Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Keputusan Bercerai
#
Seminggu setelah pertemuan di kafe, Larasati duduk di kantor Diana Kusuma—lawyer yang sama yang dia kontrak sebulan lalu, perempuan tegas dengan reputasi menang hampir semua kasus perceraian yang dia tangani. Ruangan itu familiar sekarang—dinding putih dengan sertifikat hukum terpajang rapi, meja kaca besar dengan tumpukan dokumen yang tersusun sempurna, dan Diana sendiri dengan blazer hitam dan tatapan yang tajam tapi tidak tanpa empati.
"Ibu sudah yakin?" tanya Diana, tangan di atas dokumen gugatan cerai yang sudah lengkap, hanya menunggu tanda tangan Larasati. "Ini keputusan besar, Bu Larasati. Sekali dokumen ini di-file, prosesnya akan mulai. Dan dengan publicity case Ibu, ini akan jadi... intense."
Larasati menatap dokumen itu—kertas putih dengan huruf-huruf legal yang formal, yang somehow akan mengakhiri delapan tahun pernikahan. Semua itu—semua cinta, semua janji, semua mimpi—akan berakhir dengan tanda tangan di kertas resmi.
Tangannya gemetar saat meraih pulpen. Bukan karena ragu, tapi karena weight dari apa yang dia lakukan. Ini bukan hanya akhir dari pernikahan. Ini akhir dari identity yang dia pegang selama bertahun-tahun. Akhir dari "Larasati Narendra, istri Gavin." Awal dari "Larasati Kusuma" lagi—atau mungkin seseorang yang baru yang bahkan dia belum kenal.
"Aku yakin," kata Larasati, suaranya lebih stabil dari yang dia expect. Dan dia tanda tangani—nama lengkapnya dengan goresan yang firm di bagian bawah dokumen.
Diana tersenyum—senyum tipis yang professional tapi ada approval di sana. "Keputusan yang berani, Bu. Sekarang, ini akan di-file ke pengadilan hari ini. Bapak Gavin akan menerima surat panggilan dalam dua sampai tiga hari. Dan kita akan schedule sidang pertama, probably dalam dua minggu."
"Dan custody?" tanya Larasati, bagian yang paling membuatnya cemas. "Abi?"
"Dengan bukti yang kita punya—affair, planning untuk manipulasi custody, penggunaan dana yang questionable—kita punya posisi yang sangat kuat untuk primary custody. Bapak Gavin akan dapat visitation rights, tentu. Tapi Abimanyu akan tinggal dengan Ibu. Itu hampir pasti."
Hampir. Kata itu menggantung. Larasati tidak mau "hampir." Dia mau certainty bahwa anaknya akan tetap dengannya.
"Saya akan fight sekuat tenaga, Bu," kata Diana, seolah membaca pikiran. "Percaya saya."
---
Tiga hari kemudian, Gavin duduk di kantornya—bukan kantor CEO lagi, tapi kantor kecil di lantai bawah yang dikasih sementara selama suspension-nya. Ruangan yang lebih kecil, tidak ada view spectacular, tidak ada prestige. Hanya meja, kursi, dan komputer untuk "complete audit work" yang board minta.
Asisten datang mengetuk—bukan Dian yang biasa, tapi staff junior yang ditugaskan untuk "assist" dia, yang basically berarti mengawasi. "Pak Gavin, ada surat untuk Bapak. Dari... dari pengadilan."
Jantung Gavin berhenti. Dia tahu apa ini sebelum membuka. Tapi knowing dan facing adalah dua hal yang berbeda.
Dengan tangan yang tidak stabil, dia buka amplop cokelat besar. Kertas resmi dengan header Pengadilan Negeri. Dan di sana, dengan huruf yang impersonal dan formal:
**GUGATAN PERCERAIAN**
**Penggugat: Larasati Kusuma**
**Tergugat: Gavin Althaf Narendra**
Mata Gavin scan dokumen dengan cepat—terlalu cepat, kata-kata blur jadi satu. Tapi beberapa frasa melompat keluar:
_"...perselingkuhan yang berlangsung lebih dari dua tahun..."_
_"...pengabaian tanggung jawab sebagai suami dan ayah..."_
_"...pernikahan yang sudah tidak bisa dipertahankan..."_
_"...menuntut hak asuh penuh atas anak..."_
Hak asuh penuh. Larasati mau ambil Abi darinya sepenuhnya.
