NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: HARI PERTAMA BEKERJA

Pagi itu Lucian bangun pukul lima—kebiasaan dari hari-hari sebagai algojo yang tidak pernah hilang.

Ia keluar kamar, turun ke lantai satu—diam-diam, seperti bayangan.

Mansion ini terlalu besar. Terlalu sunyi. Terlalu kosong.

Lucian berkeliling—mengecek setiap pintu, setiap jendela, setiap titik lemah yang bisa dimasuki penyusup.

Ada enam pintu. Dua belas jendela lantai satu. Tiga pintu darurat. Sistem CCTV—tapi kameranya sudah tua, beberapa tidak berfungsi.

Keamanan buruk. Untuk wanita sekaya ini, ini terlalu lemah.

Lucian mencatat mental semua yang harus diperbaiki.

"Kau bangun pagi juga?"

Lucian berbalik.

Chelsea berdiri di tangga—mengenakan piyama sutra biru muda, rambut sedikit berantakan, mata masih sedikit mengantuk.

Terlihat... biasa. Tidak seperti putri konglomerat. Hanya seperti wanita biasa yang baru bangun tidur.

"Kebiasaan," jawab Lucian singkat.

Chelsea turun tangga, berjalan ke dapur. "Kau mau sarapan? Aku bisa masak—yah, maksudku, aku bisa coba masak. Mungkin tidak seenak chef profesional tapi—"

"Tidak usah repot-repot, Nona. Aku—"

"Chelsea." Ia menoleh, tersenyum. "Panggil aku Chelsea. Aku tidak suka formalitas."

"Tapi aku bekerja untukmu. Seharusnya—"

"Lucian." Chelsea menatapnya—mata cokelat itu lembut tapi tegas. "Di rumah ini, tidak ada 'majikan' dan 'bawahan'. Kau menyelamatkan nyawaku. Itu membuat kita... setara."

Tidak. Kita tidak setara.

Tapi Lucian hanya mengangguk. "Baik... Chelsea."

Nama itu terasa asing di lidahnya—terlalu intim, terlalu dekat.

Chelsea tersenyum lebar—seolah mendengar namanya dipanggil adalah hadiah terbesar.

Dia kesepian. Sangat kesepian.

Mereka sarapan bersama—Chelsea memasak telur orak-arik yang sedikit gosong, roti bakar yang terlalu keras, dan kopi yang terlalu pahit.

"Maaf," kata Chelsea sambil meringis. "Aku tidak pandai masak. Biasanya ada chef tapi aku pecat dia bulan lalu. Dia... dia mencuri."

Lucian makan dalam diam—sebenarnya makanannya tidak enak, tapi ini pertama kali dalam sembilan bulan ia makan di meja sungguhan, dengan piring bersih, bersama orang lain.

Terakhir kali makan bersama orang lain... dengan keluargaku. Delapan tahun lalu.

"Lucian?"

Ia mengangkat kepala. "Ya?"

"Kau... tidak suka masakanku?" Chelsea terlihat khawatir.

"Tidak. Ini... enak." Bohong. Tapi bohong yang baik.

Chelsea tersenyum lega.

Mereka makan dalam diam lagi.

Chelsea beberapa kali mencoba mengobrol—bertanya tentang hobi Lucian, makanan favorit, film yang disukai.

Lucian menjawab singkat. Satu atau dua kata. Tidak ingin terlalu dekat.

Jaga jarak. Jangan dekat. Jangan—

Tapi Chelsea tidak menyerah. Ia terus mencoba—seperti anak kecil yang berusaha berteman dengan anak baru yang pendiam.

Setelah sarapan, Chelsea menunjukkan jadwalnya. "Hari ini aku ada meeting di kantor jam sepuluh. Lalu makan siang dengan klien. Sore... aku mau ke panti asuhan. Aku rutin ke sana setiap Jumat. Malam tidak ada jadwal."

Lucian mencatat semuanya. "Aku akan siapkan mobil. Dan aku perlu daftar orang yang kemungkinan jadi ancaman."

Chelsea terdiam—wajahnya berubah gelap. "Ada... banyak."

"Berapa banyak upaya pembunuhan sebelum kemarin?"

"Tiga kali. Yang pertama—racun di makanan. Yang kedua—rem mobil dipotong. Yang ketiga—kemarin yang kau lihat sendiri."

Tiga kali. Dan dia masih hidup. Beruntung.

"Mulai hari ini," kata Lucian dengan nada yang tidak bisa dibantah, "kau tidak makan atau minum apapun yang tidak aku cek dulu. Aku yang nyetir—tidak ada sopir lain. Dan kau tidak boleh pergi kemana-mana sendirian. Aku harus selalu bersamamu."

Chelsea mengangguk—patuh seperti anak kecil yang dinasihati.

"Baik, Lucian."

