membeli kepatuhanmu, bukan rasa ingin tahu bodohmu.”
Ia menarik Naomi ke sudut yang lebih tersembunyi, di balkon yang menghadap pemandangan malam kota.
Ryu menyandarkan tangan di pagar, terlihat kelelahan. “Ayah Vanessa, dia menginginkan Dirgantara Tower. Satu-satunya cara baginya untuk mendapatkannya adalah melalui pernikahan. Dan aku, aku tidak punya banyak waktu. Aku butuh penerus, dan ibuku terus mendesak agar aku menikah dengan Vanessa untuk memperkuat aliansi bisnis.”
Naomi merasa dingin. “Penerus?”
Ryu menoleh, menatap Naomi dengan tatapan yang sangat intens. “Kontrak kita, Naomi. Dua Miliar itu bukan hanya untuk satu malam. Itu untuk seluruh pelayananmu sebagai istri kontrak. Aku butuh anak. Pewaris. Sesegera mungkin.”
Naomi terhuyung mundur. Ia sudah membayar dengan keperawanannya. Sekarang, ia harus membayar dengan rahimnya.
“Tuan,” bisik Naomi. “Itu tidak ada dalam kontrak.”
Ryu tersenyum sinis. “Kau pikir kenapa aku memilihmu, Naomi? Kenapa aku memilih gadis yang sangat membutuhkan uang hingga mau menjual dirinya? Aku memilihmu karena kau murni, kau patuh, dan kau tidak memiliki keluarga besar untuk menuntut hak waris atas cucunya. Kau adalah wadah yang sempurna, Naomi.”
Ia mendekat, mengangkat dagu Naomi. “Kau akan tinggal di Penthouse B, kau akan menemaniku, dan kau akan mengandung anakku. Itu adalah harga baru untuk dua Miliar itu. Jika kau berhasil, aku akan memberimu lima ratus juta tambahan, dan kau bebas pergi setelah anak itu lahir dan berada di bawah perawatanku.”
Naomi menelan ludah, air mata menggenang di matanya. Rasa sakit fisik semalam tidak sebanding dengan kepedihan janji ini.
“Bagaimana jika saya tidak mau?” tantang Naomi, suaranya bergetar.
Mata Ryu menyempit, dan kemarahan yang dingin kembali.
“Maka ibumu akan kehilangan kamar VIP nya besok pagi, dan semua tagihan rumah sakit akan dibatalkan. Kau tahu, Naomi. Tubuhmu adalah jaminannya.”
Kata-kata itu menghancurkan sisa-sisa pertahanannya.
Ryu tidak menunggu jawaban. Ia meraih tangan Naomi, menariknya kembali ke aula.
“Mari kita kembali. Sekarang tersenyum. Dan ingat apa tugasmu yang sebenarnya, Naomi. Malam ini, aku akan mengambil cicilan kedua dari kontrak kita, dan aku akan memulainya dengan intensi untuk memastikan kamu memenuhi tugas terakhirmu.”
Naomi tidak bisa bernapas. Ia tidak lagi melihat Ryu sebagai monster yang indah, tetapi sebagai iblis yang haus kekuasaan. Ia adalah tawanan, dan malam ini, ia harus kembali ke ranjang yang dingin, siap menjadi wadah bagi pewaris Ryu Dirgantara.
Saat mereka berjalan kembali ke tengah keramaian, Ryu tiba-tiba berhenti, memegang dadanya seolah ada rasa sakit yang tajam. Wajahnya memucat, dan keringat dingin membasahi pelipisnya.
Naomi melihatnya, terkejut. “Tuan Ryu, Anda baik-baik saja?”
Ryu mendorongnya menjauh sedikit, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dari mata orang banyak. “Aku baik-baik saja! Jangan pedulikan aku! Ini hanya kelelahan!”
Namun, ia tidak bisa mengendalikan tangannya yang bergetar. Ia menatap Naomi, matanya memohon sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan.
Tiba-tiba, ia ambruk. Tubuhnya yang kuat jatuh ke lantai marmer dengan bunyi keras, menjatuhkan Naomi dalam kebingungan dan kepanikan. Kerumunan langsung hening.
Naomi berlutut di sampingnya, meneriakkan namanya. “Tuan Ryu! Tuan Ryu!”
Saat ia menyentuh wajah Ryu, Ryu mencoba meraihnya, bisikan terakhirnya nyaris tidak terdengar, namun sangat jelas.
“Naomi anak itu harus lahir...”