"Tidak," bisik Gavin, suaranya pecah. "Tidak, tidak, tidak..."
Dokumen jatuh dari tangannya, tersebar di meja. Gavin jatuh ke kursi dengan wajah di tangan, napas yang tidak teratur, dada yang sesak seperti ada yang meremas jantungnya.
Ini real sekarang. Ini benar-benar terjadi. Larasati benar-benar mau cerai.
Ponselnya—dia perlu telepon Larasati. Dia perlu—
Tapi saat dia angkat ponsel, dia ingat: Larasati tidak akan jawab. Dia sudah tidak pernah jawab sejak pertemuan di kafe. Semua komunikasi sekarang through lawyer.
Dia telepon Julian sebagai gantinya. Adiknya angkat setelah tiga dering.
"Julian, aku... aku dapat surat gugatan cerai," kata Gavin, suaranya bergetar. "Larasati... dia serius. Dia benar-benar mau ninggalin aku."
Keheningan di line. Lalu: "Vin, apa kamu expect dia untuk tidak?"
"Aku... aku pikir dia akan give me chance. Aku pikir—"
"Kamu pikir apa?" suara Julian tidak marah, hanya lelah. "Kamu pikir setelah semua yang kamu lakukan, dia akan stay? Vin, wake up. Kamu selingkuh selama bertahun-tahun. Kamu planning untuk destroy dia. Kamu—"
"Aku tahu!" Gavin berteriak, lalu turunkan suaranya saat sadar staff di luar bisa dengar. "Aku tahu aku salah. Tapi Jul, dia mau ambil Abi dari aku. Dia mau hak asuh penuh. Aku tidak bisa... aku tidak bisa kehilangan anakku juga."
Julian menghela napas berat. "Lalu kamu seharusnya mikir tentang itu sebelum kamu selingkuh. Vin, aku simpati sama kamu—kamu adikku, dan aku sayang sama kamu. Tapi kamu create situasi ini. Dan sekarang kamu harus hadapi konsekuensinya."
"Tapi aku bisa berubah! Aku sudah berubah! Aku—"
"Too little, too late," kata Julian dengan final. "Dan Vin, honestly? Mungkin ini yang terbaik. Untuk Lara. Untuk Abi. Bahkan untuk kamu. Mungkin kamu perlu hit rock bottom sepenuhnya sebelum kamu bisa genuinely berubah."
Line mati. Dan Gavin duduk sendirian di kantor kecilnya, dengan surat gugatan tersebar di meja, merasa seperti dunia runtuh untuk kesekian kalinya.
---
Dua minggu berlalu dengan blur. Gavin hire lawyer—tidak sebagus Diana, tapi yang dia bisa afford dengan budget yang terbatas sekarang. Lawyer-nya—Pak Herman, pria paruh baya dengan approach yang pragmatic—bilang jujur: "Dengan bukti yang mereka punya, kita dalam posisi yang lemah, Pak. Best strategy adalah cooperate, negotiate untuk visitation yang reasonable, dan try untuk settle out of court."
"Aku tidak mau settle," kata Gavin stubborn. "Aku mau fight. Aku mau—"
"Pak Gavin," potong Pak Herman dengan firm. "Fight akan costly, akan panjang, dan kemungkinan besar kita akan kalah anyway. Ini akan drain finansial Bapak lebih jauh, akan traumatize anak, dan akan make public scandal worse. Saya strongly recommend kita try untuk mediation dulu."
Tapi Gavin tidak mau dengar. Karena accepting itu berarti accepting bahwa dia kehilangan. Dan dia tidak siap untuk itu.
---
Hari sidang pertama tiba dengan cepat—terlalu cepat untuk Gavin yang masih berharap somehow ini semua mimpi buruk yang akan berakhir. Dia datang ke pengadilan dengan Pak Herman, dressed in jas yang dia coba rapikan sebisa mungkin, wajah yang dia coba maintain untuk terlihat composed meski di dalam dia falling apart.
Ruang sidang kecil dan formal—tidak seperti TV drama dengan gallery besar dan audience. Hanya meja untuk hakim, meja untuk penggugat dan kuasa hukumnya, meja untuk tergugat dan kuasa hukumnya, dan beberapa kursi untuk witness kalau diperlukan.