Seharian itu, Lucian mengikuti Chelsea kemana-mana.

Meeting di kantor—Lucian berdiri di belakangnya, diam seperti patung, mata mengawasi setiap orang yang masuk.

Beberapa eksekutif menatapnya dengan pandangan curiga. "Bodyguard baru, Nona Chelsea?"

"Ya," jawab Chelsea tanpa menjelaskan lebih.

Makan siang dengan klien—Lucian duduk di meja sebelah, tidak makan, hanya mengawasi.

Chelsea beberapa kali melirik ke arahnya—seperti memastikan ia masih ada.

Dia takut ditinggal sendirian.

Sore hari, mereka ke panti asuhan.

Lucian berdiri di luar gerbang sementara Chelsea masuk—dikerumuni anak-anak yatim yang berteriak "Tante Chelsea! Tante Chelsea!"

Chelsea tertawa—tawa tulus, tawa bahagia.

Dia bahagia di sini. Bersama anak-anak yatim.

Lucian mengamati dari jauh—melihat Chelsea bermain dengan anak-anak, membawa mainan dan buku, membacakan dongeng.

Dan melihat itu... sesuatu di dada Lucian terasa sesak.

Dia orang baik. Dia tidak pantas diserang seperti itu. Dia—

Tapi pikiran itu terpotong ketika seorang anak perempuan berlari menghampiri Chelsea.

Gadis kecil—mungkin umur sepuluh tahun—rambut dikepang dua, senyum lebar.

Elena.

Tidak. Bukan Elena. Elena sudah mati. Ini anak lain. Ini—

Tapi wajahnya mirip.

Sangat mirip.

Lucian berbalik—menghadap tembok, napasnya tersenggal.

Jangan. Jangan ingat dia. Jangan—

"Lucian?"

Ia merasakan tangan di bahunya—Chelsea.

"Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat."

Lucian menarik napas dalam. "Ya. Hanya... tidak enak badan sedikit."

Chelsea menatapnya khawatir. "Kita pulang sekarang kalau kau—"

"Tidak. Lanjutkan. Anak-anak menunggumu."

Chelsea ragu, tapi akhirnya kembali ke dalam.

Lucian berdiri di sana—menatap gadis kecil yang mirip Elena bermain dengan Chelsea.

Air matanya jatuh—tanpa izin, tanpa bisa ditahan.

Elena... maafkan kakak. Kakak tidak bisa melindungimu.

Ia mengusap air matanya dengan cepat ketika mendengar langkah kaki.

"Anda baik-baik saja?" suara Chelsea dari belakang.

Lucian tidak menoleh. "Ya. Hanya... debu."

Bohong.

Chelsea diam sejenak. Lalu berdiri di sampingnya—tidak mengatakan apa-apa, hanya... ada.

Dan kehadiran itu—meski tanpa kata—terasa... menenangkan.

Ini berbahaya. Aku tidak seharusnya merasa nyaman dengannya.

Tapi aku merasa.

Dan itu yang paling menakutkan.

Malam itu, mereka pulang ke mansion dalam diam.

Chelsea beberapa kali melirik Lucian—seperti ingin berkata sesuatu tapi tidak berani.

Akhirnya ia berbisik: "Lucian... aku melihat kau mengelap mata tadi. Di panti asuhan."

Lucian menegang.

"Kau... kau punya adik?" tanya Chelsea pelan.

Bagaimana dia tahu?

Lucian tidak menjawab.

Chelsea tidak memaksa. "Kalau kau mau cerita tentang apapun... aku mendengarkan."

Lucian menatapnya—melihat ketulusan di mata itu.

Aku ingin cerita. Aku ingin bilang semua.

Tapi mulutnya hanya berkata: "Terima kasih. Tapi aku baik-baik saja."

Bohong lagi.

Chelsea tersenyum sedih—seolah tahu Lucian berbohong tapi tidak memaksa.

"Baiklah. Selamat malam, Lucian."

"Selamat malam, Chelsea."

Di kamarnya, Lucian berbaring menatap langit-langit.

Hari pertama bekerja. Aku mengikutinya kemana-mana. Aku melihat dia tertawa dengan anak-anak. Aku melihat dia kesepian meski dikelilingi orang.

Aku melihat dia seperti cermin diriku.

Dan itu membuatku ingin melindunginya.

Tapi aku masih tidak tahu siapa dia sebenarnya.

Dan mungkin itu lebih baik.

Karena kalau aku tahu... mungkin aku harus pergi.

Lucian menutup mata—dan untuk kedua kalinya, tidur tanpa mimpi buruk.

Karena ada wanita bernama Chelsea di kamar sebelah.

Wanita yang membuat kegelapannya sedikit lebih terang.

Meski ia tidak tahu—suatu hari nanti—wanita itu akan menjadi cahaya yang membakarnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!