NovelToon NovelToon
Suami Hyper Anak SMA

Suami Hyper Anak SMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Teen Angst / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Raey Luma

"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Babak

“Davin?”

Suara Leora terdengar lagi, kali ini lebih pelan. Tubuhnya menegang sesaat saat Davin memeluknya tiba-tiba, begitu erat sampai napasnya tertahan.

“Davin, kenapa—”

“Jangan lepasin,” potong Davin lirih. “Tolong… jangan dulu.”

Leora terdiam.

Tangannya yang semula menggantung di udara perlahan naik, ragu sejenak, lalu mendarat di punggung Davin.

“Bi…” Leora melirik Bi Marni sekilas.

Bi Marni langsung paham. Ia menurunkan jemuran yang dipegangnya, lalu berdeham pelan.

"Bibi masuk dulu, ya. Jemurannya bisa nanti.”

Tanpa menunggu jawaban, perempuan itu melangkah masuk ke rumah, menutup pintu dengan sengaja tidak rapat memberi mereka ruang, tapi tetap dekat.

Hening menyelimuti halaman.

Leora mengusap punggung Davin pelan, “Lo kenapa?” tanyanya lembut. “Lo kenapa, Vin?”

“Gue hampir nggak balik,” ucapnya jujur. Tanpa berbelit.

“Apa maksud lo?” tanya Leora, tak mengerti.

Davin memejamkan mata.

“Rem motor gue blong,” katanya pelan. “Di jalan pulang dari pertandingan.”

Leora membeku.

“Blong?” ulangnya nyaris berbisik.

“Iya. Dua-duanya.” Davin tertawa pendek, “Kalau tadi nggak ada dua orang itu… gue mungkin nggak berdiri di sini sekarang.”

Leora menarik napas tajam. Dadanya terasa sesak tiba-tiba. Ia menekan wajahnya ke bahu Davin, memeluk lebih erat, seolah ingin memastikan lelaki itu benar-benar ada.

“Kenapa lo nggak bilang dari tadi?” suaranya bergetar.

“Karena gue takut,” jawab Davin jujur. “Takut kalau gue ngomong… semuanya jadi nyata.”

Leora menggeleng kecil, “Lo bodoh,” katanya lirih. “Tapi… makasih udah pulang.”

Davin membuka mata. Tangannya mengendur sedikit, cukup untuk menatap wajah Leora.

“Ada yang aneh, Ra,” katanya serius. “Motor gue baik-baik aja pagi tadi. Dan ini kejadian setelah—”

Ia berhenti.

Leora sudah paham. Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, tidak perlu ada kata-kata lanjutan.

"Lo aman sekarang. Jangan pikirin itu dulu."

Angin berembus pelan, menggerakkan jemuran yang tersisa. Di balik pintu, Bi Marni mengintip sebentar, lalu tersenyum lega melihat Davin dan Leora.

Leora meraih tangan Davin, kali ini lebih tenang dan kuat.

“Masuk,” katanya lembut. “Lo butuh duduk. Dan makan.”

Davin mengangguk kecil,

“Iya… makasih. Sorry kalo gue bikin lo khawatir.”

“Enggak,” jawab Leora mantap. “Lo gak perlu minta maaf”

Leora tidak banyak bicara setelah itu.

Tangannya bergerak cepat. Ia masuk ke kamar, mengambil pakaian ganti Davin, lalu kembali dengan kotak P3K.

“Duduk,” kata Leora singkat, namun tegas.

Davin menurut.

Leora membuka kotak P3K, membersihkan lecet di lengannya, menempelkan kasa, lalu membalutnya rapi.

“Ini sakit?” tanyanya pada luka di tangan kanan.

"Lumayan,” jawab Davin jujur.

Tangan Leora sempat berhenti sesaat.

“…Sakit banget ya?” ulangnya pelan.

“Iya.”

Leora melanjutkan membalut luka itu tanpa komentar apa pun.

Setelah selesai, Leora berdiri. “Ganti baju. Abis itu makan.”

Tidak ada perdebatan.

Mereka makan bersama dalam sunyi yang aneh. Leora beberapa kali melirik Davin, memastikan ia benar-benar baik-baik saja. Davin sendiri makan lebih pelan dari biasanya.

“Gue harus ke sekolah setelah ini,” ucap Davin setelahnya. “Anak-anak tim nunggu.”

Leora mengangguk. Ia meraih ponselnya. “Jangan bawa kendaraan.”

“Leora—”

“Enggak,” potongnya cepat. “Gue pesenin taksi.”

Davin tidak membantah lagi.

Saat Davin sudah berdiri di depan pintu, siap berangkat, Leora menghampirinya. Tangannya merapikan baju Davin, lalu berhenti di dadanya sebentar.

“Hati-hati,” katanya pelan, “Beneran hati-hati. Jangan ngerasa sok jagoan.”

Tatapan mereka bertemu.

“Iya,” jawab Davin singkat. “Makasih.”

