Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emergency Jodoh & Mama Berubah Jadi Agen Cupid ( Bagian 2)
“HAHAHAHAHAHAHAHA. MEISYA! CABUL?! AHAHAHA! PRIA ITU SIAPA?! MUNGKIN DIA JODOH LO KAYAKNYA!”
“DIA NUDUH GUE CABUL, MA!”
“KALO DIA GANTENG, MAAFKAN! BIARLAH ITU AWAL HUBUNGAN KALIAN!”
Aku nyaris membanting ponsel. Tapi harga cicilan bulan ini belum lunas, jadi aku mengurungkan niat. Tapi satu hal pasti. Hari ini, aku bukan cuma dipojokan oleh desakan nikah dari mama tapi juga di tuduh cabul oleh…pria misterius berbaju hoodie yang, sayangnya, terlalu tampan untuk diabaikan.
Dan entah kenapa…wajahnya terus ada di kepala saat kata-kata cabul itu mengalir indah dari tenggorokannya.
‘Huh. Sialan juga tuh cowok.’
“Harusnya gue rekam tadi waktu lo di bilang cabul,” goda Rahma sesampainya aku di coffee shop tempat janjian kami.
Aku mengabaikan candaannya dan dengan wajah merah padam membenamkan wajahku ke meja.
“Harga diri gue!” lirihku sambil terisak.
“Sabar ya B*tches, lo bisa jadiin ini sebagai moment of your life.”
Dia menepuk bahuku tapi masih tertawa terpingkal-pingkal, Rahma memang definisi sahabat banget, bukannya menghibur malah menjadikan musibahku sebagai bahan lelucon.
“Sudah, sudah,”katanya berusaha menenangkanku.
“Percaya deh, gak mungkin lo ketemu lagi sama dia,” tambahnya.
“Kalo ketemu gimana?”
“Berarti kalian ditakdirkan,” jawabnya berusaha menahan tawanya.
Aku menghebuskan nafas dengan kesal, mengepalkan tanganku dengan kuat sehingga buku jari ku memutih. Mataku melotot ke arah gadis yang masih menahan tawa di depanku.
“Maaf, maafin gue,” pintanya dengan nada yang tidak ikhlas.
Aku mendengus, memutar kepala ku ke samping lalu mengatupkan rahangku rapat-rapat.
“Gue salah Sya, harusnya gue ngirim videonya pas lo udah dirumah”
“…..”
“Tapi momennya tepat buat ngirimnya, gue cuma pengen mencairkan suasana, siapa yang yangka malah kepergok.”
“Lo…” geramku sambil menunjukke wajahnya tapi suaraku teredam karena marah.
“Maafin ya hmmm, yaaa.”
Dia menghampiri sambil mengatupkan kedua tangannya di dada dan menatapku dengan tatapan memohon.
“Ayolah Sya, maafin gue ya.”
Kali ini dia memeluk pundakku dan bersandar di sana sambil bertingkat imut supaya aku memaafkan. aku akhirnya mengangguk. Meliriknya sebentar kemudian bangkit.
“Ayo!”
Dia mengangguk. Mengikutiku ke luar dari coffee shop, kami berencana bertemu dengan beberapa calon vendor wedding organizer yang akan menangani acara pernikahan Rahma,
Awalnya aku menolak tapi karena tidak tega melihatnya pergi sendiri, akhirnya aku ikut juga.
“Jadi kapan rekan kerja lo itu mau menjadwalkan kencan buta sama koneksinya?” Tanya Rahma saat kami duduk untuk makan setelah berputar-putar sepanjang hari.
“Entahlah, dia belum memberi tahuku tanggal pastinya,” jawabku sambil menyendok makanan ke mulut.
Kami memutuskan untuk makan di salah satu restoran terdekat. Tempat yang selalu menjadi andalan kalau ingin makan ayam bakar.
“Jujur gue gak habis pikir kenapa rekan lo sesibuk itu mengurusi hidup lo, waktu lo pertama kali cerita gue sampai pengen marah, tapi mungkin karena mereka peduli walaupun kepedulian mereka terkesan kelewat batas.”
“Yah, kalau di pikir-pikir memang gak ada salahnya juga untuk membuka hatiku lagi, tidak semua orang seperti dia,” jawabku.
