Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Permata Hijau
Tubuh Jiang Shen terombang-ambing di arus sungai yang deras, air menghantam wajahnya berkali-kali hingga hampir membuatnya kehilangan kesadaran.
Lengan kirinya yang patah berdenyut sakit, seakan setiap gerakan kecil mengiris syarafnya. Darah dari luka-luka di tubuhnya mengalir terbawa arus, warnanya memudar ditelan derasnya sungai.
Takdir rupanya belum selesai mempermainkan bocah 17 tahun itu. Setelah terbawa entah berapa jauh, arus sungai mulai melambat ketika melewati sebuah gua sempit yang gelap.
Jiang Shen terbanting ke sebuah batu besar di tepi sungai dalam gua itu, nyaris tak sadarkan diri. Dengan napas terengah-engah, ia menatap ke atas, melihat langit-langit gua yang suram dan dingin.
Rasa sakit di rusuknya semakin jelas. Setiap kali ia mencoba menarik napas panjang, ada rasa ngilu tajam yang menusuk. Jiang Shen sadar beberapa tulang rusuknya mungkin retak. Meski tubuhnya remuk, ia masih hidup. Dengan susah payah, ia menyeret dirinya dari tepi sungai menuju celah kecil di dinding gua.
“Aku harus segera mencari tempat aman,” desisnya lemah, khawatir kalau sungai meluap dan menenggelamkan dirinya.
Celah itu tampak sempit dari luar, tapi begitu Jiang Shen merangkak masuk, matanya melebar kaget. Ruang di dalam ternyata sangat luas, seakan ada dunia lain tersembunyi di dalam gua ini.
Ia mendapati sebuah pijakan menanjak ke atas. Dengan satu tangan yang masih berfungsi, ia mencoba mendaki. Nafasnya memburu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Setiap gerakan membuat tulangnya seperti mau patah seluruhnya, tapi tekadnya mendorongnya untuk terus maju.
Setelah perjuangan panjang, ia akhirnya mencapai puncak pijakan itu. Di hadapannya, dinding batu berkilauan. Sebuah cahaya hijau terang terpancar dari permukaan batu, seakan ada permata hidup yang menempel di sana. Cahaya itu begitu indah, memikat hati, namun juga terasa asing dan misterius.
Jiang Shen tertegun. Dengan ragu, ia mengambil sebuah batu biasa dan mulai menghantam bagian yang bercahaya itu. “Kalau ini berharga … mungkin bisa dijual,” pikirnya dengan sisa logika sederhana seorang pemuda miskin.
Setelah beberapa kali pukulan, suara retakan terdengar. Batu bercahaya itu akhirnya terlepas, jatuh ke telapak tangan Jiang Shen. Permata hijau itu terasa hangat, seakan ada aliran energi yang berdenyut dari dalamnya.
Jiang Shen menatapnya dengan takjub—namun sebelum sempat berpikir lebih jauh ...
DUAR!
Cahaya hijau meledak keluar, memenuhi seluruh gua dengan kilatan menyilaukan.
“Aaarghh!!” Jiang Shen menutup matanya, tubuhnya terhempas ke belakang.
Ketika ia membuka mata kembali, dunia sudah berubah. Ia berdiri di ruang tak terbatas, penuh dengan bintang berkelip. Seakan langit malam terbentang hanya untuk dirinya. Di tengah pemandangan itu, berdiri seorang pria tua berjubah hijau zamrud, auranya begitu Agung hingga membuat Jiang Shen nyaris berlutut tanpa sadar.
Pemuda itu menatap, terperangah. “I-ini … di mana aku?”
Pria tua itu tersenyum lembut, namun wibawanya tetap menekan jiwa. “Anak muda, selamat datang di ruang warisan milikku. Dan juga selamat karena menjadi orang beruntung yang menemukan warisanku. Namaku Hun Zhen. Dahulu aku pernah berdiri di puncak kerajaan ini, mencapai ranah Kaisar level 7, dan dikenal sebagai alkemis serta pendekar pedang matahari. Namun sayang, aku tiada penerus. Sebelum ajal menjemput, aku menciptakan permata ini—agar seseorang yang beruntung bisa meneruskan warisanku.”
Kata-kata itu membuat Jiang Shen terdiam. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena tekanan aura yang luar biasa.
