Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembakaran Ladang
Pagi itu, Subeni mengambil ponselnya dan menghubungi Reksa. Nada suaranya penuh dengan amarah saat menyampaikan kekesalan atas perbuatan Hendro terhadap Naura dan cucu mereka. Reksa merasa malu dan bertanggung jawab atas tindakan putranya, meskipun ia sendiri tidak pernah mengajarkan hal buruk pada Hendro.
"Reksa, saya Subeni. Saya kecewa sebesar-besarnya atas apa yang sudah Hendro lakukan pada Naura," ucap Subeni dengan suara rendah.
Di ujung telepon sana, Reksa terdengar menghela napas berat. "Saya juga prihatin dengan semua ini, Subeni. Kami juga tidak menyangka Hendro bisa bertindak sejauh ini."
Saat Reksa dan Subeni sedang berbicara, tanpa sengaja Hendro mendengar percakapan ayahnya. Ia yang sedang berada di rumah orang tuanya untuk mengambil beberapa barang, terkejut mendengar ayahnya meminta maaf kepada mertuanya. Rasa marah langsung membakar hatinya. Ia merasa ayahnya tidak seharusnya meminta maaf atas tindakannya. Baginya, Naura dan keluarganya yang bersalah karena telah "mengadukannya" pada orang tuanya.
Setelah Reksa mengakhiri panggilan teleponnya, Hendro menghampirinya dengan wajah merah padam. "Kenapa Ayah minta maaf pada mereka? Seharusnya mereka yang minta maaf padaku!" bentak Hendro dengan nada tinggi.
Reksa menatap putranya dengan kecewa. "Kamu tidak mengerti, Hendro. Kamu sudah menyakiti Naura dan cucu kita. Permintaan maaf Ayah adalah bentuk rasa malu kami atas perbuatanmu."
"Tapi aku mencintai Debby! Kenapa kalian tidak bisa mengerti?" balas Hendro, tetap bersikeras dengan egonya.
Amarah Hendro semakin memuncak. Ia merasa keluarganya tidak ada yang mendukung keputusannya. Dalam benaknya yang kalut, muncul ide nekat untuk memberikan "peringatan" kepada keluarga Naura. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak main-main dengan keputusannya.
Tanpa sepengetahuan siapapun, Hendro menghubungi beberapa orang suruhannya. Ia memerintahkan mereka untuk membakar sebagian ladang perkebunan milik Subeni yang berada di luar kota. Baginya, ini adalah cara untuk melampiaskan kemarahannya dan sekaligus mengirimkan pesan ancaman kepada mertuanya.
Beberapa hari kemudian, Subeni dan Haryati dikejutkan dengan kabar kebakaran lahan perkebunan mereka. Mereka sangat terpukul dan bingung, tidak mengerti siapa yang tega melakukan perbuatan keji itu. Naura yang mendengar kabar tersebut juga merasa khawatir dan bertanya-tanya.
Sementara itu, Hendro merasa puas dengan "peringatan" yang telah ia berikan. Ia berharap dengan kejadian ini, keluarga Naura akan mengerti bahwa ia tidak akan mundur dari keputusannya untuk bersama Debby. Ia tidak menyadari bahwa tindakannya ini justru semakin menjauhkannya dari keluarganya dan semakin menyakiti Naura. Api yang membakar lahan mertuanya juga membakar jembatan hubungan yang tersisa di antara mereka.
****
Pagi itu, saat Debby hendak keluar dari apartemennya, ia kembali dikejutkan dengan kehadiran Hendro yang sudah menunggunya di depan pintu. Wajah Hendro tampak memelas, matanya sembab seperti kurang tidur.
"Debby, kumohon, kita bicara," ujar Hendro dengan suara serak, mencoba meraih tangan Debby.
Debby menarik tangannya menjauh. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Hendro. Aku sudah memblokir semua kontaknya, kenapa kamu masih ke sini?" Nada suara Debby datar, menunjukkan bahwa ia sudah benar-benar muak dengan pria itu.
"Aku tahu aku salah, Debby. Tapi aku mencintaimu. Beri aku kesempatan kedua, kumohon," Hendro berlutut di hadapan Debby, memohon dengan air mata yang mulai menetes. Beberapa tetangga yang kebetulan lewat tampak memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu.
Debby merasa risih dengan pemandangan ini. "Berdiri, Hendro. Ini tidak pantas. Aku sudah bilang, semuanya sudah berakhir. Aku tidak bisa lagi mempercayaimu."
"Jangan seperti ini, Debby. Aku akan menceraikan Naura. Sungguh. Kita bisa bersama," Hendro terus mengiba, menggenggam erat tangan Debby yang berusaha melepaskan diri.
"Aku tidak peduli kamu akan menceraikan istrimu atau tidak. Yang aku tahu, aku tidak ingin lagi ada hubungannya denganmu. Kamu pembohong," kata Debby tegas, mencoba melepaskan cengkeraman Hendro.
Namun, Hendro semakin erat menahan Debby. "Tidak, Debby. Kamu tidak bisa meninggalkanku. Aku membutuhkanmu."
