Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 3: Menuju Sentawar
Suara mesin terdengar menggema ketika mobil milik Alvie memasuki sebuah terowongan panjang untuk menembus sebuah lereng besar yang memisahkan Kota Andawana dengan Kecamatan Sentawar.
Suasana di terowongan ini masih sangat sepi karena kami berangkat pada pagi hari, dimana matahari baru saja hendak menyingsing. Biasanya, terowongan ini akan dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan berat yang membawa hasil pertanian dari Sentawar menuju wilayah-wilayah lain di Pulau Andawana. Bahkan, hasil pertanian dari Sentawar sampai dibawa ke pulau-pulau lain di sekitarnya, seperti Jawa, Bali, dan Lombok.
Ketika berhasil keluar dari sisi lain terowongan ini, kami langsung disambut oleh panorama perkebunan yang asri. Banyak sekali sayuran yang tumbuh subur di wilayah ini, mengingat letak geografisnya yang sangat mendukung.
Alvie, yang berada di kursi pengemudi, pun tidak tahan untuk menunjukkan kekagumannya. “Wow, Indah banget!” Ucapnya dengan mata yang berbinar.
Agak aneh sebenarnya melihat ekspresinya yang seperti itu. Soalnya, sebagai tukang ukur milik BPN yang paling tersohor, adikku ini pasti sering datang ke sini untuk mengukur tanah masyarakat. Tapi, alih-alih memasang wajah datar karena terbiasa dengan pemandangan ini, dia justru terlihat begitu terpukau.
Di sisi lain, aku yang duduk di sebelahnya, malahan tidak terlalu terpukau oleh panorama hijau di depan. Padahal, ini adalah pertama kalinya aku berkunjung lagi ke sini setelah sekitar enam bulan lamanya.
“Ahh… Ngeliat pemandangan kaya gini di pagi hari emang nyegerin banget, kan, kak?” Ucapnya sambil menurunkan kecepatan karena kami sedang berada di jalur menurun.
“Yah, lumayan, lah.” Jawabku singkat sambil menopang dagu di jendela mobil.
“Cih, nggak asik banget. Padahal, pemandangannya bagus banget, tahu.”
Suasana kembali hening sejenak karena tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir kami berdua. Jujur, begini lebih mending, sih, daripada ngedengerin Alvie terus ngoceh sendirian tentang pemandangan yang sebenarnya biasa aja.
“Tapi, kau tahu nggak, kak?” Yah, sayangnya kesunyianku yang berharga langsung hilang dalam waktu kurang dari lima detik. “Daripada waktu terakhir kali kita ketemu, kau sekarang terlihat jauh lebih normal, lho.”
“Hah? Berarti maksudmu kemarin-kemarin aku gila, gitu?” Ucapku dengan nada yang sedikit kesal. Lagipula, siapa juga yang nggak kesal kalau dibilang gila sama orang lain, padahal kau cuma ‘nyaris’ gila?
“Iya, lah. Terakhir kali kita ketemu, kakak malah gelantungan di pohon mangga kayak tarzan.” Sumpah, anjing banget jawabannya. Emang dasar adik sialan.
“Cih, itu cuma nyoba hal baru biar aku nggak sedih aja, tahu! Kau ingat, kan, betapa kesepiannya aku semenjak Felicia meninggal?”
“Iya, deh. Maaf, ya.” Jawabnya sambil memacu kendaraannya lagi.
“Tapi, walaupun udah nggak teralalu menghibur lagi, aku bersyukur kau perlahan udah mulai pulih.” Hah? Apa maksud omongannya itu? Ini bercandaan, kah, atau dia serius ngucapinnya?
...***...
Setelah sampai di lokasi, aku dan Alvie meregangkan pinggang sebentar setelah perjalanan yang cukup panjang. Seperti yang tertera di sertifikatnya, lahan perkebunan cengkeh warisan ayahnya Raditya Hermawan ini memang memiliki luas yang lumayan jika diukur seorang diri. Walaupun keterampilan adikku sudah diakui oleh jajaran pemerintah, tapi tetap saja aku ragu bahwa dia dapat menyelesaikan tugas pengukurannya dengan cepat.
Bayangin aja, satu orang pegawai dari BPN mengukur sebuah lahan yang didalamnya mampu menampung ratusan pohon cengkeh. Secara logika, tentu saja itu akan memakan waktu yang sangat lama.
“Kau udah ngehubungin pemiliknya?” Tanya Alvie sambil menurunkan alat-alat ukurnya.
“Ya, udah aku chat di WhatsApp.” Jawabku singkat.
“Terus, apa katanya?” Tanyanya lagi.
“Dia lagi ada di luar daerah sekarang karena ada urusan. Jadi, dia minta kita buat langsung ngukur tanahnya aja walaupun dia nggak ada di sini.”
“Oke, deh, kalau gitu.” Ucap Alvie sambil mengangkut semua alat ukurnya, seolah sudah siap untuk melakukan pekerjaannya. “Aku juga lebih senang kalau bisa kerja tanpa diawasi sama sekali. Bukan karena punya niat jahat, tapi karena aku nggak suka kalau dapat banyak request dari client.”
“Kalau gitu, buruan kerja sebelum pemiliknya dateng.” Ucapku sambil mengeluarkan termos dan juga kopi bubuk dari bagasi.
“Bah, tenang aja. Kerjaanku pasti bakal selesai sebelum jam 9.” Katanya ringan, sambil berlari menuju lahan cengkeh itu dengan semangat.
Selagi Alvie melakukan pekerjaannya, aku lebih memilih untuk bersantai di dekat mobil yang terparkir di bawah pohon rindang. Setelah selesai menyeduh kopi, aku pun duduk di atas rumput yang berembun sambil menyulut sebatang rokok.
