Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bodyguard
Sejak Merzi memasuki usia sekolah dasar, gadis itu sudah dikawal oleh penjaga yang biasa disebut bodyguard yang selalu mengekorinya. Tapi dia tidak pernah suka akan manusia-manusia patung di sekelilingnya. Wajahnya sering memberengut kala mendapati sosok bodyguard yang berdiri tak jauh darinya.
Tapi apa daya. Seberapapun dia sering protes pada tuan Oldrich Jay— ayahanda— akan bodyguard-bodyguard itu, sang ayah akan pasti mengatakan,
"Putri raja itu dijaga. Dan para bodyguard tugasnya adalah menjaga Merzi karena Merzi adalah putri ayah. Tugas mereka hanya mengawasi, tidak mengganggu Merzi, bukan?"
Dan Merzi akan menjawab, "karena mereka mengawasi Merzi lah makanya Merzi terganggu, Ayah. Tidakkah ayah percaya Merzi bisa menjaga diri sendiri?"
Lalu sang ayah akan tertawa mendengar kalimatnya. "Tentu saja tidak. Kamu cukup manja jika kamu lupa, Nak."
Itu benar. Dan Merzi benci sikapnya yang tidak pernah hilang itu.
Sudah ada empat bodyguard yang menjaga di sekitarnya. Setiap jenjang pendidikannya, dia akan dikawal dua orang bodyguard. SD dua orang, SMP dua orang, dan jenjang terakhir SMA Ebha seorang lah yang menjadi pengawalnya.
Masa-masa puncak pubertas itu Merzi selalu ditemani Ebha. Bahkan orang pertama yang tahu dia datang bulan adalah Ebha. Ebha jugalah yang menjadi lelaki pertama yang dia pegang tangannya. Hingga perlahan, Merzi menerima Ebha disisinya.
Lelaki itu adalah keponakan dari bodyguard sebelumnya. Awalnya Merzi akan kembali mempunyai dua bodyguard, tapi ketika melihat Ebha pertama kali dia langsung berlari menuju ruang kerja sang ayah, meminta bahwa cukup Ebha lah yang menjadi pengawalnya.
Tuan Oldrich Jay mengiyakan. Tidak masalah hanya seorang bodyguard, yang penting anaknya tetap terjaga. Apalagi Merzi meminta dengan sorot memohon yang biasa dia gunakan.
"Edam Bhalendra."
Panggilan itu menyadarkan Ebha dari masa lalu. Kakinya refleks mundur ketika sang nona berjinjit demi menatap matanya lebih dekat. Aksi Ebha itu membuat kaki kecil Merzi sedikit oleng. Tangan besarnya segera menahan pinggang Merzi.
"Ma–maaf, Nona…?" Entah maaf mana yang ingin Ebha katakan. Maaf karena membuat Merzi hampir jatuh kembali atau maaf karena tidak mendengar kalimat Merzi sebelumnya.
Merzi membiarkan tangan Ebha memegang pinggangnya. Gadis itu kembali mendekat. Kakinya menginjak kaki Ebha yang dibalut sepatu pantofel yang keras dan mengkilat.
"Apakah sakit jika Merzi berdiri disini?" Tanyanya mengintip sedikit ke bawah. Dimana dia berdiri diatas kaki Ebha.
Ebha menggelang. Dia ingin melepaskan tangannya dari pinggang Merzi tapi takut sang nona malah akan kembali terjatuh. "Tidak nona. Tidak sakit sama sekali."
Mendengar itu mata Merzi sedikit memicing. Tangan seputih susu itu kembali terulur perlahan. Netra Merzi terpaku pada tangannya sendiri hingga menyentuh dada tegap Ebha dibalut sweater hitam.
Ini yang membuat Merzi menyetujui Ebha menjadi bodyguardnya. Yaitu lelaki ini selalu berpakaian santai dengan gaya semiformal tidak seperti bodyguard-bodyguard sebelumnya yang selalu berpakaian formal dengan kemeja dan jas.
"Kalimat Ebha menyiratkan bahwa Merzi kurus. Apakah Ebha sedang mengejek Merzi?" Kini Merzi bisa melihat wajah Ebha lebih dekat. Tubuh mereka bahkan menempel dengan posisi yang begitu intim.
"Saya tidak mungkin berani melakukannya, Nona. Maaf—"
"—sutt…" jemari lentik Merzi menyentuh bibir bawah Ebha. "…Ebha sudah lebih mengatakan sepuluh kali kata maaf pagi ini. Merzi lelah mendengarnya. Apakah Ebha tidak bosan mengatakan itu-itu saja?"
