Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Perang di Dapur
"Aduh, kepalaku, May... Dunianya muter semua."
Maya langsung menjatuhkan pisaunya begitu mendengar suara gedebuk pelan dari arah meja makan. Dia meraba-raba dalam gelap, menyalakan senter ponselnya yang baterainya tinggal belasan persen. Ibunya terduduk di lantai sambil memegangi dahi, wajahnya yang pucat pasi terlihat sangat menderita di bawah sorot lampu senter.
"Ibu! Vertigonya kumat lagi?" Maya membantu ibunya berdiri dengan susah payah. Tubuh ibunya terasa ringan, terlalu kurus untuk beban pikiran yang begitu berat.
"Nggak apa-apa, Nak. Ibu cuma... Ibu cuma mau bantu kamu potong bawang, tapi tiba-tiba semuanya gelap terus muter," bisik Ibu, suaranya sangat lemah.
"Nggak ada bantu-bantu. Ibu masuk kamar sekarang. Biar Maya yang selesaikan sendiri," tegas Maya. Dia memapah ibunya ke kamar, menyelimutinya, dan memastikan ada minyak kayu putih di dekat bantal.
"Tapi 50 porsi itu banyak, Maya. Kamu belum mulai masak dagingnya, ayamnya juga belum dibumbu," Ibu masih mencoba protes dengan suara serak.
"Ibu tenang saja. Maya ini mantan manajer. Mengurus dapur begini masih lebih mudah daripada menghadapi klien rewel di Jakarta. Ibu istirahat ya, jangan bangun sampai Maya panggil."
Maya keluar dari kamar, menutup pintu pelan, dan kembali ke dapur yang sunyi. Dia menyalakan beberapa lilin yang dia temukan di laci.
Cahaya temaram lilin menari-nari di dinding dapur, membuat suasana terasa mencekam. Maya menarik napas panjang, mengikat rambutnya lebih kencang, dan mulai mencuci ayam.
Sret! Sret! Sret!
Suara pisau beradu dengan talenan menjadi satu-satunya musik di tengah badai hujan yang masih menggila di luar. Tangannya bergerak sangat cepat. Membuang lemak ayam, memotong daging sapi menjadi dadu yang presisi, dan mengiris bumbu dengan ketukan yang ritmis. Dia tidak butuh lampu terang; otot-otot tangannya sudah hafal setiap gerakan.
Satu jam berlalu. Keringat mulai bercucuran di dahi Maya, menetes ke lantai. Saat dia mencoba menyalakan kompor untuk mulai menumis bumbu dasar, suara klik-klik-klik yang hampa menyambutnya.
"Aduh, jangan sekarang... ayolah!" gumam Maya panik. Dia terus memutar pemantik kompor, tapi api biru yang dia harapkan tidak muncul. Bau gas juga tidak tercium.
Dia memeriksa tabung gas di bawah meja. Kosong. Dia beralih ke tabung cadangan, tapi saat dipasang, regulatornya mendesis keras. Bocor.
"Sial!" Maya memaki pelan. Dia mencari karet gelang, melilitkannya di mulut tabung gas, lalu memasang kembali regulatornya dengan paksa. Tangannya gemetar, tapi dia berhasil. Api akhirnya menyala.
Baru saja aroma harum bumbu kuning mulai memenuhi dapur, pintu belakang rumah digedor dengan keras. Tanpa menunggu jawaban, Tante Rosa masuk dengan payung yang masih basah kuyup, membuat lantai dapur yang baru saja dibersihkan Maya jadi kotor lagi.
"Oalah, gelap-gelap begini kok masak besar? Buat siapa, May? Buat pesugihan?" suara Tante Rosa melengking, kontras dengan ketenangan yang coba dibangun Maya.
Wanita itu pagi-pagi buta datang di tengah hujan badai dan langit yang masih gelap cuma buat bikin rusuh. Maya muak.
"Ada pesanan katering, Tante. Tolong jangan berisik, Ibu lagi sakit di dalam," sahut Maya tanpa menoleh, tangannya sibuk mengaduk daging sapi di wajan besar.
Tante Rosa mendekat, hidungnya kembang-kempis menghirup aroma masakan Maya. "Harum banget. Kamu pakai bumbu apa? Pakai penglaris ya? Kok baunya beda sama masakan ibumu biasanya."
"Bumbu biasa, Tante. Cuma teknik masaknya saja yang beda," jawab Maya pendek.
Tante Rosa tidak menyerah. Dia mencoba mengambil sendok kayu untuk mencicipi kuah daging yang sedang mendidih. "Coba Tante cicip dulu. Jangan-jangan kemanisan. Orang kota itu biasanya nggak pinter bumbuin masakan kampung."
Plak!
Maya memukul tangan Tante Rosa dengan sodet kayu sebelum sendok itu menyentuh kuahnya. "Jangan pegang-pegang, Tante. Ini pesanan orang penting. Semua harus higienis."
Tante Rosa kaget, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah. "Sombong banget kamu! Cuma mau bantu cicip supaya kamu nggak malu-maluin keluarga kalau rasanya hambar!"