Larasati sudah ada saat Gavin masuk—duduk di sebelah Diana dengan postur yang tegak, pakai blazer biru navy yang professional, rambut ditata rapi, wajah yang composed dengan makeup minimal. Dia terlihat... kuat. Berbeda dari istri yang dulu Gavin kenal yang selalu terlihat sedikit fragile, sedikit butuh protection.
Mata mereka bertemu sebentar—hanya sedetik—lalu Larasati alihkan pandang. Tidak ada emosi di wajahnya. Tidak ada acknowledge. Seperti Gavin adalah stranger.
Sesuatu di dada Gavin remuk melihat itu.
Mereka duduk di meja masing-masing, separated by aisle yang secara physical hanya beberapa meter tapi secara emotional terasa seperti canyon yang tidak bisa di-bridge lagi.
Hakim masuk—perempuan paruh baya dengan wajah yang stern tapi fair, Hakim Retno Wulandari menurut nameplate. Semua berdiri, lalu duduk kembali saat hakim bilang.
"Kasus perceraian, nomor..." Hakim membaca dengan suara yang professional dan impersonal. "Penggugat Larasati Kusuma versus Tergugat Gavin Althaf Narendra. Ini sidang pertama untuk preliminary hearing."
Hakim menatap kedua pihak. "Sebelum kita proceed dengan details, saya ingin tanya: apakah ada kemungkinan untuk rekonsiliasi? Apakah kedua belah pihak sudah consider counseling atau mediation untuk mencoba save pernikahan, especially karena ada anak yang terlibat?"
Pertanyaan yang standard, yang hakim wajib tanya. Tapi pertanyaan yang membuat jantung Gavin berdetak cepat dengan hope yang desperate.
"Ada, Pak—maksud saya, Bu Hakim," kata Gavin cepat, berdiri setengah dari kursinya. "Ada kemungkinan. Saya... saya mau coba counseling. Saya mau lakukan apapun untuk save pernikahan saya. Saya—"
"Tidak ada," potong Larasati, suaranya tenang tapi firm, tidak berdiri tapi somehow presence-nya lebih kuat dari Gavin yang desperate. "Tidak ada kemungkinan rekonsiliasi, Yang Mulia. Pernikahan ini sudah berakhir."
Kata-kata itu—delivered dengan tenang, tanpa hesitation—menghancurkan Gavin lebih dari apapun. Karena itu final. Itu tidak meninggalkan ruang untuk hope atau negotiation.
"Bu Larasati," kata Hakim, menatapnya dengan serius. "Saya appreciate kejujuran Ibu, tapi saya perlu remind bahwa perceraian adalah langkah yang irreversible. Dan dengan anak yang masih kecil, saya strongly encourage untuk at least try mediation sebelum—"
"Yang Mulia," Diana berdiri, dengan respect tapi firm. "Klien saya sudah mencoba mempertahankan pernikahan ini selama bertahun-tahun sementara suaminya melakukan affair yang berkepanjangan. Bukti yang kami punya—yang akan kami present di sidang berikutnya—menunjukkan pattern of infidelity, deception, dan bahkan planning untuk manipulasi proses custody yang sangat concerning. Ini bukan kasus di mana mediation akan productive. Ini kasus di mana klien saya perlu protection dan closure."
Hakim menatap Diana, lalu Larasati, lalu Gavin yang wajahnya semakin pucat dengan setiap kata. "Noted. Tapi sebagai court, saya tetap wajib encourage reconciliation attempt, especially untuk kepentingan anak."
Hakim berbalik ke Gavin. "Bapak Gavin, apa Bapak admit ada affair?"
Gavin menatap Pak Herman yang nod sedikit—mereka sudah discuss ini. Denying pointless karena bukti terlalu banyak.
"Ya, Yang Mulia," bisik Gavin, dan saying it out loud di court, di depan hakim dan lawyer dan—yang paling menyakitkan—di depan Larasati yang menatap lurus ke depan tanpa melihatnya, membuat shame membanjiri. "Saya... saya melakukan affair. Dan saya menyesal. Sangat menyesal."
"Penyesalan dicatat," kata Hakim dengan nada yang netral. "Tapi penyesalan tidak necessarily undo damage yang sudah terjadi."