"Tidak, Nona." Mana mungkin dia bosan mengatakan kata 'maaf' itu. Jadi dia menggeleng.
Mendengar jawaban singkat Ebha membuat Merzi terkekeh kecil. Dia kembali berjinjit untuk meraih leher Ebha. "Terserah Ebha saja."
Ebha menahan napas. Dia bersumpah nona kecilnya ini begitu menguji iman. Lihatlah bagaimana napas lembut yang keluar dari hidung mancung kecil Merzi menerpa wajahnya.
"Nona Merzi, apakah ada hal lain yang nona inginkan? Maksud saya, saya akan membantu nona." Ebha meneguk ludah. Jakunnya naik-turun dan itu tak luput dari perhatian Merzi. Gadis itu penasaran dan menyentuh ujung jakun Ebha dengan telunjuknya. Tingkah Merzi ingin membuat Ebha semakin panas dingin dan merinding.
"Yeah …. Hadiah ulang tahun Merzi."
Itu lagi. "Saya akan mengambil dan memberikannya pada nona."
Kepala Merzi menggeleng. Kedua tangannya kembali memeluk tengkuk Ebha. "Tidak. Simpan saja hadiah itu untuk acara nanti malam. Kumpulkan bersama hadiah yang lain."
"Baik, Nona."
"Sekarang Merzi ingin hadiah yang lain."
CUP!
Singkat. Ebha tak sempat menghindar. Mungkin karena terlalu terpaku pada wajah cantik majikan kecilnya ini. Pipinya dikecup sekali. Sedetik. Hanya sekilas. Tapi itu adalah pertama kali.
Hening beberapa saat setelah Merzi mendaratkan bibirnya diatas pipi sebelah kiri Ebha. Tanpa beban gadis itu berujar,
"Merzi suka mencium Ebha." Kepala Merzi kembali mendekat, tapi kali ini Ebha lebih sigap.
"Nona!" Ebha mendorong pelan bahu Merzi membuat gadis itu turun dari atas kakinya yang dipijak. "Itu tidak pantas, Nona. Maafkan saya." Setelah itu Ebha mundur beberapa langkah, membungkuk lalu keluar dari kamar Merzi tanpa permisi.
Merzi terpaku sejenak tapi kemudian senyumnya semakin lebar. Tidak peduli bagaimana tanggapan Ebha setelahnya. Yang terpenting adalah ….
"Merzi ingin mencium Ebha lagi."
...****************...
Derap langkahnya pasti. Sepatu mengkilat yang dipakainya menghentak lantai mengkilat dirumah besar itu. Ebha berjalan cepat dengan badan yang tetap tegap.
Dia berpapasan dengan kepala pelayan di kediaman tuan Oldrich Jay. Seorang pria paruh baya tetapi tegap tegas. Ditangannya selalu terpasang sarung tangan kain. Jangan lupakan kumis yang melengkung diatas bibirnya.
Ebha menghentikan langkahnya, menunduk singkat lalu menyapa, "selamat pagi, Pak Barid."
Pak Barid mengangguk, "pagi, Ebha. Kenapa langkahmu tergesa-gesa? Dan dari mana kau?"
"Saya ingin ke kamar mandi, Pak. Nona Merzi memanggil saya tadi."
"Oh, begitu."
Ebha mengangguk mengiyakan. Dia ingin berbalik dan kembali melangkah tapi Pak Barid kembali bersuara.
"Apakah nona Merzi mengisengi kau, Ebha? Ini ulang tahun nona, dia pasti bertingkah jahil." Ujar Pak Barid sambil menggeleng kecil membayang tingkah nona muda di keluarga Oldrich itu.
Langkah Ebha terhenti. Kakinya bagai di lem diatas lantai. Merzi memang sudah mengerjai, tapi Ebha lebih membalas, "tidak, Pak. Nona Merzi tidak menjahili saya. Nona hanya meminta bantuan kecil dari saya."
"Baiklah, Ebha. Segeralah ke kamar mandi. Sepertinya kau sudah begitu tidak tahan."
"Saya duluan, Pak."
Kaki jenjang Ebha kembali melangkah. Kamarnya terletak diluar rumah utama. Ada kamar-kamar khusus untuk para pekerja yang menetap dan kamarnya terletak paling ujung.
BRAK!
"Huft …." Ebha menyenderkan punggungnya dibelakang pintu. Napasnya terhela keras.
"Ck, nona Merzi terlalu berbahaya. Kenapa dia begitu blak-blakan?" Monolog Ebha tak habis pikir akan tingkah diluar prediksi si nona muda.