"Keluarga mana yang Tante maksud? Keluarga yang kemarin menghina aku pas baru turun dari ojek? Atau keluarga yang mau pinjam panci padahal tahu kami lagi susah?" Maya membalikkan tubuh, menatap Tante Rosa dengan mata tajam yang berkilat di bawah cahaya lilin.
"Kamu... kamu itu kurang ajar ya sama orang tua!"
"Tante Rosa, dengerin baik-baik. Dapur ini sekarang wilayah kekuasaanku. Kalau Tante kesini cuma mau cari tahu resep atau mau menghina aku lagi, mending Tante keluar sekarang. Hujannya masih deras, jangan sampai daster macan Tante basah kuyup," kata Maya dengan nada yang sangat tenang tapi mematikan.
"Ibumu nggak pernah ngajarin sopan santun?"
"Ibu ngajarin aku untuk jadi wanita tangguh, bukan wanita yang suka ikut campur urusan orang lain. Keluar, Tante. Atau saya teriak biar orang-orang tahu kalau ada yang mau sabotase katering orang sukses?" ancam Maya.
Tante Rosa menghentakkan kakinya ke lantai. "Sukses? Halah! Paling juga besok kamu nangis-nangis karena masakanmu nggak laku! Lihat saja nanti!"
Begitu Tante Rosa pergi, Maya langsung mengunci pintu belakang.
Dia menyandarkan kepalanya di pintu sejenak, mengatur nafasnya yang memburu. Waktu terus berjalan. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan pagi.
Dia kembali ke kompor. Tanpa lelah, dia mulai membungkus nasi dengan daun pisang satu per satu. 10 porsi, 20 porsi, 30 porsi... tangannya mulai lecet karena gesekan daun dan panas uap nasi, tapi dia tidak berhenti.
Dia teringat surat dari Siska. Dia teringat jam tangan bapaknya yang tergadai.
Lampu tiba-tiba menyala kembali. Maya bernapas lega. Dia bisa mulai mempacking makanan ke dalam kotak dengan lebih rapi.
Kotak-kotak itu disusun rapi di atas meja. Aroma ayam goreng, nasi bakar ikan cakalang, rendang daging, dan tumis buncis jagung manis memenuhi ruangan. Semuanya terlihat sangat cantik dan menggiurkan.
"Selesai..." Maya bergumam puas. Jam sepuluh pagi. Dia punya waktu satu jam untuk sampai ke kantor Arlan di pusat kabupaten yang jaraknya sekitar 45 menit dengan motor.
Dia membangunkan ibunya sebentar untuk membantu memegang kotak-kotak itu agar bisa ditata di atas motor tua peninggalan ayahnya. Motor bebek tahun 90-an yang knalpotnya sudah sering batuk-batuk.
"Hati-hati, May. Ini banyak banget bawaannya," pesan Ibu sambil menahan pusingnya.
Maya mengikat dua keranjang besar di jok belakang motor. Isinya 50 kotak katering yang sudah tertata sempurna.
Dia sudah mandi kilat, memakai kemeja terbaiknya yang masih tersisa, dan memoles wajahnya sedikit agar tidak terlihat seperti orang yang tidak tidur semalaman.
"Maya berangkat ya, Bu. Doakan lancar."
Maya menyalakan mesin motor. Brem! Brem! Cekit! Mesinnya hidup. Dia mulai menjalankan motornya perlahan keluar dari halaman rumah yang becek karena sisa hujan semalam. Di jalanan kampung, beberapa tetangga melihatnya dengan heran. Ada yang mencibir, ada yang hanya menonton.
Dia baru saja melewati tikungan depan rumah Tante Rosa ketika tiba-tiba motornya terasa oleng ke kanan dan kiri dengan hebat.
Duar!
Suara ledakan kecil terdengar dari bagian bawah motor, diikuti bunyi gesekan besi dengan aspal yang memilukan.
Maya mengerem mendadak, hampir saja dia terjatuh bersama 50 kotak kateringnya. Dia turun dengan jantung yang nyaris copot, lalu memeriksa bagian belakang motor.
"Ya Tuhan... nggak mungkin," bisik Maya lemas.
Ban belakang motornya meletus total. Robekannya sangat besar, seolah-olah baru saja melewati sesuatu yang sangat tajam dan sengaja diletakkan di sana. Maya menoleh ke belakang, ke arah rumah Tante Rosa yang pagarnya tertutup rapat, tapi dia bisa melihat gorden jendela yang sedikit bergerak.
Maya melihat jam tangan di pergelangan tangannya—jam tangan murah yang dia beli di pasar kemarin sebagai pengganti. Pukul 10.30.
Waktu pengantaran ke kantor Arlan tinggal 30 menit lagi. Jaraknya masih jauh, dan motor satu-satunya hancur di tengah jalan yang sepi.
Tidak ada bengkel di dekat sini. Tidak ada ojek yang lewat.
"Arlan bilang jam sebelas tepat... Kalau aku telat, semuanya gagal," suara Maya bergetar. Dia menatap tumpukan kotak katering itu, lalu menatap jalanan aspal yang panjang di depannya.
Dia tidak punya pilihan. Dia harus sampai ke sana. Tapi bagaimana caranya membawa 50 kotak berat ini sendirian tanpa motor?