“Aku akan memberimu tiga hal,” lanjut Hun Zhen dengan suara bergema di antara bintang. “Pertama, teknik kultivasi Melahap Matahari, sebuah jalan untuk menyerap kekuatan dunia tanpa batas. Kedua, teknik tempur ciptaanku sendiri, Teknik Pedang Matahari—meski belum sempurna akan tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa besar. Dan yang terakhir, seluruh pengetahuan alkimia yang kukumpulkan sepanjang hidupku.”
Seketika, tubuh Jiang Shen terselimuti cahaya hijau pekat. Ingatan, mantra, dan simbol-simbol rumit mulai membanjiri kepalanya. Seakan lautan informasi dituangkan ke dalam wadah kecil bernama otaknya.
“AAAARGH!!” Jiang Shen menjerit. Kepalanya seperti dihantam ribuan palu, matanya berdenyut, seolah hendak pecah. Sakitnya tak bisa digambarkan.
Sesepuh Hun Zhen hanya menatapnya dengan tenang. “Tahanlah. Warisan besar tak pernah datang tanpa harga.”
Gelombang rasa sakit itu semakin liar. Tulang rusuk Jiang Shen bergetar, lengan patahnya terasa makin panas, tubuhnya menegang hingga urat-urat menonjol. Darah mengalir dari hidung dan telinganya. Lalu, akhirnya—kesadarannya lenyap, tubuhnya jatuh pingsan di ruang ilusi itu.
...
Setelah beberapa waktu berlalu, Jiang Shen terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi keningnya. Kepalanya terasa seperti dihantam palu berkali-kali, denyutannya menyakitkan hingga membuat pandangannya berkunang.
Namun berbeda dari sebelumnya, di balik rasa sakit yang mendera, ada aliran pengetahuan asing yang mengalir deras dalam kepalanya—seakan ada pintu besar yang baru saja terbuka dan membanjirinya dengan cahaya. Warisan Sesepuh Hun Zhen kini ada di dalam dirinya.
Tubuhnya masih penuh luka, lengan kirinya patah, dan setiap tarikan napas membuat dada perih karena tulang rusuknya remuk. Tapi di tengah penderitaan itu, pikirannya justru tenang. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ingatan baru yang begitu detail muncul jelas—nama-nama tumbuhan, bentuk daun, khasiat akar, hingga cara mengolahnya. Pengetahuan alkimia itu seakan sudah menjadi miliknya sejak lahir.
“Jika aku tidak segera bertindak … aku akan mati membusuk di gua ini,” gumam Jiang Shen lirih, suaranya serak, namun matanya memancarkan tekad.
Dengan tertatih, ia keluar dari celah gua. Saat ini Jiang Shen masih berada di dalam hutan Yulong yang berbahaya, penuh dengan beast spiritual, dan konon terdapat iblis yang hidup di hutan ini. Namun, bagi Jiang Shen saat ini—lebih berbahaya lagi jika ia berdiam diri. Ia harus mencari ramuan obat.
Setiap langkahnya terasa berat. Ia bersandar pada batang pohon, terkadang jatuh berlutut, namun matanya jeli memperhatikan sekeliling. Daun hijau pucat yang tumbuh di bawah bebatuan—ia mengenalnya.
Daun Penahan Dingin, mampu menekan demam akibat luka dalam. Akar merah kecil yang menjalar di tanah lembab—Akar Darah Naga, mempercepat pemulihan tulang. Bunga biru yang hanya mekar saat sore—Bunga Angin Suci, bisa meredakan nyeri. Semua itu seakan muncul begitu saja dalam ingatannya, tak pernah ia pelajari, namun kini menjadi bagian dari dirinya.
Hari-hari pertama penuh penderitaan. Tubuhnya hampir tak sanggup menahan perih. Ia meracik ramuan seadanya dengan mengunyah dan menumbuk bahan-bahan langsung, lalu menempelkannya pada luka.
Rasanya pahit, getir, bahkan membuat perutnya mual, tetapi setiap kali menelan ramuan itu, tubuhnya sedikit demi sedikit menjadi lebih kuat.
Malam-malam di hutan Yulong adalah ujian terbesar. Suara auman beast spiritual menggema, terkadang begitu dekat hingga membuat bulu kuduk berdiri.
Jiang Shen harus bersembunyi di celah gua sempit, hanya berbekal ramuan dan api kecil untuk bertahan hidup. Roti kering terakhirnya habis di hari ketiga, setelah itu ia hanya bisa memakan buah liar pahit dan rebusan umbi yang ia temukan dengan pengetahuan barunya.
