Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebersamaan
..."Kenangan itu indah jika selalu diingat. Bagaimana kalau kenangan itu hanya terjadi sesuatu hal yang buruk? Apakah selalu indah kala diingat?"...
...•...
...•...
Aroma ayam yang baru matang setelah digoreng membuat perut Arden keroncong menginginkan asupan makanan. Ia mengusap-usap perutnya dengan menatap Zea yang mondar-mandir bersama Kezia.
Setelah mengubungi Sheila, Arden menjadi bersemangat saat Sheila mengabari akan ke sini dengan teman-temannya yang lainnya, alias abang-abangnya. Tapi senyumannya pudar saat merasakan perutnya lapar dan harus menunggu selesai masak dan yang lainnya datang.
Zea mengusap keringat di pelipisnya dan menaruh ayam yang sudah matang di sebuah wadah besar karena jumlahnya juga banyak. Kezia sibuk menghaluskan sambal dengan mengulek nya dan sedikit terharu saat itu juga. Bahkan, Zea tertawa kecil melihat wajah Kezia yang sedang menahan air matanya.
Tidak hanya Zea, Arden juga menahan tawanya kala melihat Kezia berusaha mengulek sambal dengan sedikit berhenti-henti karena mengusap air matanya. Setelah sambalnya jadi, Kezia terbirit-birit menuju kamar mandi dengan berusaha membuka matanya karena terus menyipitkan karena perih. Arden pun tidak dapat menahan tawanya dan langsung pecah begitu saja.
Zea menekan-nekan ayam di atas sambal dan melumurinya. Setelah selesai, ia meletakkannya di wadah berbeda dan siap disajikan. Arden tersenyum senang melihat ayam miliknya di sana yang seakan-akan melambai-lambai ingin ia makan.
"Udah mendingan?" tanya Zea melihat Kezia kembali.
Kezia hanya bisa mengangguk dengan mengusap-usap matanya. "Ini udah selesai?"
"Iya, udah. Kamu ganti baju aja dulu biar nggak bau ayam," suruh Zea.
Kezia kembali menganggukkan kepalanya dan berbalik menuju tangga sebelum berbalik lagi menuju dapur, ia lupa melepaskan celemek nya. Zea terkekeh dan ikut melepaskan celemek.
...••••...
"Ayo buruan!" pinta Sheila.
Sean hanya bisa menghela nafasnya melirik Sheila di bangku penumpang di sebelahnya. Di bangku tengah juga ada Arsa dan Garrel juga yang sedang memakan cemilan kripiknya karena belum sarapan dan langsung ikut dengan abangnya yang keluar dengan Sheila menuju rumah Kezia.
Tidak hanya mereka saja yang akan ke rumah Kezia, tapi Naufal dan Arzan yang baru masuk ke teras rumah Kezia dengan memarkirkan sepedanya di bawah pohon. Awalnya mereka berdua akan masuk ke dalam rumah Kezia duluan, tapi setelah melihat mobil Sean yang baru memasuki teras. Mereka memilih untuk menunggu dan akan masuk dengan bersama-sama.
Sean menutup pintu mobilnya dan berjalan ke arah teman-temannya yang sedang menunggu untuk memasuki rumah Kezia. Baru beberapa langkah memasuki rumah besar tersebut, aroma ayam yang sangat menggoda telah masuk dalam indera penciuman yang dapat membuat perut mereka ikut bergemuruh.
Tiba-tiba Arden datang entah dari mana dan berlari ke arah Sheila dengan merentangkan kedua tangannya. Sheila pun menekuk lututnya dan membalas pelukan Arden dengan erat. Ia mengelus rambut Arden dan tersenyum karena sangat merindukannya. Tidak lama, Zea menuruni tangga dan mempercepat langkahnya saat melihat teman-temannya telah datang.
Arden melepaskan pelukannya saat merasakan pelukan Sheila longgar. Sheila kembali menegakkan tubuhnya dan menghampiri sahabatnya yang sangat-sangat ia rindukan. Bahkan, ia sedikit terharu dan sangat erat memeluk Zea. Pelukan ini yang Sheila rindukan. Sebuah pelukan hangat dari seorang sahabat.
Sementara itu, Arsa dan Arden tersenyum dan saling melakukan high five dan juga fist bump. Yang lainya hanya bisa tersenyum dan melakukan high five ke Zea. Naufal tersenyum menatap wajah Zea yang terlihat lebih fresh dan segar, tidak seperti terakhir kali di sini yang acak-acakan.
