Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 Kembali Terluka
1 tahun kemudian....
Tidak terasa Marwah sudah 1 tahun berada di pondok pesantren belajar dan memperdalam ilmu agamanya. Sedikit demi sedikit Marwah sudah mulai melupakan kejadian dulu bahkan luka hatinya sudah mulai kering.
“Marwah, Kyai Mansyur memanggil kamu supaya kamu menghadap beliau di ruangannya,” ucap Santi salah satu temannya di pesantren.
“Waduh, ada apa ya?” sahut Marwah.
“Aku tidak tahu.”
“Baiklah, terima kasih ya, aku menemui beliau dulu,” ucap Marwah.
Marwah pun bergegas untuk menemui Kyai Mansyur di ruangannya. Jantungnya berdetak tak karuan dan selama perjalanan menuju ruangan Kyai Mansyur, dia mengingat-ingat apa yang menjadi kesalahannya sampai-sampai beliau memanggil dirinya. Kyai Mansyur tidak akan memanggil santri dan santriwati ke ruangannya jika tidak ada masalah mendesak.
Sesampainya di depan ruangan Kyai Mansyur, Marwah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Lalu dengan ragu-ragu, dia mengetuk pintu ruangan itu.
“Masuk!”
Marwah membuka pintunya dan terlihat Kyai Mansyur dan istrinya duduk di sana menunggu kedatangan Marwah. “Assalamualaikum Kyai, Umi!” seru Marwah.
“Waalaikumsalam, silakan masuk dan silakan duduk, Marwah,” sahut Kyai Mansyur.
“Maaf, ada apa Kyai memanggil saya? Apa saya sudah melakukan kesalahan?” tanya Marwah dengan perasaan takut.
Kyai Mansyur tersenyum. “Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun, saya memanggil kamu ke sini karena ada sesuatu yang mau saya sampaikan kepadamu,” sahut Kyai Mansyur.
“Ada apa, Kyai?” tanya Marwah penasaran.
“Begini, ada yang mau ta'aruf denganmu apakah kamu mau?” seru Kyai Mansyur.
Marwah kaget setengah mati. “Nak, dia orang yang Insya Allah sholeh. Bisa mendidik kamu dan bisa menerima kamu apa adanya. Dia tahu sama kamu karena dulu sempat datang ke sini dan melihat kamu dari kejauhan, dari sana dia ingin berkenalan sama kamu dan melakukan ta'aruf,” sahut Umi Habibah.
“Namanya Khaidir, kamu boleh memikirkannya terlebih dahulu. Saya harap kamu bisa memikirkannya dengan baik-baik jangan sampai kamu terpaksa melakukannya,” sambung Kyai Mansyur.
Marwah terdiam, setelah mendengarkan penuturan Kyai Mansyur dan istrinya, Marwah pun pamit. Marwah kembali ke kamarnya dan melamun dengan kata-kata yang diucapkan oleh guru besarnya itu. Perasaannya sekarang campur aduk, dia tidak tahu harus bagaimana.
“Ya, Allah bagaimana ini?” batin Marwah.
Marwah menghubungi kedua orang tuanya untuk datang ke pondok. Dia ingin memberitahukan semuanya kepada mereka. Tidak membutuhkan waktu lama, kedua orang tua Marwah pun datang dan Marwah mengajak ke duanya mengobrol di teras mesjid yang ada di kawasan pondok.
Marwah menceritakan semuanya dan itu membuat Dadang dan Ani kaget. “Kalau Bapak tidak bisa menjawab apa pun, semua keputusan ada di tangan kamu Nak. Bapak akan mengikuti semua yang menjadi keputusan kamu karena yang akan menjalani semuanya itu kamu bukan Bapak,” ucap Pak Dadang lembut.
“Ibu juga sama, semuanya terserah kamu saja,” timpal Bu Ani.
Lagi-lagi Marwah terdiam, dia tidak tahu harus apa bahkan dia juga tidak tahu bagaimana wajah yang bernama Khaidir itu. Selama 1 tahun ini, Marwah sama sekali tidak pernah pulang ke rumah. Dia sengaja menjaga jarak supaya tidak bertemu dengan Nazwa dan juga Iwan.
Hati Marwah masih belum siap untuk bertemu dengan mereka. Setelah kedua orang tuanya pulang, Marwah kembali ke kamarnya. Dia terus memikirkan mengenai ta'aruf itu, bahkan dia sampai shalat istikharah berharap Allah memberikan jawaban yang terbaik untuk dirinya.
***
1 minggu pun berlalu, dan Marwah sudah memikirkannya secara matang-matang. “Kyai, setelah saya memikirkannya baik-baik, saya putuskan untuk menerima ta'aruf dari Mas Khaidir,” ucap Marwah mantap.