Sebenarnya, aku juga ingin membeli beberapa jajanan manis untuk menikmati waktu santai di pagi hari ini. Tapi, jarak dari kebun cengkeh dengan pasar terdekat itu cukup jauh. Jadi, aku memutuskan tetap diam di sini untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu saat proses pengukuran masih dilakukan.
Suasananya benar-benar sunyi, hingga membuat suara desiran angin serta kicauan kawanan burung dapat terdengar dengan jelas. Hah… Sepertinya, suasana tenang seperti ini lah yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi mentalku yang masih rapuh.
“Nael…” Saat aku memejamkan mata untuk menikmati ketenangan ini, sebuah bisikan lirih yang terdengar seperti suara Felicia tiba-tiba tertangkap oleh telingaku.
Aku pun langsung tersentak, lalu memperhatikan sekitar untuk melihat siapa yang memanggilku. Namun, tak ada satu pun sosok yang terlihat oleh pandanganku.
“Apa-apaan…” Gumamku lirih karena bingung.
“Nael…” Suara bisikan itu terdengar lagi, hingga membuatku berdiri dan celingak-celinguk sendirian. Siapa yang manggil-manggil dari tadi? Apa aku cuma berhalusinasi aja?
“Nael, lihat ke kanan…” Aku pun langsung menoleh ke kanan untuk melihat siapa pemilik suara bisikan yang mirip dengan Felicia itu. Di sana, sekitar 10 meter dariku, terdapat seorang ibu-ibu paruh baya yang terlihat baru saja pulang dari pasar. Aku bisa mengetahuinya dari tas keranjang yang ditenteng di depannya.
Meskipun dia sepertinya adalah seorang ibu rumah tangga, tapi dress rumahan yang dipakainya terlihat memiliki desain yang sangat elegan, kayak berasal dari brand-brand ternama.
“Halo, ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya ramah sambil memiringkan kepala, berhasil memecah lamunanku.
“Ah, nggak. Saya di sini cuma buat ngukur tanah warisan Tuan Hermawan yang di seberang sana.” Jawabku sedikit tersentak, sambil menunjuk perkebunan cengkeh di depan itu.
Mata wanita itu terlihat sedikit membelalak, tepat setelah aku selesai mengucapkan kalimat itu. Wajahnya perlahan menunjukkan senyuman ramah, dimana aku bisa merasakan sedikit antusiasme di sana.
“Ah, jadi anda orang yang dihubungi oleh Raditya, ya?” Ucap wanita itu, sambil berjalan mendekat ke arahku. “Kalau gitu, daripada ngopi di tempat kotor kayak gini, gimana kalau mampir ke rumah kami sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan anda?”
Rumah kami? Tunggu dulu, itu artinya, ibu ini…
“Jangan-jangan, anda ibunda dari Raditya, ya?” Tanyaku untuk mengkonfirmasi identitasnya.
Dia pun tersenyum yang menandakan bahwa benar dia ini adalah ibu dari Raditya Hermawan.
“Benar, saya Nyonya Hermawan.”
...***...
Suasana di kediaman keluarga Hermawan begitu asri. Walaupun sangat sederhana dan hanya berdiri dengan satu lantai, tapi nilai seninya sangat patut untuk diapresiasi. Rumah ini memiliki gaya yang mirip seperti rumah tradisional jepang, tapi juga dibalut dengan elemen-elemen khas nusantara.
Bagian halamannya dihiasi dengan berbagai tumbuhan hias, seperti bonsai, pohon bunga kamboja, dan juga rumput gajah mini. Jika aku bisa tinggal di rumah seperti ini bersama mendiang istriku, maka aku berani bersumpah untuk tidak meminta apa-apa lagi pada semesta.
Saat aku sedang asik memperhatikan sekeliling dari teras rumah, Nyonya Hermawan tiba-tiba datang dengan membawa secangkir kopi dan juga jajanan manis. “Silahkan dinikmati, ya!” Ucapnya ramah dan penuh kehangatan.
“Ah, makasih banyak. Maaf kalau sudah ngerepotin.” Balasku sambil sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat.
“Santai saja. Sudah lama sekali rumah ini tidak menerima tamu.” Ucapnya dengan tawa kecil, sambil meletakkan nampannya di hadapanku.
Saat kami berdua sedang asik menyantap hidangannya, beliau pun terlihat hendak mengucapkan sesuatu lagi.
“Pak Notaris,”
“Ah, panggil aku ‘Nael’ saja.” Aku menyela dengan cepat, namun tetap menjaga keramahan nadanya.
“Ah, baiklah. Pak Nael, gimana pembagian warisannya? Apa memungkinkan kalau kedua anakku mendapatkan bagian yang sama?” Mendengar pertanyaannya ini, aku menjadi sedikit kebingungan hingga reflek mengangkat salah satu alisku. Bagaimana mungkin membagi warisan yang rata untuk kedua anaknya, jika salah satu dari mereka sudah meninggal? Kecuali…
“Mohon maaf, tapi aku dengar dari Raditya kalau saudaranya sudah lama meninggal. Jadi… aku rasa itu tidak mungkin.” Jawabku terdengar sedikit ragu dan juga curiga.
Nyonya Hermawan tiba-tiba terlihat terkejut, namun perlahan ia menyunggingkan senyumannya lagi. Tapi, aku rasa, senyuman itu mengandung banyak rasa kekecewaan di baliknya.
“Begitu, ya.” Ucapnya lirih. Beliau kemudian berdiri, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
“Mohon ikuti saya sebentar.”
Ilustrasi Tokoh:
...Alvie Nathaniel...