"Lepaskan aku, Hendro!" Debby mulai merasa panik. Ia berusaha memberontak, namun tenaga Hendro lebih kuat.
****
Tiba-tiba, pintu unit sebelah terbuka. Agus muncul, lagi-lagi menyaksikan keributan di depan pintu Debby. Raut wajahnya langsung berubah khawatir melihat Debby yang tampak tertekan dan Hendro yang mencengkeram tangannya.
Tanpa ragu, Agus melangkah mendekat. "Ada apa ini?" tanyanya dengan nada tegas, menatap Hendro.
Hendro menoleh dengan tatapan marah. "Bukan urusanmu, anak muda!"
"Mbak Debby terlihat tidak nyaman. Sebaiknya Anda melepaskannya," balas Agus, berdiri di samping Debby.
Debby memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik tangannya dari genggaman Hendro dan sedikit bersembunyi di belakang Agus, merasa lebih aman.
"Jangan ikut campur!" bentak Hendro lagi, namun Agus tidak bergeming.
"Saya hanya tidak ingin ada keributan di sini. Dan Mbak Debby jelas tidak ingin berbicara dengan Anda saat ini," jawab Agus dengan tenang namun penuh ketegasan.
Debby menatap Hendro dengan tatapan memohon agar pria itu pergi. "Hendro, kumohon. Pergi. Aku tidak ingin melihatmu lagi."
Hendro menatap Debby dan Agus bergantian, amarah dan kekecewaan bercampur di wajahnya. Setelah menghela napas kasar, ia akhirnya mengalah.
"Baiklah," ucap Hendro dengan nada penuh kekecewaan. "Tapi kamu akan menyesal, Debby." Setelah mengatakan itu, ia bangkit dan pergi dengan langkah gontai.
Setelah Hendro menghilang dari pandangan, Agus menoleh ke arah Debby dengan tatapan lembut. "Anda baik-baik saja, Mbak?" tanyanya dengan nada khawatir.
Debby mengangguk lemah. "Terima kasih lagi, Agus. Kamu selalu datang di saat yang tepat." Ia merasa lega dan bersyukur atas bantuan Agus. Kehadiran pemuda itu sekali lagi menyelamatkannya dari situasi yang tidak menyenangkan.
****
Malam itu, di sebuah kafe yang tenang tidak jauh dari apartemen mereka, Debby akhirnya membuka diri kepada Agus. Ia menceritakan semuanya, mulai dari pertemuannya dengan Hendro, kebohongan yang terungkap, rasa malu dan sakit hati yang ia rasakan, hingga gangguan Hendro yang terus menerornya. Air mata sesekali menetes saat ia mengenang masa lalunya yang kelam.
Agus duduk di hadapannya, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Debby dengan penuh perhatian. Tatapannya lembut, menunjukkan empati yang tulus. Ia tidak menyela, tidak bertanya, hanya sesekali mengangguk sebagai tanda bahwa ia mengerti. Kehadiran Agus yang tenang dan penuh pengertian memberikan rasa nyaman bagi Debby untuk mencurahkan isi hatinya.
Setelah hampir satu jam bercerita, Debby merasa sedikit lega. Beban yang selama ini ia pendam seolah berkurang. Ia menatap Agus, menyadari betapa berbedanya pemuda ini dengan Hendro. Agus hadir tanpa kebohongan, tanpa paksaan, hanya dengan ketulusan dan perhatian.
Sejak saat itu, Debby merasa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Agus. Kehadiran pemuda itu menjadi warna baru dalam hari-harinya yang sebelumnya kelabu. Ia menikmati setiap percakapan dengan Agus, kebaikan hatinya, dan senyumnya yang selalu membuatnya merasa lebih baik. Perlahan, bayangan Hendro mulai memudar, tergantikan oleh sosok Agus yang semakin mengisi ruang hatinya. Debby tidak ingin lagi mengingat Hendro, pria itu hanya membawa luka dan kepalsuan.
Suatu sore, saat mereka sedang menikmati kopi bersama di balkon apartemen Agus, Debby memberanikan diri untuk sedikit membuka hatinya.
"Agus, terima kasih ya, kamu selalu ada untukku," ucap Debby pelan, menatap pemandangan kota di bawah mereka.
Agus menoleh, tersenyum lembut. "Tentu saja, Mbak Debby. Saya senang bisa membantu."
Debby menelan ludah, mencoba memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh. "Kamu... apa kamu tidak merasa aneh berteman dengan wanita yang lebih tua darimu?"
Agus tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Usia hanyalah angka, Mbak Debby. Yang penting adalah bagaimana kita saling menghargai dan nyaman satu sama lain. Saya nyaman berteman dengan Anda."
Jawaban Agus membuat hati Debby berdebar. Kata-kata itu memberikan sedikit harapan, namun juga menyisakan ketidakpastian. Ia tidak tahu apakah kenyamanan yang dirasakan Agus sebagai teman akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Debby hanya bisa berharap perasaannya pada Agus berbalas, meskipun ia sadar bahwa ia harus bersabar dan tidak terburu-buru. Ia ingin menikmati setiap momen kebersamaan mereka tanpa membebani Agus dengan perasaannya yang masih rapuh.