Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 4
"Ta, dicariin tuh!" Julian menepuk bahu Artha, memberikan secarik kertas yang entah apa itu. Gurat wajahnya terlihat tegang sehingga membuat Artha memicing.
"Lo takut amat. Siapa yang nyari?" Artha merebut
kertas kecil itu, lantas membukanya secara tergesa.
"Temui gue di arena jam 7 malam. (Deon)"
Artha mendengkus, merobek kertas itu kecil-kecil, lalu dibuang ke sembarang tempat.
"Lo bikin rusuh aja. Gue piket hari ini!" Julian memunguti potongan-potongan kertas itu sambil
ngomel. Artha hanya meliriknya kesal.
"Lo enggak asyik banget. Itu kan seperti adegan di film-film saat pemeran utama dapat surat kaleng dari musuh."
"Ya, jangan buang sampah sembarangan juga kali, Ta. Adanya lo nambahin kerjaan gue." Setelah semua potongan kertas terkumpul, Julian memasukkan ke dalam tong sampah yang ada di depan kelas, lalu kembali ke tempat Artha berada.
"Jadi lo akan memenuhi undangan dia?"
Artha terdiam. Sudah lama rasanya dia tidak berolahraga otot.
"Dia jual, gue beli. Ajak temen temen. Kita lihat kebinasaan anak-anak enggak tahu diri itu."
"Tapi ... lo kan masih dihukum sama bokap lo?"
"Makanya, jemput gue tepat waktu. Gue bakal kabur lewat jendela. Jangan sampai telat lo!" kata
Artha memastikan.
"Beres!"
Pandangan Artha mengarah ke depan. Geng Mahattan yang diketuai olehnya memang memiliki masalah dengan siswa sekolah luar. Hanya masalah gengsi dan adu kehebatan membuat mereka sering berkompetisi baik di bidang formal, maupun non formal. Formal yang dimaksudkan di sini adalah bidang akademik juga non akademik, sementara non formal hanya sebatas adu kekuatan otot di ring tinju, dan terkadang balap liar. Dan malam ini sudah saatnya bagi Artha menunjukkan siapa yang
terhebat di antara yang paling hebat.
Tepat pukul tujuh malam, seperti apa yang Artha katakan, Julian menunggu di depan pagar rumah Artha. Dia menyiapkan satu helm untuk dipakai Artha dan bersiap menuju arena.
"Ssstttt!"
Suara desisan terdengar lirih, tetapi Julian langsung paham siapa pelakunya. Kepala ditengadahkan, lantas melihat Artha sudah berada di atas pagar tembok yang menjulang tinggi.
"Bantuin gue turun!" ucap Artha sengaja menahan agar tidak ada yang menyadari kelakuannya.
“Lo kek maling aja, Ta!"
"Bacot! Buruan, sebelum ketahuan Bokap!"
Julian turun dari motor, lalu memasang posisi tegap sebagai pijakan kaki Artha yang akan turun dari atas pagar. Mereka sudah biasa melakukan itu sehingga tiada kendala bagi keduanya melancarkan aksi.
"Ayo, kita hampir terlambat!" Julian menyerahkan helm yang segera dikenakan Artha. Keduanya berlalu, sembari menaikan kecepatan motornya agar segera sampai.
Tempat yang dijadikan arena tanding sudah ramai penonton. Bukan penonton asing, melainkan hanya teman-teman Artha dan anggota geng Mahattan. Juga pelajar sekolah sebelah yang tentu selalu menjadi rival sekolah Bina Pradipta.
"Artha!" Dukungan untuk Artha tak henti-henti,
terutama dari kalangan cewek-cewek cantik.
Saat Artha turun ke arena, hanya mengenakan celana bokser, memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang liat, semua orang histeris.
Mahesa yang tadinya ikut menyemangati mendadak Mahesa.
"Kampungan banget mereka. Baru lihat body Artha udah teriak-teriak. Belum juga lihat body gue."
Dirga yang ikut menonton seketika menoyor kepala Mahesa.