“Alhamdulillah, kalau begitu saya akan segera memberitahukan kabar bahagia ini kepada Khaidir,” sahut Kyai Mansyur.
Setelah mengatakan itu, Marwah duduk sendirian di taman sembari membaca Al-Quran. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan terdapat pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Marwah dengan cepat membukanya dan ternyata itu pesan dari Khaidir.
“Ya, Allah kenapa tangan aku tiba-tiba dingin seperti ini?” gumam Marwah.
Khaidir mengirim pesan dan mengucapkan terima kasih karena Marwah sudah mau menerima ta'aruf bersama dirinya. Khaidir berjanji akan datang ke rumah Marwah minggu ini dan itu membuat Marwah kaget. Marwah bingung karena saat ini dia masih belum mau pulang ke rumahnya.
“Ya, Allah aku masih belum siap bertemu dengan Safa dan Kang Iwan tapi bagaimana dengan Mas Khaidir?” gumam Marwah bingung.
Dengan pemikiran yang sangat berat, akhirnya Marwah pun memutuskan untuk pulang. Dia memilih pulang malam supaya tidak bertemu dengan keduanya. Sekarang Safa dan Iwan sudah mempunyai anak perempuan yang baru berusia 3 bulan.
Marwah tidak pernah berhenti melaksanakan shalat istikharah, dia ingin meyakinkan hatinya untuk bisa menerima hati yang baru lagi. “Bismillah, semoga Mas Khaidir menjadi jodoh aku dunia akhirat,” gumam Marwah di akhir shalatnya.
***
Hari ini adalah hari di mana Marwah akan bertemu dengan Khaidir untuk yang pertama kalinya. Perasaan Marwah campur aduk, antara bahagia dan takut. Tidak lama kemudian, terdengar seru mobil yang berhenti di depan rumah kedua orang tua Marwah.
Marwah melihat seorang pria matang keluar dari dalam mobil itu. Tapi yang membuat Marwah bingung, Khaidir datang hanya ditemani oleh orang yang katanya Pamannya. Marwah pun sempat merasa aneh kenapa Khaidir tidak datang dengan kedua orang tuanya.
Khaidir pun mengungkapkan niat dia datang ke rumah untuk meminang Marwah. “Kalau Bapak terserah Marwah saja, karena yang akan menjalani kehidupan ini ‘kan Marwah,” ucap Pak Dadang.
“Bagaimana Marwah, apa kamu mau menerima pinangan saya?” tanya Khaidir meminta jawaban Marwah.
Marwah terdiam sejenak sembari menunduk. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, seorang wanita berhijab datang dengan emosi yang sudah tidak terbendung lagi.
“Dasar wanita kurang ajar, jadi kamu yang mau merebut suami saya!” wanita itu langsung menghampiri Marwah dan menarik jilbab Marwah dengan paksa.
“Astagfirullah, ada apa ini? Anda siapa?” tanya Pak Dadang melindungi putrinya.
Khaidir membalikan tubuh wanita itu. “Untuk apa kamu ke sini?” bentak Khaidir.
“Mas, kamu itu masih suami aku kenapa sekarang kamu malah mau nikah sama wanita itu, maksud kamu apa?” bentak Wanita yang mengaku istri Khaidir.
“Kamu sudah lama mengacuhkanku, bahkan kamu tidak mau melakukan kewajiban kamu sebagai istri, makanya aku mau mencari wanita yang jauh lebih menghargai aku dibandingkan kamu,” sahut Khaidir.
“Tapi kita masih sah sebagai suami istri, kamu tidak pantas melamar wanita lain tanpa sepengetahuanku,” seru si Wanita.
Marwah terdiam, air matanya tidak bisa dibendung lagi. Begitu pun dengan Dadang yang sangat emosi karena merasa dibohongi oleh Khaidir. Dadang mencengkram baju Khaidir dan memukul Khaidir hingga Khaidir tersungkur.
“Kamu mau membohongi anak saya? Sekarang juga pergi dari rumah saya dan ta'aruf dibatalkan!” bentak Pak Dadang penuh emosi.
“Pak, dengarkan saya dulu.” Khaidir hendak menjelaskan tapi Iwan segera menyeret Khaidir untuk keluar dari rumah mertuanya itu.
Marwah berlari masuk ke dalam kamarnya. Lagi-lagi dia batal menikah dan luka yang dulu sudah kering sekarang basah kembali. Iwan mengusir Khaidir, hingga akhirnya Khaidir pun pergi dari rumah Dadang.