NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: PENJAGAAN KETAT

Lima hari berlalu sejak Laura tinggal di apartemen Julian. Lima hari yang terasa seperti lima minggu karena setiap menit terasa lambat, setiap detik terasa berat dengan ketegangan yang tidak terucapkan.

Mereka jatuh ke dalam rutinitas yang canggung. Julian bangun lebih pagi—Laura tahu karena dia mendengar suara shower dari kamar Julian sekitar jam lima pagi. Lalu Julian keluar untuk jogging atau gym—kebiasaan dari masa militernya yang tidak pernah hilang. Saat dia kembali, Laura sudah bangun, sudah mandi, sudah berpakaian rapi untuk kantor.

Mereka sarapan bersama dalam keheningan yang dipenuhi oleh hal-hal yang tidak dikatakan. Julian membaca berita di tablet-nya, Laura sibuk dengan ponselnya. Sesekali mereka berbicara—tentang pekerjaan, tentang proyek, tentang hal-hal aman yang tidak menyentuh wilayah personal.

Tapi Laura merasakan sesuatu. Cara Julian sesekali mencuri pandang padanya saat dia tidak menyadari. Cara tangannya sesekali berhenti di udara seolah ingin menyentuh tapi tidak jadi. Cara matanya mengikuti Laura saat dia bergerak di apartemen, seolah memastikan dia masih ada, masih aman.

Dan yang paling menyiksa—saat malam tiba.

Mereka berdua ada di apartemen yang sama. Laura di kamarnya, Julian di kamarnya. Hanya beberapa meter memisahkan mereka. Laura bisa mendengar suara-suara samar dari kamar Julian—langkah kaki, suara lemari dibuka, shower yang menyala.

Dan Laura membayangkan—membayangkan Julian di balik pintu itu. Membayangkan dia melepas kemeja kerjanya, memperlihatkan punggung yang pasti berotot dari latihan bertahun-tahun. Membayangkan air shower mengalir di tubuhnya.

Laura harus memukul kepalanya sendiri untuk menghentikan pikiran-pikiran itu. Ini salah. Dia tidak seharusnya berpikir seperti ini tentang Julian yang masih belum jelas dengan Maudy.

Tapi tubuh tidak peduli dengan logika. Jantung tidak peduli dengan moralitas.

Dan setiap malam, Laura tidur dengan perasaan hampa karena Julian ada begitu dekat tapi tetap tidak terjangkau.

Kamis malam, hari kelima Laura di sana, sesuatu berubah.

Laura sedang di dapur membuat teh saat Julian pulang—lebih awal dari biasanya, sekitar jam delapan malam. Dia langsung masuk ke kamarnya tanpa banyak bicara, yang aneh karena biasanya Julian setidaknya menyapa.

Sepuluh menit kemudian, Laura mendengar suara keras dari kamar Julian—seperti sesuatu dibanting ke dinding.

Tanpa berpikir, Laura berlari ke arah kamar Julian, mengetuk pintu dengan khawatir. "Julian? Kamu tidak apa-apa?"

Tidak ada jawaban.

"Julian, aku masuk ya?"

Laura membuka pintu perlahan dan melihat Julian duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya di tangan, punggungnya membungkuk. Ponselnya tergeletak di lantai—sepertinya itu yang dibanting tadi.

"Julian?" Laura melangkah masuk dengan hati-hati. "Ada apa?"

Julian mengangkat kepala, dan Laura melihat ekspresi yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Kelelahan. Frustasi. Dan sesuatu yang lebih dalam—keputusasaan.

"Maudy," ujarnya dengan suara serak. "Dia terus menelepon. Terus datang ke kantor. Terus meminta aku untuk kembali padanya. Dan aku—aku tidak tahu bagaimana membuat dia berhenti tanpa menyakitinya lebih dalam."

Laura merasakan dadanya sesak mendengar nama itu lagi. Tapi melihat Julian seperti ini—begitu rapuh, begitu lelah—membuat instingnya untuk merawat lebih kuat dari rasa sakitnya sendiri.

Dia duduk di samping Julian, menjaga jarak kecil tapi cukup dekat untuk menunjukkan dukungan. "Kamu harus jujur padanya, Julian. Apapun yang kamu rasakan, dia berhak tahu."

"Tapi itulah masalahnya," Julian menatap Laura dengan mata yang penuh konflik. "Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Bagian dari diriku masih marah pada Maudy karena meninggalkan aku. Bagian lain merasa bersalah karena mungkin aku yang membuat dia pergi—karena aku terlalu hancur, terlalu bermasalah setelah insiden itu."

"Julian, kamu tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri untuk pilihan yang dia buat."

"Tapi bagaimana kalau dia benar? Bagaimana kalau aku memang terlalu rusak untuk dicintai?"

Kata-kata itu keluar dengan suara yang hampir tidak terdengar, tapi menusuk jantung Laura seperti pisau.

Tanpa berpikir, Laura menyentuh wajah Julian, memaksanya menatap matanya. "Dengar baik-baik, Julian Mahardika. Kamu tidak rusak. Kamu terluka, ya. Kamu punya trauma, ya. Tapi itu tidak membuat kamu tidak layak dicintai. Itu hanya membuat kamu manusia."

Julian menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca—pertama kalinya Laura melihat Julian hampir menangis. "Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"

"Karena aku—" Laura berhenti, nyaris mengakui semuanya. Tapi dia menarik diri, mengubah arah kalimatnya. "Karena aku melihat siapa kamu sebenarnya. Pria yang bekerja keras untuk melindungi orang-orang di sekitarnya. Pria yang tidak tidur karena khawatir proyeknya tidak sempurna. Pria yang datang ke apartemen aku di malam hari karena khawatir aku sakit. Itu bukan pria yang rusak, Julian. Itu pria yang peduli, yang masih bisa merasakan, yang masih bisa mencintai."

Sesuatu berubah di mata Julian. Tatapannya mengintensif, turun sekilas ke bibir Laura, lalu kembali ke matanya.

"Laura," bisiknya, suaranya serak dengan emosi. "Apa yang kamu lakukan padaku?"

"Apa maksudmu?"

"Kenapa setiap kali aku bersamamu, semua tembok yang aku bangun mulai runtuh? Kenapa setiap kali kamu bicara, aku ingin percaya? Kenapa setiap kali kamu menyentuhku—" tangannya menutupi tangan Laura yang masih di wajahnya "—aku merasakan sesuatu yang aku pikir sudah mati?"

Jarak antara mereka menyempit. Laura tidak tahu siapa yang bergerak lebih dulu—mungkin keduanya secara bersamaan. Napas mereka bercampur, hangat dan cepat. Laura bisa merasakan kehangatan tubuh Julian, bisa mencium aroma cologne-nya yang familiar.

Bibirnya hanya beberapa senti lagi—

Ponsel Julian berdering lagi. Keras. Menuntut.

Mereka berdua terlonjak, terpisah seolah tersengat listrik.

Julian mengambil ponselnya dari lantai, menatap layar, dan wajahnya mengeras. "Maudy. Lagi."

Moment itu hancur. Laura berdiri cepat, merasakan pipinya terbakar dengan malu dan frustasi. "Aku—aku akan ke kamar. Selamat malam."

Dia buru-buru keluar sebelum Julian bisa mengatakan apapun. Di kamarnya, dengan pintu tertutup dan terkunci, Laura duduk di lantai dengan punggung bersandar pada pintu.

Hampir. Mereka hampir berciuman.

Dan Laura tidak tahu apakah dia lega atau hancur bahwa mereka tidak jadi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!