Setelah tau jika dia bukan putri kandung Varen Andreas, Lea Amara tidak merasa kecewa maupun sedih. Akan tetapi sebaliknya, dia justru bahagia karena dengan begitu tidak ada penghalang untuk dia bisa memilikinya lebih dari sekedar seorang ayah.
Perasaannya mungkin dianggap tak wajar karena mencintai sosok pria yang telah merawatnya dari bayi, dan membesarkan nya dengan segenap kasih sayang. Tapi itu lah kenyataan yang tak bisa dielak. Dia mencintainya tanpa syarat, tanpa mengenal usia, waktu, maupun statusnya sebagai seorang anak.
Mampukah Lea menaklukan hati Varen Andreas yang membeku dan menolak keras cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MCD 4
'Please, please, please.........jatuh, kepleset, ketabrak atau apapun itu jenisnya aku rela asal selalu dipeluk sama Daddy. Oh dad, i love you so much...."
Hati Lea bersorak riang di dalam sana. Bibirnya tak henti tersenyum memandangi rahang tegas dan ditumbuhi oleh jambang yang telah dicukur cukup rapih.
Lelaki itu tak terlihat brewokan lagi. Entah kapan dia mencukur jambang lebatnya. Kini wajahnya tampak lebih segar, bersih, putih dan terlihat lebih muda tentunya. Lea semakin betah memandangi wajah tampan pria dewasa itu.
Selanjutnya, Lea mencium dada Varen tapi tak sampai menyentuh. Mendadak mood nya ikut naik imbas menghirup aroma khas tubuh lelaki itu. Aroma yang sangat disukainya yang selalu bikin candu dan membuatnya mabuk kepayang.
Lea lupa diri karena aroma khas lelaki itu. Dia bersandar dengan begitu nyamannya di sana. Detak jantungnya bagaikan alunan merdu yang mengiringinya hingga terpejam. Tapi begitu Varen menurunkan tubuhnya, dia kembali ke alam sadar.
Setelah Lea diturunkan di jok mobil dengan posisi kedua kaki menjuntai ke tanah, Varen segera menggulung celana Lea hingga pa ha tanpa ijin. Terdapat luka di lutut Lea. Lukanya tak besar tapi cukup perih jika tersiram air.
Lea tak keberatan. Justru, dia dengan senang hati membiarkan Varen melakukan nya. Dengan begitu, lelaki itu akan melihatnya sendiri betapa mulus fisiknya tanpa dia tunjukan. Siapa tau setelah Varen melihat pa ha mulus yang selama ini ditutupi rapih, dia akan tergoda dan mau menerima cintanya pikir Lea.
Varen tertegun, tapi hal itu tak berlangsung lama. Diturunkan nya celana Lea yang sudah di atas lutut itu. Tapi, Lea secepat kilat menahan tangan Varen sebelum celananya kembali ke bawah.
"Kenapa, dad?"
"Kita ke rumah sakit saja," ujar Varen.
Lea menangkap ekspresi aneh lelaki itu. Sepertinya dia salah tingkah. Sikap yang tak biasa ditunjukan oleh seorang Varen Andreas yang datar dan kaku. Apa Daddy nya tergoda tapi gengsi? Ck, dasar. Lea tersenyum penuh percaya diri.
"Benarkan duduk mu. Kita pergi sekarang."
Permintaan Varen di gelengkan Lea dengan gerakan dan suara yang terdengar merengek manja." No, Daddy. Aku ingin di obati di sini saja sama Daddy."
Varen diam sejenak, lalu menghembuskan nafas besar tanpa memberi komentar apa apa. Dia berdiri, mencondongkan tubuhnya ke dalam mobil untuk mengambil sesuatu di dalam dasboard.
Karena pintu mobil terhalang Lea, Lea memiringkan tubuhnya agar Varen bisa masuk. Tapi meski duduk dengan posisi miring, dia masih bisa menghirup aroma khas lelaki itu.
Varen kembali berjongkok setelah mendapatkan apa yang dia cari. Menggulung celana Lea ke atas. Dengan telaten, dia membubuhkan cairan antiseptik agar luka Lea tak mengalami infeksi.
Lea senyam senyum memandangi wajah serius Varen. Bulir bening tiba-tiba muncul dari dahi lelaki itu. Padahal, mereka sedang berada di tempat yang cukup dingin. Cuaca pun berubah mendung. Tapi kenapa Varen berkeringat seperti habis marathon.