"Lo nggak kangen gua?" Tunjuk Garrel pada dirinya sendiri.
"Gimana ya...." Zea mengetuk-ngetuk dagunya seolah-olah berpikir.
Kezia menuruni tangga. Setelah selesai, ia menguncir rambutnya dengan berjalan ke arah orang-orang yang selalu ada untuknya. "Eh? Yang lainya udah dateng. Tadi kak Zea sama aku buatin sesuatu buat kalian, pada belum makan, kan?"
Arzan, Garrel, Naufal dan tidak tertinggal Arsa, mereka langsung mengangguk cepat mengiyakan.
"Makan yuk!" ajak Zea.
"Widih! Ayam geprek!" seru Arzan melihat meja yang penuh dengan berbagai makanan, tapi inti dari lauk pauk mereka kali ini adalah ayam geprek.
Garrel mencoba ayam geprek tersebut dengan meniup-niupnya karena masih panas saat ia pegang. Ia mengigit potongan kecil dan langsung meletakkan ayam tersebut di sebelah kirinya. Kezia dan Zea pun mengerutkan keningnya. Memangnya kenapa? Apakah tidak enak?
"Wah!"
Teman-temannya langsung menatap Garrel bingung. "Kenapa?" tanya Sean.
Suara tepukan tangan dari Garrel membuat teman-temannya bingung dan menatap Garrel dengan menunggu jawaban dari pertanyaan Sean. "ENAK!! Sambalnya mantul! Ayamnya krispi..."
Zea dan Kezia menghela nafas lega karena mereka juga lupa untuk mencicipinya terlebih dahulu tadi, jadi tidak tau rasanya. Zea mengambil ayam miliknya Arden dan mengambil beberapa ayam juga yang belum dilumuri sambal untuk Arsa atau yang lainnya yang tidak ingin makan dengan sambal.
Arden dan Arsa mengacungkan jempolnya kepada Zea dan Kezia setelah mencoba ayam tersebut. Mereka semua puas. Bahkan banyak yang menambah. Nambah ayamnya maksudnya, bukan nasi. Sementara itu, Arzan celingak-celinguk melihat isi meja. "Nggak ada paha ayam geprek?"
"Makan apa yang ada," balas Sean.
"Nih." Zea memberikan sepotong paha ayam yang besar ke piring Arzan.
"Beneran buat gua?" Zea mengangguk. "Makasih, Ze. Lo emang cewek paling peka, deh."
"Iya, tapi sesekali doang," balas Zea.
Arzan hanya nyengir dengan teman-temannya yang tertawa kecil mendengarnya.
Suasana ini yang sangat mereka rindukan. Walaupun tanpa Ezra, tapi di atas kebahagiaan mereka tidak pernah melupakan sosok Ezra yang begitu mereka sayangi sejak dulu. Suara canda tawa dan saling berbagi cerita di dapur dapat menghidupkan suasana kala itu.
Kehangatan dalam sebuah pertemanan yang sangat kuat membuat mereka merasakan nyaman satu sama lain dan tidak segan-segan mengeluarkan candaan walaupun terkadang garing. Tapi saat garing, justru Sheila lah yang akan menghidupkannya kembali dengan diikuti Garrel yang ingin terus merasa suasana seperti ini.
Suara tawa Kezia yang Zea rindukan sekarang kembali lagi ia dengar. Tawa ini yang ia inginkan, bukan suara tangis Kezia saat malam. Merasa keramaian lagi di rumahnya saja sudah mendapatkan kebahagiaan kembali. Kezia sangat senang jika kakak-kakak dan abang-abangnya yang ia sayangi berkunjung ke rumah walaupun hanya sekedar meminta minum contohnya.
Setelah makan, mereka berkumpul di ruang keluarga dengan menyalakan layar televisi karena sedang menonton. Sesekali Garrel melempari Sean pop corn yang membuat sang empu kesal dan akan beranjak dari duduknya.
Dengan cepat Sean langsung menarik kaki Garrel. Garrel pun memberontak, tapi dengan begitu membuat celanaanya melorot dan menampakkan sedikit kain di sana. Tawa Arzan dan Naufal pun pecah. Mungkin setelah ini Garrel akan mendapatkan sebuah nama baru.