Lelaki itu kembali berdecak, kali ini lebih kuat. "Tingkahnya seperti menyukaiku saja."
"Ah, apa yang kau pikirkan, Ebha? Dasar gila."
Selesai bergumam sendiri Ebha berjalan menuju lemari. Dia berdiri disana, memandang pantulan dirinya dari balik cermin yang menempel di lemari tersebut.
Ebha memegang dagunya, diputar ke kiri dan ke kanan. Memperhatikan wajahnya yang berkulit kuning langsat medium. Rahang tegas, dagu terbelah, hidung mancung bagai perosotan, ditambah mata tajamnya dengan alis tegas berwarna hitam pekat.
"Apa yang kau lihat, Bodoh?! Cepatlah mandi, nona Merzi akan segera memanggil kau."
Tidak berlama-lama lagi, Ebha melepaskan sweater hitamnya dan melemparnya begitu saja diatas kasur sedang disisi ruangan. Dibawah bahu sebelah kirinya ada tato kecil bulan sabit dan bintang. Ada tato lain juga disamping lengannya. Gambar seekor kuda yang ukir menawan dan tegas.
Mengabaikan tato-tatonya Ebha juga membuka celana hitamnya dan kembali dilempar keatas kasur. Dengan langkah lebar dia memasuki kamar mandi.
Air dingin memantul diatas kulitnya. Ebha menikmati sejenak deras air yang menghantam punggungnya. Matanya terpejam, lalu kilas beberapa menit lalu tiba-tiba muncul.
"Sekarang Merzi ingin hadiah yang lain."
CUP!
"Merzi suka mencium Ebha."
Ebha sontak membuka mata. Dia menatap bayangan tubuh telanjangnya dari kaca kamar mandi shower yang berembun.
Apa-apaan maksud Merzi itu? Apakah gadis itu sedang menggodanya? Ebha adalah lelaki dewasa yang usianya berjarak cukup jauh dengan Merzi. Jika jalan beriringan mereka layak paman dan keponakan. Bahkan ayah dan anak.
"Ahh …." Ebha menyugar rambut lebatnya ke belakang seraya mendesah berat.
Tidak boleh. Tugasnya adalah menjaga nona Merzi. Jangan sampai dia bertingkah layaknya lelaki brengsek yang berfantasi liar tentang sang majikan. Jangan sampai!
Hingga beberapa menit kemudian, Ebha selesai akan aktivitas mandinya. Dia meraih handuk yang digantung dan melilitkannya dipinggang.
Ceklek!
Dengan langkah santai dan ringan Ebha keluar dari kamar mandi. Dia mengambil dua handuk, satu untuk menutup area pribadinya dan satu untuk mengeringkan rambut.
Sambil bersiul asik dia merunduk dengan satu tangan yang mengeringkan rambut sementara tangan lain memperbaiki letak handuk dipinggang.
Seperkian detik kemudian Ebha mengangkat kepalanya. Dan kejutan lain ada didepan matanya.
"Non—nona Merzi? Apa yang—?!"
Siapapun tolong sembunyikan Ebha sebentar saja. Semenit— tidak, sedetik saja dari kelakuan nona muda kediaman Oldrich ini.
"Oops! Jadi Ebha sedang mandi ya? Maaf, karena Merzi masuk tanpa ijin."
Satu lagi. Keajaiban apapun itu, tolong hilangkan senyum genit Merzi yang tidak sesuai dengan kalimat dan reaksinya.
Mendengar itu, Ebha menguasai diri lebih tegas. "Tidak apa, Nona, kalau begitu maaf jika saya meminta nona Merzi untuk menunggu di kamar saja. Saya harus …" Ebha berdehem, handuk kecil untuk rambutnya dia bentangkan didepan dada gunanya adalah agar lebih sopan saja, "…saya harus berpakaian dahulu."
Bukan Merzi namanya jika langsung menurut. Dia melangkah mundur kearah ranjang Ebha sambil berkata, "bagaimana … jika Merzi ingin menunggu Ebha disini? Menunggu Ebha diatas kasur, Merzi … bolehkan duduk disini?"
Mengigit bibir Merzi boleh tidak ya? Agar gadis itu berhenti bersuara.
"Saya akan berpakaian di dalam kamar mandi. Nona boleh duduk dengan nyaman diatas kasur tersebut." Lebih baik dia yang mengalah.
"Ebha yang terbaik."
Pujian itu terdengar hambar ditelinganya, tapi Ebha tetap membalas dengan senyum tertekan.
"Nona Merzi yang tak tertebak."