"Body yang mana? Perut bergelambir itu yang mau lo banggain?"
Julian tertawa.
"Lo kalau mau saingan sama Artha, olahraga yang bener. Kerjaan lo makan mulu."
"Kalian berdua kenapa, sih? Enggak ada yang mau muji gue. Emang yang paling baik hati si Nizan. Si soleh itu kenapa juga enggak nongol nongol. Gue kangen tahu. Hanya dia yang mau muji gue!"
Julian dan Dirga tergelak.
"Jangan hombreng, Bro! Cewek masih enak!"
"Siapa yang hombreng. Enak aja! Gue masih normal." Mahesa tak terima, menatap kesal ke arah kedua temannya.
"Udah, udah! Gosah ribut! Udah mulai, tuh." Julian mengingatkan. Histerisan cewek-cewek yang sejak tadi memenuhi arena mendadak senyap saat wasit memberikan instruksi.
"Tidak boleh memukul area bawah ikat pinggang, menendang, menanduk, menggigit, mendorong, atau meludahi lawan. Dilarang memukul menggunakan kepala, lengan, atau siku. Mengerti?"
Artha dan Deon mengangguk secara bersamaan. Tentu mereka sudah sangat paham bagaimana peraturan tinju karena bukan sekali ini keduanya
melangsungkan pertandingan.
Setelah aba-aba dimulai, Artha sudah siap dengan posisinya, mengepalkan tangan yang dibalut sarung tinju. Begitupun sama dengan lawannya. Keduanya saling tatap, mengamati untuk memulai pertandingan.
Deon memulai serangan, memukul bagian kepala Artha. Namun, secara gesit Artha menghindar. Artha cukup tangkas menahan serangan lawan, dan dari posisi bertahan langsung berubah menjadi posisi menyerang.
Dalam beberapa kali serangan yang Artha lakukan, baru serangan ke-4 yang luput dari Deon. Kepala Deon terkena pukulan telak, membuat darah segar merembes ke hidungnya.
Para pendukung Artha bersorak, tetapi hanya sebentar karena suasana begitu menegangkan. Terjadi serang-menyerang yang bergantian antara Artha dan Deon. Keduanya seakan ingin menunjukkan siapa yang terbaik di antara yang terbaik. Wajah sudah penuh memar akibat serangan yang dilakukan.
Deon yang lebih parah. Artha dia tidak kuat lagi. Namun, jika kalah dari Alka maka harga dirinya yang dipertaruhkan. Dia bangkit dari posisinya yang telungkup, berteriak kencang seperti adegan di film-film super hero. Seakan-akan jiwanya
segar kembali, dia mulai menyerang Artha.
Merasa tidak bisa menaklukkan dengan cara biasa, Deon berakhir menendang perut Artha. Artha terkapar seketika, merasakan nyeri di perut,
meringkukkan badan.
Wasit meniup peluit, menandakan sebuah pelanggaran. Namun, bukannya berhenti, Deon
kembali menendang Artha.
"Huuuuuuuu!" Penonton berteriak.
"Curang-curang, pecundang!"
Deon tak peduli. Dia terus-menerus menendang Artha. Wasit mencoba melerai, menarik Bimo keluar dari Arena. Namun, pergerakan wasit justru mendapat serangan Deon. Pria itu benar-benar di luar kendali.
"Artha!" teriakan cewek-cewek membuat Artha mengerutkan kening. Dia berusaha bangkit dari posisinya yang masih meringkuk. Nyeri di wajah dan tubuhnya belum hilang sepenuhnya, tetapi akhirnya dia bisa kembali berdiri.
Tinju langsung diarahkan Artha ke wajah Deon yang tadinya menghajar wasit. Deon ambruk dan segera ditendang oleh Artha. Peraturan hanya peraturan, karena saat ini Artha tidak peduli lagi
dengan aturan tinju. Dia menendang, menginjak,
juga menjambak, membuat Deon benar-benar babak belur.
Napas Artha terdengar ngos-ngosan dengan darah merembes di hidung serta pelipis. Deon pingsan di tempat, membuat Artha menghentikan
serangan.
