“Aku dibesarkan oleh seorang wanita yang tubuh dan jiwanya hancur oleh dunia yang tak memberinya tempat. Dan kini, aku berdiri, tak hanya untuk ibuku… tapi untuk setiap wanita yang suaranya dibungkam oleh bayangan kekuasaan.”
Mumbai, tengah malam. Di ruang pengadilan yang remang. Varsha memandangi tumpukan berkas-berkas perdagangan manusia yang melibatkan nama-nama besar. Ia tahu, ini bukan hanya soal hukum. Ini adalah medan perang.
Di sisi lain kota, Inspektur Viraj Thakur baru saja menghajar tiga penjahat yang menculik anak-anak perempuan dari desa. Di tangannya, peluru, darah, dan dendam bercampur menjadi satu.
Mereka tidak tahu… bahwa takdir mereka sedang ditulis oleh luka yang sama–dan cinta yang lahir dari pertempuran panjang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MOM MESS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara yang Di Teriakkan.
Di ruang interogasi besar, dua kursi disiapkan berseberangan. Salah satunya sudah diisi oleh Ragunath. Wajah Ragunath tampak ketakutan ketika melihat Ranatungga didorong masuk dan diikat di kursi satunya.
Viraj berdiri di hadapan mereka, menatap dari satu wajah ke wajah lain.
"Siapa di antara kalian bosnya?"
Tak ada jawaban.
Viraj mendekati Ragunath. “Tuan Ragunath. Lewat sifat manipulatif mu yang kotor itu. Kau berhasil membuat mereka buta akan sifat bejat mu yang cukup licik. Kau culik para gadis itu. Kau lucuti mereka. Siksa mereka. Lalu kau buang baju yang di penuhi jejak tangan kotor mu ke sumur tua yang...kau sebut suci?" Ragunath perlahan menatapnya. Viraj tertawa sinis. “Dan Ranatungga… kau melanjutkan kejahatannya dengan membeli dagangan Ragunath. Apa itu benar?"
Ragunath tau ini adalah taktik Viraj untuk membuatnya berbicara. Dia memilih diam dan tidak menjawab apapun.
"Biar ku tebak. Apakah Ragunath adalah bos mu?" Ranatungga langsung menatap Viraj dengan kesal. "Ayayoy... Lihat dia Diwakar. Matanya memerah. Apa kau tau artinya?"
"Arti?"
"Ketika kita sedang membicarakan atasannya, dan mata itu memerah itu artinya dia marah ketika atasannya di hina. Ck, ck, ck. Sungguh anjing peliharaan yang baik."
"DIA BUKAN BOS KU!"
"Lalu kenapa matamu memerah?
"Aku tidak sudi kalau dia di sebut sebagai bos ku. Kalau bukan karena dia, mungkin saat ini aku tidak akan tertangkap. Cih, "
"Jadi kau menyalahkan ku? Kenapa kau tidak minta ayah mu untuk melepaskan mu."
"HEI—"
"HEI" potong Ragunath, saat Ranatungga membentaknya.
"EYY." Tegas Viraj cepat sambil memukul meja. Keduanya terdiam, dan bersama menatap Viraj. "Kenapa kalian berkelahi. Bukan kah kalian tim?!"
Ranatungga membuang muka kesal. Begitu juga dengan Ragunath.
"Jika bukan Ragunath atasan mu. Itu artinya... Kau adalah-"
"Hei Pak Inspektur. Jika kau sebut dia sebagai bos ku, aku tidak terima."
"Jika aku jadi bos suatu saat nanti. Aku tidak akan mempekerjakan orang bodoh seperti mu."
"Lagipula aku juga tidak mau bekerja dengan orang sombong seperti mu."
"Siapa yang kau sebut sombong?"
"Kau."
"Sekali lagi kau sebut aku sombong, akan ku penggal kepala mu."
"Bagaimana caranya kau memenggal kepala ku? Tangan mu saja di borgol oleh Pak Viraj. Dan apa kau sadar, ini bukan seperti markas kita. Ini kantor polisi."
"Sejak kapan kau melihat markas kita?!"
"Selain sombong kau juga pikun ya. Apa kau tidak ingat saat Pak Devraj, mempertemukan kita—" Ragunath terdiam. Suasana langsung membeku. Ranatungga tidak bisa berkata apa-apa. Matanya membelalak menghakimi Ragunath yang asal sebut. Viraj dan Diwakar tersenyum puas. Viraj berdiri dan mendekati Ragunath.
"Terima kasih kerja sama nya, Bos Ragunath." Viraj menepuk-nepuk bahu Ragunath, lalu keluar. Di luar ia meminta anak buahnya untuk mengembalikan mereka berdua ke sel tahanan yang terpisah.
Viraj dan Diwakar bersama mencari tau siapa itu, Devraj. Tak butuh waktu lama. Mereka menemukan data lama mengenai Devraj.
"Devraj Malhotra," gumam Viraj pelan. Diwakar dan Viraj langsung ke ruang briefing untuk membahas soal Devraj pada atasan mereka..