Taksi datang. Davin masuk, dan Leora berdiri sampai mobil itu menghilang di ujung jalan.

---

Sesampainya di sekolah, Davin turun dari mobil dan langsung menuju aula. Suasana terlihat ramai, tapi tidak kacau. Beberapa tim sudah berkumpul, bercanda, tertawa.

Lalu—

Langkah Davin melambat.

Ia melihat Rey baru saja keluar dari aula bersama anak buahnya. Wajahnya terlihat segar. Lebih… puas dibanding hari-hari sebelumnya.

Mereka tertawa kecil, saling menepuk bahu.

Saat Rey melihat Davin—

Senyumnya merekah.

Penuh arti.

Tatapan mereka bertemu sepersekian detik. Rey mengangkat alis tipis, lalu memalingkan wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

Salah satu anak buah Rey menepuk bahunya sambil tertawa. Yang lain dengan santai menyodorkan jas sekolah, memakaikannya ke tubuh Rey dengan penuh semangat.

Rey membiarkan itu, bahunya sedikit ditegakkan.

Seolah hari ini berjalan persis seperti yang ia inginkan.

Davin berdiri diam.

Dadanya terasa mengeras.

“Jadi lo dalang di balik semua ini…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

"Davin? Lo ngapain di situ?" teriak Raga, dari pintu aula. Ia melambaikan tangan untuk memberinya tanda.

Davin mengangguk. Ia berjalan pelan ke arah aula, meski hatinya diliputi tanda tanya.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, suara langsung menyergap.

“Anjir, akhirnya!” Raga menghampiri lebih dulu. “Lo ke mana aja, Vin? Satu jam, tau.”

“Coach udah nunggu,” sambung yang lain. “Kita kira lo kenapa.”

Davin menarik napas pelan. “Gue pulang bentar,” katanya singkat. “Ada urusan penting.”

“Urusan apa?” tanya Raga refleks.

“Penting,” ulang Davin, nadanya datar. Ia tidak menambahkan apa pun.

Coach yang sejak tadi berdiri di tengah aula akhirnya menoleh.

“Kamu tahu kita nunggu berapa lama?” suaranya rendah tapi menekan. “Ini bukan latihan biasa, Davin.”

“Iya, Coach. Maaf,” jawab Davin singkat. Ia berdiri tegak, menahan bahu agar tidak tampak menurun.

Coach melipat tangan di dada. “Besok final. FINAL. Lawan terberat kita. Tidak ada ruang buat kelengahan.”

Davin mengangguk. “Saya paham.”

“Kalian semua dengar,” lanjut Coach, menoleh ke seluruh tim. “Besok kita harus lebih dari hari ini. Lebih agresif, fokus dan mantap.”

Suara itu terus bergema.

Davin mendengarkan. Atau setidaknya, berusaha.

Nyeri mulai muncul pelan-pelan. Di bahu, di punggung, di sisi rusuk.

Ia mengepalkan tangan di balik jaket, menahan.

Kalau performa gue turun…

Pikirannya berhenti di situ. Ia tidak berani melanjutkan.

“Davin,” panggil Coach lagi. “Kamu oke?”

“Siap,” jawab Davin cepat, “Oke.”

Coach menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah ingin menembus kebohongan itu.

“Kita mulai evaluasi.”

Tim duduk melingkar. Strategi dibahas. Skema permainan diputar ulang. Kesalahan kecil dibedah habis-habisan.

Setiap kata Coach seperti beban tambahan di pundak Davin.

Besok harus lebih hebat.

Ia menelan ludah.

Di sudut pikirannya, senyum Rey kembali terlintas.

Davin menunduk, menyembunyikan wajahnya.

Ia tidak mengatakan apa pun pada siapa pun.

Karena kalau ia bicara.

Semuanya akan berubah.

Dan besok, adalah final.

Setelah beberapa saat...

Evaluasi akhirnya selesai menjelang sore.

Coach menutup dengan beberapa kalimat penekanan terakhir, lalu mempersilakan semua bubar dan beristirahat. Besok adalah final, dan semua diminta menjaga kondisi sebaik mungkin.

Satu per satu anggota tim berdiri, meraih tas, bercanda ringan untuk mengusir tegang.

Davin ikut berdiri paling akhir.

Langkahnya sedikit tertahan. Bahunya tampak kaku. Wajahnya pucat samar.

Raga yang berjalan di sampingnya langsung ngeuh.

“Vin,” katanya pelan sambil menoleh. “Lo kenapa?”

Davin menggeleng singkat. “Gapapa.”

“Gapapa gimana?” Raga menatapnya dari atas ke bawah. “Dari tadi lo murung. Duduknya aja nyender mulu. Motor lo mana?”

Pertanyaan itu membuat langkah Davin berhenti sepersekian detik.

“Di bengkel,” jawabnya singkat, lalu kembali berjalan.

