NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka yang Menumpuk

Air mataku akhirnya tak bisa kubendung lagi. Rasanya sesak. Bukan hanya karena aku tak dinafkahi, tapi kini juga dikhianati. Luka di hati ini seperti disayat-sayat. Pandanganku tertuju pada wajah Keenan yang sedang tertidur pulas di ranjang kecilnya. Bocah itu sama sekali tak tahu apa-apa, tapi harus ikut menanggung akibat dari kelakuan papanya.

Aku usap rambut Keenan pelan, menahan isak yang makin berat. “Maafin Mama, Nak… kita harus pergi dari sini,” bisikku lirih.

Tanpa pikir panjang, aku menurunkan koper dari atas lemari, membukanya, lalu memasukkan pakaian seadanya. Beberapa baju Keenan, bajuku, semua kujejalkan tanpa lipatan. Aku sudah tidak peduli lagi. Yang penting aku bisa keluar dari rumah ini malam ini juga. Setidaknya, masih ada rumah orang tuaku, tempat aku bisa pulang dan mengadu.

Dari arah ruang tamu, suasana sudah sunyi. Sepertinya Dela dan kedua orang tuanya sudah pulang. Tapi begitu aku membuka pintu kamar perlahan, langkahku langsung terhenti.

Bang Rendra berlutut di depan pintu. Tatapannya sayu, wajahnya kusut penuh penyesalan.

“Aini…” suaranya serak. “Maafkan Abang, Aini… maafkan Abang, ya.”

Aku memejamkan mata sejenak, menahan diri agar tidak langsung berteriak. “Aku akan pergi, Bang. Lanjutkan saja hubungan Abang sama Dela. Kalian juga sudah melakukan hal yang tidak-tidak!”

Aku masuk lagi ke kamar dan membangunkan Keenan yang masih terlelap. Bocah itu mengucek matanya, bingung melihatku tergesa-gesa mengemasi barang.

“Ma, kita mau ke mana?” tanyanya polos.

“Kita pulang, Sayang,” jawabku singkat sambil menggendongnya dan menarik koper keluar kamar.

“Kamu mau ke mana, Aini?” suara Bang Rendra meninggi, tapi nada paniknya lebih dominan.

“Terserah aku mau ke mana, Bang! Jangan urus aku lagi. Cukup sakit yang aku rasakan saat ini. Aku benar-benar gak sanggup lagi lihat wajah kamu.” Aku menunduk, menghindari tatapannya yang memohon.

“Dengar dulu, Aini. Kita bicarakan baik-baik, ya? Abang bersumpah gak melakukan hal yang sampai segitu. Abang cuma… terbawa suasana waktu sama Dela. Tapi Abang sadar dan langsung mengendalikan diri,” katanya cepat, tapi justru membuatku makin muak.

“Berarti Abang memang udah nyentuh dia, kan?!” suaraku meninggi, penuh getar. “Walau gak sampai ke situ, tetap aja Abang udah melukai aku. Sekali kepercayaan hilang, gak akan bisa balik lagi!”

Aku menggeleng keras. “Udah, Bang! Aku gak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku kecewa. Semua ini udah numpuk lama, dan sekarang aku udah gak sanggup. Aku pergi, dan aku bawa Keenan. Aku minta Abang ceraikan aku.”

Aku menarik koper, tapi Bang Rendra malah berlutut lagi dan memeluk kakiku erat-erat. Ia menangis sambil memohon-mohon.

“Aini, jangan gitu. Abang janji gak akan ngulangin lagi. Abang bakal berubah, demi kamu, demi Keenan.”

Aku meronta, tapi pelukannya semakin kencang. “Lepaskan aku, Bang! Aku mau pergi!” bentakku sambil menepis tangannya.

Tepat saat itu, suara teriakan dari luar rumah terdengar. “Rendra! Ibuk kamu sakitnya kambuh!” seru salah satu tetangga yang berlari tergesa masuk ke halaman.

Aku dan Rendra spontan menoleh.

“Apa?” wajah Rendra langsung pucat pasi.

“Iya! Ibuk dengar keributan kalian tadi. Jantungnya kambuh lagi!” ujar tetangga itu cemas.

Rendra panik. Ia berdiri, menatapku ragu antara harus mengejarku atau melihat ibunya.

Tak lama kemudian, Bapak mertuaku datang terburu-buru. Nafasnya terengah. “Aini, jangan pergi dulu! Ibu kamu sakit. Dia nyari kamu dari tadi,” katanya dengan nada memohon.

Beliau menghampiri Keenan yang ada di gendonganku, lalu meraih bocah itu dengan lembut. “Keenan, kita lihat Nenek dulu, ya?”

Keenan mengangguk kecil, masih kebingungan dengan suasana tegang di sekelilingnya.

“Ayo, Aini,” ujar Bang Rendra lagi, berusaha menyentuh lenganku. “Kita lihat Ibu dulu.”

Aku langsung menepis tangannya dengan cepat. “Aku bisa jalan sendiri! Gak usah sok perhatian!” ujarku ketus, menahan tangis yang hampir pecah lagi.

Tanpa menoleh, aku berjalan lebih dulu menuju rumah mertua. Di belakangku, langkah Rendra terdengar terburu, seperti takut kehilangan aku sekaligus takut kehilangan ibunya.

Hati kecilku sebenarnya bergetar, tapi gengsi dan luka terlalu dalam untuk bisa memaafkan begitu saja.