Namun hari demi hari, luka-lukanya menunjukkan perubahan. Pukulan di dadanya mulai mereda, meski masih sakit saat bernapas dalam. Lengan kirinya yang patah ia balut dengan belahan kain dan ditempel ramuan Akar Darah Naga, perlahan terasa pulih.
Setelah seminggu penuh, rasa nyeri yang dulu membuatnya hampir tak bisa bergerak kini tinggal sisa samar. Jiang Shen bahkan bisa berdiri dengan tegap, meski tubuhnya masih kurus dan kelelahan jelas terpampang di wajahnya.
Sambil duduk di batu besar di pinggir aliran sungai gua, Jiang Shen menatap kedua tangannya. “Warisan Sesepuh Hun Zhen … ini benar-benar nyata. Jika bukan karena ingatan itu, aku sudah mati sejak lama.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan harapan yang nyata. Bukan sekadar mimpi samar untuk masuk sekte, bukan sekadar perjuangan mengumpulkan koin emas yang seolah mustahil. Kini ia memiliki sesuatu yang berharga—pengetahuan, warisan, dan teknik yang bisa mengubah nasibnya.
Namun di balik rasa syukurnya, Jiang Shen juga tahu satu hal. Hutan Yulong tidak akan membiarkannya hidup tenang. Ia baru saja bertahan dari kematian, dan jalan di depannya masih dipenuhi bahaya yang lebih besar.
Dengan tekad yang mengeras di dalam dada, Jiang Shen berdiri, menatap kegelapan gua yang diterangi cahaya samar dari sungai. “Mulai sekarang … aku tidak akan menjadi samsak tinju lagi. Dunia ini akan mengenal namaku.”
Segera cepat selesai memang bagus
Tidak ingin melibatkan orang banyak
Yang akan menjadi korban
Tapi itu juga demi kepentingan umum
Masyarakat/Warga Kota/Rakyat Kerajaan Fhoniks biar hidup Tentram
Damai sejahtera dalam kehidupannya
Tidak tertindas/Tertekan oleh aturan
Kekuasaan Sang Penguasa
Kasian Ling Xuenyin lagi pula Jiang Shen kan punya banyak Sekutu Kuat
Klan Aliran putih pasti mereka juga akan membantunya
Tetapi Jiang Shen meminta Mei Mei
Sebagai Kompensasinya sebagai tanda penyesalan telah melakukan
Kesalahan/Penghianatan Sekarang Mei Mei harus mencari informasi tentang gerak gerik Apa yang dilakukan keluarga Raja Ming Tianlong dan para bawahannya Mei Mei harus melaporkanya Ke Jiang Shen (Papiliun Mata Terbit)
Tuan Rumah, Kantor, sebelum melayani Pembeli, Nasabah melihat dulu,penampilan kalau berdasi bawa Koper manggut2 sambil bicara ada yang bisa saya bantu/mau beli apa???
Tapi kalau lihat penampilan lusuh yang di tengteng di tangan kantong plastik kayaknya enggan berdiri/bertanya dunia dunia 🤭🤭sebegitu kah gak tau siapa yang datang itu 😄
Tetap semangat💪💪 Author
Salam sehat sukses selalu Aamiin
Mengadakan perekrutan/mengadakan Sayembara dengan iming2 yang menggiurkan siapa saja yang ikut bergabung perang Melawan/membunuh Jiang Shen akan di kasih kedudukan dan Koin Emas/Hadiah yang melimpah
Biang kerok Pemimpin Utamanya Raja Tianlong Lengser dari Tahtanya
Tianlong Lengser dari kekuasaanya
Digantikan dengan Era Baru
Pemimpin yang benar benar memajukan mensrjahterakan Rakyatnya dan dari masa penindasan
Orang2 yang berkuasa yang mementingkan kepentingan pribadi Jiang Shen Cocok menjadi Raja Fhoniks untuk massa depan lagi pula
Masih Keturunan dari Raja Fhoniks terdahulu 👍👍⭐⭐⭐⭐⭐
Shok jual,mahal pura2 acuh padahal
Xuenyin selalu berharap dengan Jiang Shen
Saja dan Ambil semua Cincin ruang
Cincin penyimpanan Harta Pusaka
Dan barang lain termasuk Herbal dan Koin Emasnya hehehe sikat semua untuk memperbaiki bangunan/Papiliun Mata Terbit yang rusak
Bunuh Tujuh Tetua Klan Ming itu
Jangan diberi kesempatan untuk hidup ke dua kalinya
Bingwen dan 103Orang,Mendo,akan dengan penuh keyakinan percaya pada kalian berdua