"HAHAHAHA. Ijo toska." Arzan menunjuk-nunjuk Garrel dengan mengusap matanya karena terlalu banyak tertawa hingga terharu.
"Bukan toska. Lo salah!" Garrel kesal menatap Sean dan berganti menatap Arzan yang tertawa terbahak-bahak.
"Aduh-aduh, capek gua ketawa terus," ucap Arzan.
Naufal menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengontrol dirinya agar tidak kembali tertawa walaupun perutnya geli. "Toska... toska... toska..."
"Sialan lo!"
Teman-temannya langsung berhenti tertawa dan menatapnya garang. Tidak tertinggal, Arden dan Arsa pun bersiap untuk menarik telinga Garrel dari kedua sisi yang berbeda. "Nggak boleh bicara hal yang buruk! Itu jelek!" kata Arden.
Arsa mengangguk mengiyakan Arden. "Bang Garrel aku aduin ke Ayah nanti, ya?" goda Arsa.
Garrel langsung menggeleng cepat. Bisa berabe jika Gilang mengetahui hal buruk ini dan melaporkannya kepada sang mama tercinta di kota. Arsa pun tersenyum tipis. "Mangkanya, udah gede kok omongannya nggak dijaga."
Sean tersenyum mendengarnya, bahkan Sheila pun juga. "Bagus!"
Garrel membulatkan matanya. "Bagus? Bagus apanya? Gara-gara lo, nih! Gua aduin ke Ibunda Tara pasti marah-marah ke elo."
"Kok jadi elo yang kayak anak bunda gua? Emang lo sedarah sama gua?" balas Sean.
"Dikit"
"Dikit apanya?"
"Kan, mama gua adik bokap lo, Anka! Bisa-bisanya lo lupa."
"Oh, iya. Lupa."
Garrel memutar bola matanya malas dan membuang muka. "Filmnya bisa diganti nggak?"
"Mau yang apa?" tanya Kezia.
"Kartun"
...••••...
Adara melirik kotak kecil hadiah dari Leon yang belum ia buka sejak bulan kemarin dan saat ulang tahunnya. Ia hanya berkata kepada Leon kalau hadiahnya bagus, padahal ia belum melihat isi kotak tersebut. Ia mengelus sebelum pita kecil di ujung kotak dan membuka pelan dengan mata yang sedikit terpejam.
Sebuah jam tangan kecil yang elegan yang Adara inginkan sejak dulu. Ia merasa tidak enak saat menerima hadiah ini karena hasil Leon mengumpulkan uang jajannya setiap hari untuk membelinya. Tapi walaupun begitu, Adara tetap menyukainya dan menerimanya. Tidak enak juga kalau orang lain berusaha untuk membeli barang tersebut untuk seseorang, tapi dikembalikan oleh orang tersebut.
Jam itu terlihat sangat cocok saat dipakai Adara. Adara tersenyum menatap jam tersebut dan mengambil ponselnya untuk memotretnya. Tiba-tiba Faiz mengetuk pintu kamar Adara dan membukanya secara perlahan saat mendapati sahutan dari dalam untuk masuk.
Faiz tersenyum tipis melihat wajah Adara yang tampak bahagia. Sebuah jam melingkar indah di tangan putrinya. Ia berjalan mendekati Adara dan menatap jam tersebut. "Dari Leon, kan?"
Adara mengangguk cepat. "Iya, bagus, kan, Pa?"
"Jamnya bagus, apalagi putri cantik papa yang memakainya."
Adara duduk di tepi kasurnya dengan masih tetap menatap jam tersebut yang melingkar indah. "Menurut papa Leon itu gimana?"
"Random. Terkadang perhatian, kadang juga ngeselin."
"Nah! Bener!" Tunjuk Adara. "Tapi walaupun begitu, Dara suka sama cara dia yang selalu ada buat Adara kalau mau cerita. Dia temen Dara kalau lagi sedih, kadang sama Ara, kadang juga sama Kezia."
"Papa seneng kamu bisa balik sama Kezia. Kasihan dia sekarang tinggal sendirian di rumahnya, pasti kesepian."
Adara mengangguk pengertian. "Maka dari itu aku sering pulang terlambat, hehehe."
"Temenin dia biar nggak sendirian, dia juga baik ke kamu"
"Iya, aku juga suka temenan sama Kezia," balas Adara mengembangkan senyumannya.
...••••...
...TBC....