Jemari lentik Lea tak tahan rasanya jika tak menyentuh. Di lap nya bulir keringat itu dengan penuh kelembutan hingga si pemilik kening menyadari dan mendongak. Lea tersenyum manis sekali. Dia berkata," aku hanya mengelap keringat Daddy saja kok. No more."
Varen tak menanggapi, dan Lea kembali berkata," tapi Daddy kok keringatan? padahal cuacanya sedang tidak panas."
Varen langsung menghindari kontak mata dengan Lea." Ehem. Sudah tidak sakit, kan?"
"Tidak." Lea menjawabnya diikuti senyuman gemas. Varen terlihat malu-malu.
Varen menurunkan celana Lea setelah selesai mengobati. Katanya," kita ke rumah sakit. Kaki mu harus diperiksa khawatir terjadi luka dalam yang serius."
"Dad, aku hanya terjatuh karena lari, bukan jatuh dari ketinggian beberapa meter." Lea menolak ajakan Varen secara tak langsung. Dia hanya ingin pulang dan bermanja-manja pada lelaki itu.
"Jangan membantah, Lea. Daddy tidak suka. Kita pergi sekarang."
Lea terdiam, kemudian membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan dengan wajah cemberut.
Memang dari Lea kecil hingga tumbuh dewasa, Varen amat sangat protektif terhadap masalah kesehatan untuk putri angkatnya itu.
Tak peduli meski lukanya hanya luka kecil yang tak perlu penangan dokter sebenarnya. Lelaki itu selalu ingin memastikan jika keadaan fisik Lea baik-baik saja.
Dalam diam, dia cemas memikirkan kondisi kaki Lea. Tapi begitu dokter mengatakan jika kaki Lea tak mengalami cedera serius dan tak perlu dirawat, Varen baru lah bisa bernafas lega.
"Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Kaki ku baik-baik saja. Daddy sih yang terlalu over khawatir." Varen hanya melirik sekilas saat Lea menggerutu dan menyalahkan nya. Terserah anak kecil itu, yang penting dia sudah memastikan jika kaki nya baik-baik saja.
Tatapan Varen fokus ke depan pada jalanan yang mereka lintasi. Tapi pikiran nya kembali mengingat kejadian tadi.
"Kamu belum menjawab pertanyaan Daddy. Kenapa tadi bisa ada di tempat kumuh dan di kejar sama preman?"
Lea tersentak mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Karena dia pikir Varen sudah lupa. Otaknya mendadak kosong, tak tau harus beralasan apa karena tak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya.
"Kenapa diam, hem?" cecar Varen.
"Da-daddy sendiri kenapa bisa ada di situ?"
Lelaki itu menelan ludahnya kasar. Mendadak tenggorokan nya tak lagi elastis, sehingga dia kesulitan menelan ludahnya sendiri.
Anak ini pintar sekali membalikkan pertanyaan yang seharusnya dijawab olehnya malah dibalik menjadi pertanyaan yang harus dia jawab.
Haruskah dia menjawab jika sebenarnya dia membuntutinya? Oh, tidak. Anak ini pasti akan besar kepala. Varen mengusap wajahnya gusar.
"Kenapa Daddy diam, hem?" Gantian Lea yang kini mencecar Varen.
Ekor mata Varen melirik pada Lea sekilas dan menghela nafas." Kamu dulu yang jawab nanti baru Daddy," katanya memberi syarat.
Lea melihat ke atas. Jari telunjuknya di ketuk-ketuk pada pipi bagian kanan seperti sedang berpikir.
"Emm.... Tadi aku mencari temanku. Aku pikir dia lewat arah kanan ternyata aku salah."
"Benarkah?" Varen tersenyum miring karena dia tau Lea sedang berbohong.
Tadi saat Varen ada janji dengan seorang klien, dia melihat Lea keluar dari restauran dan dikejar oleh tiga orang gadis. Karena itu, dia mengecoh ketiga gadis itu agar tak mengejar Lea. Tapi begitu dia ingin menghampiri Lea, anak itu menghilang entah kemana dan saat mendapatinya lagi, Lea sedang di kejar oleh dua orang preman.
"Sepertinya kamu harus belajar bela diri, Lea. Agar kamu bisa melindungi diri kamu sendiri ketika Daddy tidak sedang bersama mu," usul Varen. Tiba-tiba, dia memiliki pemikiran seperti itu setelah melihat kejadian tadi. Beruntung, dia bergerak cepat tadi. Jika tidak entah bagaimana nasib putrinya itu.