seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
serangan di malam hari
Setelah malam semakin larut dan data penting sudah berada di tangan Merlin, mereka berdua berpisah di café dengan hati-hati. Reno menyimpan kekhawatiran, apalagi setelah melihat isi flashdisk yang ia serahkan tadi.
Saat ia hendak pulang, Reno sempat menawarkan bantuan:
Reno:
"Buk, biar aku anterin. Gak aman kalau sendiri malam-malam begini."
Merlin (tegas):
"Tidak perlu, Ren. Semakin sedikit orang tahu keberadaanku, semakin baik. Aku aman di sini. Fokus kamu sekarang: lindungi backup data dan cari cara sebarin ke media."
Reno mengangguk berat hati. Mereka berpisah tanpa pelukan, tanpa salaman, hanya tatapan penuh pengertian antar pejuang kebenaran.
Jam menunjukkan 00:13 saat Merlin sampai di tempat persembunyiannya. Ia merebahkan tubuh ke kasur kos yang sempit, namun pikirannya terus bekerja. Tangannya memegang ponsel.
Merlin (bergumam):
"Kenapa mata ini belum juga bisa tidur... Apa aku pesan makanan aja ya?"
Ia membuka aplikasi pemesanan makanan. Sementara itu, di belahan kota yang lain, kehidupan terus berjalan tanpa tahu ada badai besar yang akan datang.
---
Rendi, pengemudi ojek online, sedang membawa penumpang yang tujuannya kebetulan melewati Toko Elektronik Mega Jaya—tempat yang pernah jadi TKP penggerebekan kasus judi online.
HP nya berdering ada notifikasi orderan masuk
Penumpang (sambil tertawa kecil):
"Wah, orderan masuk terus nih bang. Gacor!"
Rendi (tersenyum):
"Iya nih, rezeki anak soleh."
"Cewek apa cowok sih bang malam begini masih pesan makanan" sahut penumpang itu. " kayak cewek cantik seksi idaman lelaki, ini pasti buk Merlin langganan pak jaka, sering kasih tip gede sih orang baik dia" sahut Rendi dengan nada girang. " ooo buk Merlin polwan cantik itu yang bang" gumam penumpang itu dengan nada memastikan.
Namun belum sempat mereka sampai di tujuan, motor Rendi tiba-tiba tersendat dan mogok tepat di depan toko itu.
Rendi:
"Waduh, celaka... Motor gue kenapa ini?"
Penumpang:
"Kenapa bang? Kok berhenti?"
Rendi (coba men-starter motor):
"Gak bisa jalan. Gak tau kenapa... Padahal tadi siang udah bener."
Penumpang itu melihat sekeliling. Jalanan mulai sepi, tapi ada bayangan beberapa orang berdiri di lorong samping toko, membuat suasana sedikit mencekam.
Penumpang (sambil celingukan):
"Gimana kalau abang bawa motor abang ke bengkel aja? Kebetulan..motorku terparkir di pojok toko itu dan saya bekas ojol juga bang. Bisa bantu ambil pesanan dan anterin sekalian."
Rendi menatap wajah pria itu. Ada sesuatu yang mencurigakan—entah dari cara bicaranya yang terlalu santai, atau dari jaket hitam lusuh yang seperti terlalu familiar... seperti jaket yang dipakai beberapa orang yang nongkrong di depan toko waktu itu.
Rendi (dalam hati):
"Ini orang beneran mau bantu... atau lagi nyari celah?"