Raga menyusul. “Bengkel kenapa? Lo kenapa pulang dulu tadi? Terus balik naik apa?”

“Raga,” Davin menoleh, “Gue capek. Jangan ditanya panjang.”

Raga terdiam sesaat, tapi nalurinya tidak bisa dibohongi.

“Vin… ini bukan capek biasa,” katanya lebih pelan. “Lo keliatan kayak habis kenapa-napa.”

“Nanti gue jelasin. Bukan sekarang.”

Raga mengamati wajah Davin beberapa detik. Ada sesuatu di sana yang tertahan.

“Gue anterin pulang,” tawarnya spontan. “Motor gue masih di parkiran.”

Davin langsung menggeleng. Tegas.

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Gue bilang enggak.”

Nada Davin membuat Raga terdiam.

Raga mengangguk pelan. “Oke. Tapi lo kabarin kalo udah sampe.”

“Iya.”

Mereka berpisah di depan aula.

Davin melangkah ke area depan sekolah, membuka ponsel, memesan taksi online lagi. Ia berdiri di dekat gerbang, bersandar sebentar pada tiang, menahan rasa nyeri yang mulai menyusup tanpa permisi.

Angin sore menerpa wajahnya.

Lalu suara knalpot terdengar mendekat.

Davin menoleh.

Rey.

Bersama dua anak buahnya, melaju pelan melewatinya. Mereka sengaja memperlambat motor, seolah ingin memastikan Davin melihatnya.

Rey menghentikan motornya tepat beberapa meter di depan Davin, lalu menoleh dengan senyum sok santai.

“Eh,” katanya, melepas helm. “Sendirian aja, Vin?”

Davin tidak menjawab. Tatapannya lurus ke depan, fokus pada layar ponsel.

Salah satu anak buah Rey terkekeh. “Motor kebanggaan lo ke mana? Kok jadi pejalan kaki?”

Rey tersenyum makin lebar. “Mau nebeng? Gue baik hari ini.”

Davin mengangkat kepala perlahan, menatap Rey datar. “Enggak perlu.”

“Oh?” Rey tertawa kecil. “Takut?”

Davin kembali menunduk, memilih diam.

Rey mendekat sedikit, nada suaranya dibuat santai tapi menusuk.

“Atau… lo nggak berani naik motor bareng gue karena takut mama lo marah?”

Anak buahnya langsung tertawa.

“Anak mama,” celetuk salah satu dari mereka.

Davin mengepalkan tangan di saku jaketnya. Rahangnya mengeras, tapi wajahnya tetap tenang.

Rey menyeringai. “Santai aja, Vin. Kita kan temen. Tapi ya… kalo dari dulu hidup lo diatur orang tua, wajar sih jadi pengecut.”

Davin mengangkat pandangan. Tatapan mereka bertemu.

“Lo salah,” ucap Davin akhirnya. “Dan gue gak perlu jelasin apa pun ke lo.”

Rey mengangkat bahu. “Terserah. Gue cuma nawarin.”

Ia menyalakan motornya lagi, lalu berkata sambil tertawa kecil,

“Jangan sampe mama lo tau ya kalo lo pulang malem.”

Motor-motor itu melaju pergi, meninggalkan tawa yang sengaja dikeraskan.

Davin berdiri diam.

Di dadanya, ada amarah dan rasa muak.

Mereka pikir ia anak mama.

Mereka pikir ia bersembunyi.

Mereka pikir itu kelemahannya.

Padahal—

Kalau mereka tahu yang sebenarnya,

mereka tidak akan seberani itu.

Ponselnya bergetar.

Taksi datang.

Davin melangkah masuk ke mobil tanpa menoleh lagi ke arah Rey.

Matanya menatap lurus ke depan.

1
Shifa Burhan
author tolong jawaban donk dengan jujur

*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri

*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain

tolong Thor tanggapan dan jawaban?
Raey Luma: Sementara contoh yang kakak sebutkan mungkin lebih menonjolkan karakter pria yang arogan, sehingga apa pun yang dia lakukan selalu tampak salah di mata pembaca. Apalagi di banyak novel, perempuan yang dinikahkan secara paksa biasanya digambarkan berasal dari tekanan ekonomi atau tanggung jawab keluarga, sehingga karakternya cenderung lebih lemah dan rapuh. Dan itu yang akhirnya membuat tokoh pria terlihat seperti pihak yang “dibenci”.


Beda dengan alur ceritaku di sini, di mana pernikahan mereka justru terjadi karena hal konyol dua orang ayah yang sama-sama sudah kaya sejak lama, jadi dinamika emosinya memang terasa berbeda.

Kurang lebih seperti itu sudut pandangku. Mohon maaf kalau masih ada bagian yang kurang, dan terima kasih sudah berbagi opini 🤍
total 2 replies
Felina Qwix
kalo aja tau Rey si Davin suaminya Leora haduh🤣🤣🤣
Raey Luma: beuuh apa ga meledak tuh sekolah🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!