Hakim tulis beberapa notes, lalu continue. "Karena ini preliminary hearing, saya akan schedule sidang berikutnya dalam tiga minggu. Di sidang itu, kedua pihak akan present evidence dan testimony lengkap. Sementara itu, untuk kepentingan anak—Abimanyu, umur tujuh tahun—saya putuskan temporary custody dengan Ibu Larasati, dengan supervised visitation untuk Bapak Gavin setiap weekend, empat jam, di lokasi yang disepakati kedua pihak."
Supervised visitation. Gavin merasa seperti di-slap. Dia perlu supervision untuk lihat anaknya sendiri? Seperti dia criminal?
"Yang Mulia," Pak Herman berdiri. "Kami keberatan dengan supervised visitation. Klien kami tidak pernah menunjukkan tindakan yang harmful terhadap anaknya. Tidak ada alasan untuk—"
"Ada concern tentang emotional stability klien Bapak," Diana interject, berdiri juga. "Dan dengan pattern of deceptive behavior, kami perlu ensure bahwa Abimanyu protected secara emotional selama proses yang traumatic ini."
"Keberatan ditolak," kata Hakim. "Supervised visitation adalah standard dalam kasus dengan high-conflict divorce. Ini untuk kepentingan anak, bukan punishment untuk parent. Bapak Gavin akan dapat unsupervised visitation kalau tidak ada issue dalam periode ini."
Gavin jatuh kembali ke kursi, feeling defeated sepenuhnya.
"Ada pertanyaan lain sebelum kita adjourn?" tanya Hakim.
Tidak ada yang bicara.
"Baik. Sidang berikutnya dijadwalkan tanggal..." Hakim sebutkan tanggal tiga minggu dari sekarang. "Kedua pihak silakan prepare evidence dan witness. Dan saya remind lagi—untuk kepentingan anak, saya encourage strongly untuk consider mediation atau settlement out of court. Anak tidak perlu witness parents mereka fighting di courtroom."
Palu diketuk. Sidang berakhir.
Orang-orang mulai berdiri. Diana berbisik sesuatu ke Larasati yang nod. Mereka pack dokumen dengan efficient.
Gavin berdiri juga, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagian dari dia ingin approach Larasati, ingin bicara, ingin—
Tapi Larasati berjalan keluar tanpa menatapnya sekali pun. Diana follow, dengan folder dokumen dan postur yang confident. Mereka keluar dari ruang sidang seperti mereka sudah menang—yang maybe mereka memang sudah, even sebelum process ini dimulai.
Gavin berdiri di sana, di ruang sidang yang sekarang kosong kecuali dia dan Pak Herman, merasa lebih sendirian dari yang pernah dia rasakan dalam hidupnya.
"Pak Gavin," kata Pak Herman, tangan di bahunya dengan awkward attempt at comfort. "Saya tahu ini berat. Tapi ini baru tahap awal. Kita masih bisa negotiate untuk settlement yang lebih favorable di—"
"Favorable?" Gavin tertawa—suara yang tidak ada humor. "Apa yang favorable? Aku sudah kehilangan istriku. Aku separuh kehilangan anakku. Aku kehilangan pekerjaanku. Namaku hancur di media. Apa yang bisa lebih favorable dari ini?"
Pak Herman tidak punya jawaban.
Dan Gavin berjalan keluar dari pengadilan dengan perasaan bahwa dia baru saja attend funeral—bukan funeral untuk orang lain, tapi funeral untuk kehidupannya sendiri yang slowly dying, piece by piece, consequence by consequence.
Di parkiran, dia duduk di mobilnya, menatap steering wheel, dan bertanya-tanya:
Bagaimana semuanya sampai di sini?
Bagaimana pria yang dulu punya segalanya berakhir dengan tidak ada apa-apa?
Dan pertanyaan yang paling menghantui:
Apakah masih ada jalan kembali? Atau apakah dia sudah terlalu jauh, sudah terlalu banyak damage, sudah terlalu terlambat?
Tapi saat dia ingat wajah Larasati di courtroom—composed, strong, decided—dia tahu jawabannya:
Terlambat.
Terlalu terlambat.
Dan realisasi itu—final, irreversible—membuat sesuatu di dalam dirinya akhirnya break completely.
---
**Bersambung