" ngak usah bang, aku telpon rekan satu tim aja. Ngak enak repotin abang" Rendi agak ragu dan mulai menelpon dika. Tetapi berkali kali Rendi menelpon dika tidak mengangkat. " waduh jangan Jangan lagi antar orderan nih mas dika" gerutu Rendi. Sambil penepuk pundak Rendi si penumpang itu menawarkan kembali untuk mengambil dan mengantar pesanan itu. Tiba tiba dika pun menelpon Rendi" ada apa ren, kamu dimana" Rendi " motor ku rusak mas, malah aku dapat orderan lagi untung aja abang ini sampai ke alamat. Dika" waduh aku di perempatan tol nih lagi bawa penumpang paling 1 jam lagi baru sampai kesana ". Penumpang " bang aku juga ada aplikasi ojol, abang tinggal bilang aja emailnya lalu abang vermuk terus aku login di aplikasi ku dari pada orderan nya batal kan kasihan abang ngk gacor lagi akunnya." iya juga sih gumam Rendi" oke bang bantu ya jangan kecewakan buk Merlin kalau benar ini orderan dia" dengan perasaan agak senang.
Rendi membawa motor nya ke bengkel kebetulan masih buka pada malam ini.
Si penumpang itu memperhatikan secara seksama alamat lokasi yang akan di antar.
Penumpang itu melaju motor nya dengan cepat mengambil pesanan di resto dan bersiap mengantarkan pesanan.
Pukul menunjukkan 00:35 saat dering notifikasi aplikasi makanan berbunyi.
Merlin segera turun ke gerbang untuk menerima pesanannya. Di sana berdiri seorang pria muda dengan jaket ojol, membawa kantong plastik berisi makanan.
Namun ada yang membuat alis Merlin mengernyit. Motor yang diparkir di depan tidak sesuai dengan yang tertera di aplikasi. Begitu juga wajah sang pengantar.
Merlin (curiga):
"Kamu bukan yang di aplikasi ya? Dan itu... motor beda juga."
Si pengantar tetap tenang, bahkan tersenyum.
Pengantar:
"Oh iya Buk, maaf. Teman saya motornya mogok pas jalan ke sini. Dia titipin ke saya. Cuma gantiin sementara. Jadi saya yang antar."
Merlin tak langsung percaya, tapi ia juga tahu terlalu banyak bertanya bisa memancing kecurigaan balik.
Merlin:
"Pakai OVO ya."
Pengantar:
"Siap Buk. Makasih banyak, selamat malam."
Ia pergi dengan cepat, kembali ke arah bengkel tempat ia bertemu Rendi, si tukang ojek yang motornya sebelumnya mogok.
---
Di bengkel pinggir jalan yang gelap, Rendi masih jongkok di bawah motor, tangannya berminyak hitam. Saat pengantar itu datang, ia menyeka tangan dengan lap kain.
Pengantar:
"Gimana Bang, apanya yang rusak?"
Rendi (kaget melihatnya sudah kembali):
"Wah, cepet banget Bang! Ya cuma sekringnya aja yang putus. Mungkin udah lama gak diganti."
Pengantar itu tertawa kecil, lalu merogoh sakunya dan menyodorkan selembar uang.
Pengantar:
"Ini Bang, buat jajan. Nggak usah nolak."
Rendi:
"Waduh jangan Bang, saya ikhlas bantu."
Pengantar:
"Anggap aja kita pernah satu aspal. Saling bantu sesama. Kebetulan rezeki saya lagi lancar."
Senyumnya ramah, lalu ia menepuk bahu Rendi sebelum melangkah masuk ke dalam Toko Elektronik Mega Jaya—yang konon sudah lama tutup.
Rendi sempat menatap ke arah pintu toko yang gelap itu. Tapi ia mengabaikan, mengira pria itu sekadar kenalan atau pekerja yang sedang mampir.
Begitu motor Rendi hidup kembali, ia bersiap pergi.
Rendi (bergumam sambil menatap uang di tangannya):
"Wah... dia kasih 200 ribu... Alhamdulillah."
Ia tak tahu, bahwa pria yang barusan ia bantu... bukan sekadar pengantar makanan, melainkan bagian dari permainan besar yang akan menyeret semuanya ke dalam arus konspirasi berdarah.