“Tuan… Saya sudah mengantungi nama pelaku utama. Devraj Malhotra.”
Seberang sana terdiam. Mendadak mereka terdiam, melemparkan pandangan satu sama lain.
“Devraj?” suara Rajan terdengar tegang. “Yang punya perusahaan ekspor-impor internasional itu? Yang diduga punya hubungan dengan beberapa politisi?”
"Yes, Sir."
"Tapi... Devraj sudah pindah ke Dubai 3 tahun lalu. Dan tak pernah kembali lagi, "
"Sir. Bukan kah kemarin dia menghadiri kampanye politik di Gujarat."
"Haan Diwakar. Kau benar... Itu artinya dia masih berada di sini."
Rajan menghela napas berat. “Baik. Mulai besok kita harus bergerak untuk mencari Devraj. Tapi Viraj..."
"Yes, Sir?"
"Besok. Biar Diwakar dan tim nya yang mengurus pengejaran pada Devraj."
"Kenapa, Sir?"
"Kau sudah banyak bekerja selama beberapa bulan ini. Setidaknya cutilah untuk besok. Kau lupa Mahi besok ulang tahun?" Seketika Viraj terdiam. Seluruh tim kepolisian sangat mengawasi tindakan Viraj sebagai seorang ayah. Mereka juga sering mengingatkan Viraj untuk menjemput Mahi ke sekolah. Sikap Viraj yang tidak bisa mengontrol diri, sering membuatnya lupa waktu. Itu sebabnya kepolisian membantu Viraj untuk sembuh.
"Ayolah Viraj. Hari spesialnya hanya berjalan satu hari setahun. Hanya sehari. Apa kau tidak ingin bersama putrimu?"
"Sir. Jangankan sehari. Jika bisa... Aku ingin bersama putriku selamanya tanpa ada rasa beban dan tugas. Tapi... menjadi seorang polisi adalah impian ayah ku. Dan memecahkan kasus, menegakkan hukum juga sudah menjadi hobiku."
"Mahi bukan cuma mendapatkan cinta dari satu ayah. Tapi juga mendapatkan cinta dari kami." Viraj tersenyum. Dan bergegas pulang, untuk menjemput Mahi yang saat ini masih bersama Varsha.
...----------------...
Viraj mendapatkan pesan dari Bose, kalau Varsha sudah pulang ke rumahnya sendiri. Viraj lalu pergi kerumah Varsha, yang saat ini sedang di penuhi dengan puluhan wartawan yang menunggu Varsha berbicara. Di depan para wartawan itu, berdiri Varsha dengan rambut yang di sanggul dan perban di kepalanya. Walaupun masih sakit, Varsha siap menjadi suara untuk membangkitkan semangat para wanita di luar sana.
Ia berdiri di luar sebuah aula kecil tempat Varsha tengah memberikan wawancara live untuk televisi lokal. Ia tak masuk, hanya mengamati dari jauh, menyaksikan Varsha duduk anggun di hadapan kamera.
"Apa pesan Anda kepada masyarakat, terutama orang tua di desa yang masih memaksa anak-anak mereka menikah muda?”
Varsha menghela napas pelan, lalu mulai berbicara—penuh keyakinan.
“Saya tahu... orang tua ingin yang terbaik untuk anak mereka. Tapi yang terbaik bukanlah menikahkan mereka di usia 12. Bukan juga menyekolahkan anak laki-laki dan membiarkan anak perempuan di rumah untuk memasak atau melayani.”
“Perempuan adalah makhluk yang berpikir, bermimpi, dan merasa. Mereka punya hak untuk menjadi guru, dokter, polisi, bahkan menteri. Tapi untuk itu, mereka harus diberi kesempatan. Pendidikan. Perlindungan. Ruang untuk bertumbuh.”
“Dan untuk para ayah, suami, saudara laki-laki... tugas kalian bukan mengatur hidup mereka, tapi berdiri di samping mereka. Membela mereka. Bukan memerintah. Bukan mengikat.”
Beberapa penonton perempuan halaman rumah Varsha mengusap mata mereka diam-diam. Seorang gadis kecil berdiri dan bertanya dengan suara gemetar:
“Apa aku boleh jadi pengacara seperti mu, Didi (kakak) ?”
Varsha tersenyum. “Boleh. Boleh sekali. Dan bukan hanya kamu. Semua gadis di sini. Aku akan bantu kalian.” Sorak tepuk tangan menggema.
Di luar aula, Viraj menunduk sejenak, lalu tersenyum. Senyum yang jarang keluar dari wajah keras dan terluka itu. Ada damai yang aneh. Seperti rumah yang lama ia cari dan baru hari ini ia temukan.
Di desa-desa Bihar, Rajasthan, dan sekitarnya — layar-layar kecil dari rumah ke rumah menyala. Warga berkumpul menyaksikan perempuan yang dulu mereka cemooh kini bicara lantang. Beberapa wanita mulai menangis. Beberapa pria mulai menunduk. Sesuatu berubah. Sesuatu mulai hidup.
jangan lupa mampir ya kak...