Hiruk-pikuk teriakan yang sejak tadi berdengung memenuhi arena menjadi hening. Semua mata tertuju pada Artha, lalu beralih pada Deon.
Artha turun dari arena dibantu Julian dan Dirga. Mahesa menyeka memar Artha menggunakan handuk yang sudah dibasahi air dingin. Silvi, teman sekelas Artha mendekat.
"Ta, lo enggak papah, kan?" tanyanya sembari merebut handuk basah dari tangan Mahesa,
menggantikan posisi membersihkan luka Artha.
Dengan cepat Artha menjawab, "Enggak papah."
Dia menoleh pada Julian.
"Mana baju gue?"
Julian memberikan kaus yang sejak tadi disimpannya pada Artha yang langsung dipakai oleh pria itu. Bukan hanya Silvi yang mendatangi Artha, teman-teman ceweknya yang lain pun turut
mendekat dan berhasil membuat Silvi kesal.
"Minggir lo, ganggu aja!" Silvi mencebik, sedikit mendorong bahu teman wanita yang sengaja
mendekati Artha.
"Lo juga. Apa-apaan sih? Emang Artha cowok lo!"
bentak cewek tadi tidak terima.
"Udah, Sil, sama gue aja. Gue masih kosong,
nih!" Mahesa mempromosikan diri.
"Idiih, amit-amit!"
Artha menggeleng pelan melihat tingkah kawannya itu. Mereka bergegas keluar, tidak menunggu teman-teman Deon yang sedang
mengurus tubuh Deon yang masih pingsan.
Berbagai merk motor sport dinyalakan bersama. Karena motor Artha masih disita, membuatnya harus puas dengan hanya menjadi penumpang. Seperti biasa, setelah menang melawan Geng Deon, mereka melakukan konvoi di jalan. Tepat ketika melewati jalan Raya, geng Deon tiba-tiba menghalangi jalan.
Motor berhenti mendadak, tak mungkin juga menabrak anak orang yang sengaja merentangkan tangan di tengah jalan.
"Minggir lo! Bosan hidup apa?" bentak Dirga
setelah membuka kaca helm full face-nya.
"Enggak ada ampun karena lo bikin babak belur ketua gue!" Dia menoleh ke samping, dan nyatanya banyak sekali anggota yang dibawa untuk mengeroyok Artha dan teman-temannya.
Terpaksa meladeni, mereka semua menepikan
motor dan turun untuk menyelesaikan masalah.
Seharusnya semua sudah berakhir di arena. Namun, tetap saja ada yang tidak terima akan sebuah kekalahan. Pertikaian tidak bisa terelakkan. Semua saling serang walau hanya menggunakan tangan kosong. Andai ada polisi, mereka pasti diringkus saat itu juga. Sayangnya lokasi yang mereka gunakan untuk berkelahi jauh dari jangkauan polisi.
Di sisi lain, Naira baru selesai mengantar Maya bekerja. Dia mengarahkan motornya kembali ke jalan raya untuk segera pulang dan mengistirahatkan diri. Ya, walaupun dia sudah menikah, tak membuat Maya berhenti bekerja. Bukan masalah nafkah, tetapi Maya tidak ingin menggantungkan apa-apa pada mertua Naira. Bagaimanapun, menantunya belum bisa mencari uang karena sama-sama masih sekolah.
Awalnya perjalanan Naira biasa saja, tanpa ada kendala seperti biasanya. Namun, saat melihat ada pertikaian dijalan, dia sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan. Dia ingin berbalik arah, mencari jalan lain agar tidak bersinggungan dengan anak-anak nakal tersebut. Namun, saat Naira hendak berbalik, wajah Artha terlihat babak belur dan sedang dikeroyok banyak orang.
Naira memutuskan menepikan motor, mengambil ponsel di saku hoodie, lalu menghubungi Siena, mama Artha.
"Tante, Artha dikeroyok!" Naomi memberi informasi lengkap di mana lokasi mereka saat ini. Terdengar di sana suara sang mertua panik
mendengar anaknya sedang dalam bahaya.