“Hmm lo benar, tapi bukankah sebaiknya-.”
Dia tidak melanjutkan kalimatnya, sepertinya dia paham bahwa aku kurang nyaman membahas tentang masa lalu, Rahma adalah adalah type orang yang akan mendukung apapun keputusan ku walaupun sebenarnya dia memiliki pemkiran yang berbeda denganku.
“Tapi Sya, kenapa lo gak pertimbangkan Mas tetanggan Hot itu aja?”
Aku mengangkat kepala. Meletakkan sendok dan garpu yang ada di tanganku. Diam sebentar. Lalu menyesap air yang ada di depanku.
Aku menghela nafas pelan. Bukan karena aku tidak pernah mempertimbangkan apa yang dilontarkan Rahma tetapi apakah kali benar-benar akan berakhir bahagia?
Bagaimana jika gagal lagi? Apakah aku masih akan sanggup berdiri tegak dan tersenyum seperti biasanya?
Aku tertawa lirih.
“Pertimbangan itu ada kalau dia menyukai gue, tapi dia hanya mengangap gue sebatas teman.”
“Gue paham maksud lo Sya, sekarang gue tanya sama lo—,”
Dia berhenti sejenak.
“Apa lo nyaman bersama Johan itu? Apa percakapan kalian nyambung? Atau apa menurut lo dia baik dan bertanggung jawab?”
Aku merenung. Pikiranku melayang ke sosok pria dengan kulit cokelat yang tersenyum dan menyapaku setiap pagi.
“Dia memang membuat gue nyaman dan tentu saja percapakan kami nyambung karena kita memiliki ketertarikan yang sama, tapi…”
Suaraku tercekat ditenggorokan, pandanganku jatuh ke piring yang masih berisi dengan separuh makanan yang belum jadi aku makan, aku menggigit bibir bawahku menahan sesak yang muncul di dadaku, rasa sakit seperti hatiku ditikam bertubi-tubi itu muncul kembali.
Aku mengempalkan tangan. Menahan emosi yang muncul dihatiku, berusaha sekuat tenaga melupakan kenangan pahit yang pernah terjadi. Dengan senyum pahit aku mengankat kepala,
“Bukankah semuanya juga sama? Berawal dari nyaman dan nyambung?”
“Gu-gue minta maaf Sya, gue gak bermaksud percakapan kita akan berakhir ke topik ini.”
Rahma berdiri dari duduknya kemudian bergerak ke arahku lalu dia duduk di sampingku. Memelukku. Tangannya mengusap air mata di pipiku yang entah kapan jatuh.
Aku menutup mata dengan kedua tanganku. Tersenyum getir, padahal sudah selama itu waktu berlalu tetapi sepertinya aku tidak bergerak? Aku masih berdiam di waktu yang lalu, terpaku dan tak berdaya.
Aku melepaskan dekapan Rahma. Lalu dengan mata yang masih berkaca-kaca, aku berusaha tertawa.
“Kenapa kita berubah jadi melowdrama gini sih? Baru tadi gendrenya komedi.”
Rahma menatap mataku lekat-lekat sepersekian detik. Kemudian dia tertawa menyambut kalimat yang aku ucapkan.
“Benar juga Mbak Cabul!”
“Ck mulai lagi, jangan ingatkan gue dengan bocah sialan itu,” bentakku.
“Bocah? Jadi yang mengatakan lo cabul itu masih bocah?”
Rahma cekikitan. Aku tidak tau apakah itu cara dia untuk membuatku lupa dengan perasaan sedih. Tapi aku benar-benar berterima kasih karena dia sudah mengalihkan pembicaraan dan membuatku lebih tenang.
“Mungkin masih bocah, soalnya wajahnya terlihat masih muda tapi suara dan tingginya kayak pria dewasa.”
“Oh benar, suaranya berat banget makanya gue kira om-om yang bilangin lo cabul,” katanya di sela-sela tawa renyahnya.
“Bisa gak sih lo berhenti menjadikan penderitan teman lo sebagai lelucon?”
Aku melemparkan plastik sedotan ke arahnya yang masih tertawa. Akhirnya aku tidak bisa menahan diri kemudian ikut tertawa bersamanya.
**