Frenki, pria berjaket abu gelap dengan helm hitam full-face, berdiri di pinggir jalan sambil menatap ponselnya. Di layar, ia membuka aplikasi ojek yang sudah dimodifikasi. Nama pengantar masih tertulis atas nama Rendi, tapi ia sendiri yang tadi mengantarkan makanan ke rumah kos Merlin.
Frenki mengetik cepat sebuah pesan ke grup rahasia mereka.
> “Target sudah pasti. Lokasi kos Kapten Merlin dikonfirmasi. Siap eksekusi malam ini sesuai perintah bos Chen.”
Beberapa detik kemudian, balasan masuk.
> “Laksanakan. Pastikan dia tidak bisa bicara lagi. Hanya dia satu-satunya yang masih ngejar kasus ini. Chen tak mau ambil risiko.”
---
Sementara itu, di rumah kos yang sunyi, Merlin baru saja merapikan piring bekas makan malamnya. Ia membuka lemari kecil, menggerutu pelan.
Merlin (bergumam): "Waduh… kopi habis. Nggak enak rokok tanpa kopi, apalagi malam begini."
Ia mengambil jaket tipis, menyelipkan beberapa lembar uang ke saku, dan melangkah keluar menuju warung kecil di lorong belakang—lorong sempit yang gelap dan jarang dilewati orang malam-malam.
Warung itu hanya diterangi lampu kuning temaram. Seorang ibu tua menyambutnya dengan senyum ramah.
Penjual: "Malam, Mbak. Mau kopi lagi ya?"
Merlin tersenyum lelah. Merlin: "Seperti biasa, Bu. Kopi sachet dua, sama gula."
Setelah membayar, Merlin segera berjalan pulang, menyusuri lorong sempit yang basah oleh gerimis kecil. Tapi di sudut gelap, sebuah mobil hitam mendekat tanpa suara.
Berhenti mendadak. Pintu belakang terbuka.
Dua pria bertubuh besar keluar, dengan cepat menyeret Merlin sebelum sempat berteriak. Ia sempat melawan, namun satu pukulan keras ke belakang leher membuat tubuhnya lemas.
Brak!
Merlin diseret dan dilempar ke dalam mobil, yang langsung melaju kencang meninggalkan lorong sepi itu.
Kepalanya terasa berat. Bau alkohol menyengat menusuk hidungnya. Merlin membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur. Cahaya redup menembus dari jendela kecil di atap gudang tua yang reyot itu. Tangan dan kakinya belum terikat, tapi tubuhnya lemas.
Ia meraba saku jaket. Ponselnya masih ada.
Dengan jari gemetar, Merlin membuka aplikasi ojek online. Ia berpura-pura memesan tumpangan—satu-satunya harapan kecil yang bisa ia pegang. Ia berharap, jika seseorang datang, mungkin saja ada keajaiban.
Namun langkah kakinya terdengar. Frenki masuk bersama dua pria bertubuh kekar.
Frenki menyipitkan mata, curiga.
“Hei! Kau ngapain, hah?!”
Salah satu anak buahnya langsung merebut ponsel dari tangan Merlin. Frenki memerintahkan:
“Ikat dia. Jangan kasih ruang buat gerak.”
Merlin mencoba melawan, tapi tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya. Dua pria itu menarik tangannya ke belakang dan mengikat dengan tali plastik tebal.
Frenki menatap sinis, lalu mengangkat ponsel yang direbut dari tangan Merlin. Tiba-tiba, ponsel itu berdering.
Anak buahnya menjawab dengan santai, “Maaf bang, pesanan ojolnya dibatalin ya. Gak jadi.” Lalu dia tertawa kecil dan menekan tombol cancel. "Rupanya memang benar firasat dia bukan ojol " gumam Merlin dalam hati
---
Di tempat lain, Dika, seorang driver ojek online, menatap layar ponselnya dengan bingung.