"Naira tunggu di sini, Tan!"
"Jangan, kamu sebaiknya pulang. Biar Papa yang beresin semuanya. Bahaya buat kamu, Sayang!" Suara Siena terdengar cemas. Bagaimanapun dia tahu bagaimana posisi Naira yang hanya seorang wanita. Akan sangat bahaya jika terlibat pertikaian anak-anak nakal.
"Baik, saya akan pulang."
Panggilan berakhir. Naira menghela napas panjang. Saat dia hendak pergi, matanya tertuju pada banyaknya orang yang memukuli Artha. Walaupun posisi Artha masih bisa bertahan, tetapi Naomi yakin dengan lawan yang tidak berimbang lama-lama Artha akan kalah juga.
Naira menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Berakhirlah pada ranting pohon yang ukurannya tidak terlalu besar dan cenderung kecil, juga rapuh tergeletak di tanah. Tanpa banyak berpikir, Naira mengambilnya untuk dijadikan senjata. Naira berlari sambil berteriak.
"Awas kalian semua!"
Mendengar teriakan Naira yang melengking membuat semua orang terkejut. Naira yang berlari tersandung sepatu anak lain yang sengaja menghalangi jalannya. Merasa gerakannya tak seimbang dia terjatuh dan menggapai-gapai sesuatu sebagai pertahanan terakhir. Sayangnya apa yang digapai Naira bukanlah benda padat yang kuat, melainkan celana Julian.
"Kyaaaa!"
Naira terjatuh, kedua tangan memegang erat
celana olahraga Julian sehingga melorot.
Semua orang yang tadinya berkelahi mendadak berhenti, menatap kejadian memalukan tersebut.
Termasuk pria-pria yang memukuli Artha.
Embusan napas tersengal terdengar di antara semua orang. Naira menengadah, menatap Julian yang celananya melorot. Saat itu juga mata Naira langsung memejam karena melihat belalai gajah Julian bergelantungan.
Artha maju lebih dulu, membantu Naira berdiri. Setelah itu, dia menaikkan celana olahraga Julian dan mengikat talinya kuat.
Sontak Julian memeluk Artha, menangis di bahu lelaki itu.
"Huuu ... gue enggak perjaka lagi!" ucapnya di sela tangis.
"Lagian lo kenapa enggak pake kolor?" Artha
menepuk-nepuk punggung Julian, berusaha
menenangkan. Naira yang melihat itu hanya bisa
meringis, merasa bersalah pada Julian.
Teman-teman Deon yang tadinya berkelahi mendadak iba. Mereka satu per satu mendekati
Julian, menepuk punggung dan bahu lelaki itu.
"Sabar, ya, Bro!"
"Turut berduka cita." Mereka menunjukkan simpati pada Julian.
Sepertinya rasa malu yang dirasakan Julian
membuat para lelaki merasakan hal yang sama.
"Sudah, jangan nangis!"
****
Ravindra berjalan mondar-mandir di depan Artha. Sementara Siena sedang mengobati luka-luka di wajah anak sulungnya itu.
"Kamu bener-bener keterlaluan, Ta! Kabur dari sekolah, menghajar anak orang, dan sekarang
tawuran? Mau jadi apa kamu?"
Arta hanya diam saat dimarahi. Dia memang tahu dan paham kesalahannya sehingga tidak banyak membantah.
"Papa sudah lelah mengurusi semua masalah dan kekacauan yang telah kamu buat. Mulai hari ini kamu Papa keluarkan dari sekolah!" ucap Ravindra tegas yang langsung ditanggapi Artha dengan terkejut.
"Apa? "
"Mulai besok, Papa akan memindahkanmu ke sekolah negeri. Di sekolah Naira. Titik!"
"Tapi ..., Pa?" Artha berusaha mengiba. Bibirnya terasa perih saat bicara.
"Enggak ada tapi-tapian. Kalau kamu masih membuat ulah, Papa akan kirimkan kamu ke asrama. Mengerti!"