-

-

-

Sesampainya di rumah mertua, suasananya begitu tegang. Bau minyak kayu putih dan obat-obatan menyengat di udara. Di ruang tengah, ibu Bang Rendra terbaring lemah di atas dipan, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Seorang dokter dari puskesmas sedang memeriksanya dengan alat sederhana.

Aku berdiri di dekat pintu, masih menggendong Keenan yang menatap bingung ke arah neneknya.

“Bagaimana, Dok?” tanya Bapak dengan suara cemas.

Dokter menatap kami bergantian lalu menghela napas pelan. “Ibu mengalami syok, sepertinya karena terlalu banyak pikiran dan tekanan batin. Tadi jantungnya sempat berdebar kencang, untung cepat ditangani.”

Aku menunduk. Rasanya dadaku ikut sesak. Meski sedang marah dan kecewa, aku tidak pernah berharap ibu mertua jatuh sakit seperti ini.

“Ini resep obatnya, Pak. Segera ditebus ya, jangan ditunda,” kata dokter sambil menyerahkan selembar kertas.

Bapak mengangguk cepat. “Baik, Dok.” Ia lalu menoleh ke arahku. “Aini, kamu temani Ibu dulu, ya. Biar Keenan Bapak bawa sekalian ke apotek.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan dan menyerahkan Keenan ke pelukannya. Bocah itu masih memandang ke arahku, tapi aku mencoba tersenyum agar dia tenang. “Nanti Mama nyusul, Sayang.”

Begitu dokter dan Bapak keluar, suasana jadi hening. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan di langit-langit.

Tiba-tiba suara lirih terdengar dari ranjang. “Aini… Rendra… mendekatlah ke sini, Nak.”

Aku melangkah pelan mendekat, sementara Rendra berjalan di sampingku. Aku duduk di kursi kecil di samping ranjang, menatap ibu mertua yang matanya mulai terbuka sedikit.

“Ibu tahu… Rendra bersalah,” katanya dengan suara serak. “Tapi Ibu mohon, Aini, jangan tinggalkan dia. Kasihan Keenan… anak sekecil itu butuh ayahnya.”

Aku diam, menunduk.

“Ibu tahu kalian lagi diuji. Rumah tangga memang begitu, penuh badai. Ibu yakin Rendra tidak sengaja. Dia cuma khilaf,” lanjutnya lirih.

Bang Rendra langsung menggenggam tangan ibunya. “Iya, Bu. Abang memang khilaf. Tapi Abang janji, Abang akan berubah.”

“Ibu harap kalian jangan bertengkar lagi, ya. Coba saling ubah sifat, saling introspeksi,” kata ibu mertua lagi, menatapku penuh harap.

Aku menatap kosong ke arah sprei, menahan diri agar tidak meledak. Dalam hati aku menjerit. Kalimat itu, kalimat yang seolah menyalahkanku juga dan benar-benar membuat darahku naik. Tapi mengingat kondisi ibu yang lemah, aku tahan semua yang ingin keluar dari mulutku.

“Baik, Bu,” hanya itu yang keluar dari bibirku, singkat, nyaris tanpa nada.

Namun di dalam hati aku bergumam, "Anaknya yang selingkuh kok malah aku yang disuruh introspeksi diri. Anaknya yang malas, pembohong, tapi aku yang harus berubah?"

Sungguh luar biasa cara berpikir beliau. Dari dulu memang selalu begitu—selalu membela anaknya, apapun kesalahannya.

Aku ingat betul dulu waktu beliau masih sehat, tak jarang aku dengar sendiri dari tetangga kalau beliau sering menjelek-jelekkan aku. Katanya, “Kalau dulu Rendra nikah sama Dela, pasti gak bakal susah kayak sekarang.”

Katanya, menikahi aku yang datang dari keluarga miskin, cuma bikin hidup anaknya repot.

Aku menggigit bibir menahan amarah. Kalau bukan karena menghormati keadaan beliau yang sedang sakit, mungkin aku sudah berdiri dan pergi dari ruangan ini.

Tiba-tiba, suara Bang Rendra memecah lamunanku. “Ibu tenang aja, ya. Rendra dan Aini gak akan pisah, kok. Kami akan saling introspeksi diri,” ucapnya sambil menatapku, seolah ingin mencari persetujuanku.

Aku menoleh pelan, menatapnya tajam. Senyum tipis muncul di bibirku,meski itu senyum kecut yang penuh getir. Dalam hati aku ingin sekali menyentil ginjal dua orang ini biar sadar posisi.

Introspeksi diri? Lucu. Yang berselingkuh siapa, yang harus instrospeksi siapa?

Aku menarik napas panjang, menatap ibu mertua yang mulai memejamkan mata lagi karena lelah.

Kalau bukan karena menghormati Bapak mertua yang begitu baik padaku, mungkin aku sudah memilih pergi malam ini juga tanpa menoleh lagi. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dada ini yang menahan langkahku, antara marah, iba, dan bingung.

Aku menatap Rendra yang duduk di lantai dekat ranjang ibunya. Ia menunduk, wajahnya kusut penuh penyesalan.

Aku tahu, dalam hati kecilku masih ada cinta, tapi luka dan harga diri yang tercabik membuatku tak mampu menatapnya lama-lama dan memilih terus membuang muka ketiak dia menatapku.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!