“Lah? Udah gue jalanin, kok malah dibatalin? Aneh…”
Ia menoleh ke arah jalan, merasa ada yang janggal. Tapi tak lama, ia menggeleng karena masih kesal dia putar balik ke lokasi gudang itu dan mematikan aplikasi ojol nya. dia bergumam yang order perempuan tetapi yang membatalkan laki laki, dia melihat lagi chat yang masih ada di aplikasi " saya kapten Merlin bantu saya" dia mulai kaget dan langsung tancap gas ke gudang itu.
---
Kembali ke dalam gudang…
Frenki mendekati Merlin, wajahnya penuh ancaman.
“Sekarang, kau gak akan bisa hubungi siapa pun, Kapten. Ini malam terakhirmu. Kau sudah terlalu jauh korek-korek urusan bos kami.”
Merlin menatap tajam, meski dalam posisi terikat. “Kalau aku mati, data-dataku tidak ikut mati. Akan ada yang teruskan. Dan kalian akan jatuh.”
Frenki tertawa dingin. “Itu yang akan kita pastikan tidak terjadi "
Telepon Frenki berdering nyaring. Di layar tertulis: Chen.
Ia berjalan menjauh, mengangkatnya dengan cepat.
“Ya, bos?”
Suara dingin dari seberang telepon menjawab, “Sudah dapat file-nya? Kalau belum, geledah dia. Kalau sudah—habisi. Bakar dia. Jangan sisakan bukti.”
Frenki mengangguk pelan, meski tak bisa dilihat dari seberang.
"Siap, bos."
Ia kembali ke dalam dan memberi perintah tegas kepada dua anak buahnya.
“Geledah dia. File itu harus ada padanya. Setelah itu... bakar hidup-hidup.”
Kedua pria itu langsung bergerak cepat. Mereka merogoh kantong celana Merlin yang terikat, dan benar saja—sebuah flashdisk kecil tergenggam di tangan kanan Merlin yang lemah.
"Ketemu, Bang!" teriak salah satu dari mereka.
“Bagus... Sekarang akhiri ini,” perintah Frenki dengan nada dingin.
Salah satu dari mereka membuka jerigen, lalu mengguyurkan bensin ke tubuh Merlin. Cairan dingin menyebar cepat, menusuk kulitnya, memicu rasa panik yang luar biasa.
"Maafkan kami, Buk Polwan... Tapi ini perintah," gumam salah satu pria itu, nyaris seperti menyesal.
Namun sebelum korek dinyalakan...
Brrrmmm...!
Suara motor berputar-putar di sekitar gudang. Lampu depan motor menyilaukan celah jendela. Merlin mengenal suara itu. Reno!
"Aaaargh! RENO!! TOLONG!!" teriak Merlin sekuat tenaga. Dia yakin itu reno karena sebelumnya dia telah mengaktifkan tombol darurat di ponselnya sinyal lokasi terkirim kepada reno.
BRAAAK!!
Jendela kayu di samping gudang mendadak hancur. Seseorang melompat masuk—berjaket hijau, memakai masker penutup wajah, dengan gerakan secepat kilat.
Duar! Duar!
Dua serangan cepat menghantam kedua anak buah Frenki. Yang satu pingsan seketika, satunya lagi ambruk dan tak sadarkan diri. Frenki yang baru hendak masuk, tertegun melihat ke dalam gudang—terlambat.
Pria yang bermasker itu tak berkata sepatah kata pun. Dengan gerakan cepat dan terlatih, ia menggendong tubuh Merlin yang basah oleh bensin dan masih setengah sadar. Ia melompat ke atas sepeda motornya—sebuah motor vario hitam dan dalam sekejap, suara raungan mesin membelah malam.
Motor itu melaju kencang menembus gelapnya lorong sempit dan tikungan kota, menghilang dari pandangan siapa pun yang mencoba mengikutinya.
Di balik punggungnya, Merlin berusaha tetap sadar. Dalam detak jantung yang masih kacau, ia tahu… ia baru saja diselamatkan dari kematian.