Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Bikin Pangsit
Waktu melihat kakaknya membelikannya alat tulis lengkap—pena, tinta, kertas, dan batu tinta—Mu Xiao senangnya bukan main. Dia langsung buka kertas dan minta diajari kakaknya cara menggosok tinta dan menulis. Tapi ini bikin Mu Yao bingung juga. Di kehidupan sebelumnya, dia sama sekali nggak suka kaligrafi, bahkan nggak bisa ngolah tinta. Aslinya sih, si pemilik tubuh ini juga nggak bisa!
Untung ada Ibu Liu yang teliti. Dia cepat tanggap melihat anak perempuannya bingung, jadi langsung ambil batu tinta dan ajarin dua anaknya cara ngolah tinta. Setelah tintanya siap, Mu Yao mulai ngajarin adiknya menulis. Dulu dia udah pernah ngajarin Xiao beberapa huruf, dan kalau nulis di tanah sih masih oke. Tapi begitu pegang kuas, kok rasanya berat banget, ya? Dia coba nulis di kertas, tapi lebih cocok disebut “menggambar” daripada “menulis.” Garis horizontalnya miring, yang vertikal juga nggak tegak.
Baru nulis satu huruf, Mu Yao udah capeknya kayak habis perang! Sampai keringetan segala.
Mu Xiao yang lihat hasil tulisan kakaknya langsung komen, “Kak, kok hurufnya kayak lukisan, ya?”
Mu Yao langsung malu. Aduh, diketawain adik sendiri!
Ibu Liu langsung menegur, “Kakakmu nggak pernah sekolah, tapi masih bisa ngajarin kamu baca tulis, itu udah bagus banget. Jangan sembarangan ngomong, ya.”
Mu Xiao yang lihat ibunya mulai serius langsung diam, nggak berani protes lagi.
Akhirnya, Ibu Liu dapat ide. Dia suruh Mu Yao nulis di tanah seperti biasa, lalu Mu Xiao tinggal menjiplaknya di atas kertas. Sejak saat itu, rumah keluarga Mu punya pemandangan unik: biasanya guru duduk di depan dan murid menulis di bawah. Tapi di rumah ini kebalik—murid duduk manis di bangku, guru jongkok nulis di tanah. Dan gaya belajar unik ini bertahan sampai... Nangong Ling muncul.
Soal Mu Xiao dan latihan menulis, kita lewati dulu.
Setiap kali Mu Yao ada waktu senggang, dia selalu mikir pengen masak yang enak-enak. Kali ini dia kepikiran bikin pangsit isi daging dan daun kucai—favoritnya dulu di kehidupan sebelumnya.
Cuma masalahnya, di zaman ini orang juga makan pangsit sih, tapi isinya sayur semua dan biasanya dimakan bareng kuah. Rasanya juga hambar, kurang bumbu. Bentuk dan namanya pun beda-beda tergantung daerah. Ada yang model bulan sabit, biasa disebut “bulan sabit wonton,” itu biasanya ada di keluarga bangsawan atau pejabat. Warga biasa biasanya bikin yang bentuknya panjang dengan ujung lancip, namanya “jiaozi.” Mu Yao pernah coba waktu ke kota, rasanya ya... biasa aja kalau dibandingkan dengan wonton jaman sekarang.
Mu Yao minta ibunya ngulen adonan, sementara dia sendiri motong daging—yang sebagian berlemak, sebagian tanpa lemak—untuk dijadiin isian pangsit.
Kalau soal bertarung, Mu Yao jago. Masak juga cukup oke. Tapi... motong daging buat isian? Waduh!
Ibunya udah selesai ngulenin adonan sejak tadi, daging di tangan Mu Yao baru setengah kepotong!
Dia jadi ngomel dalam hati. Di kehidupan sebelumnya, dia ahli main pisau, bahkan jago pakai belati. Masa sekarang pegang pisau gede dikit aja tangannya gempor? Dagingnya juga nggak mau kerja sama, ngelipir ke kiri ke kanan, susah banget dipotong! Dia sampai hampir nebas jarinya sendiri karena kesel.
Kalau daging bisa ngomong, mungkin dia akan bilang:
“Aku dulunya bebas di gunung, kamu bawa aku ke sini buat dicacah? Emangnya aku udah mati? Aku juga punya harga diri, tahu!”
Ibu Liu lihat anaknya lagi-lagi keringetan—hari ini udah dua kali—langsung kasihan. Dia ambil alih pisaunya dan tanya cara motongnya gimana. Mu Yao jelasin singkat, dan ibunya langsung ngerti maksudnya. Nggak butuh waktu lama, isian daging udah kelar. Dia juga motong dua buah lobak besar, sesuai arahan Mu Yao.
Awalnya sih Mu Yao pengen pakai daun kucai, tapi jangankan itu, daun seledri atau tomat aja susah banget dicari di zaman ini. Sayuran di masa ini memang minim banget pilihannya.
Setelah semua bahan siap, Ibu Liu campur daging, lobak, dan bumbu-bumbu. Pas diaduk, aromanya langsung semerbak! Mu Yao dalam hati mikir, "Kalau ibuku hidup di zaman modern, pasti udah jadi koki di hotel bintang lima!"
Sementara dia sadar, urusan masak begini dia emang nggak punya bakat. “Udah deh, nanti aku aja yang cari duit. Urusan dapur serahin ke yang ahli. Nggak bisa semua bidang mau dikuasai juga, kan?”
Sementara itu, si bocah kecil tukang makan, Mu Xiao, hari ini fokus banget nulis sampai nggak sadar aroma enak dari dapur.
Justru ayah mereka, Mu Cheng, yang hidungnya tajam. Dia nyusul ke dapur, lihat sepanci besar isian daging, langsung senyam-senyum. “Anakku pasti lagi eksperimen makanan enak lagi. Hari ini aku bisa pesta mulut nih.”
Waktu dengar Mu Yao bilang mereka mau bikin pangsit isi daging, dia kaget.
“Lho, bukannya pangsit biasanya isi sayur? Ini daging mentah bisa dimakan?”
Belum sempat Muk Yao jawab, Ibu Liu langsung melotot ke suaminya, “Kamu tuh ya, tiap anakmu masak, kamu makan paling banyak. Masih sempat nanya bisa dimakan apa nggak? Kalau gitu, hari ini nggak usah makan!”
Muk Cheng langsung tutup mulut. Seketika jadi jinak kayak domba.
Dalam hati: “Aduh, istriku juga makan banyak tiap anak masak. Baru juga salah ngomong sekali, langsung dilarang makan. Sedih banget, deh.”
Mu Yao yang lihat cara orang tuanya berinteraksi cuma bisa senyum. Dia tahu, ayahnya bukan takut sama ibunya, tapi karena cinta. Ayahnya nggak pernah berdebat, selalu ngalah. Sementara ibunya, meski suka ngomel, tetap perhatian.
Mu Yao meyakinkan ayahnya, “Bentar lagi kita bungkus pangsitnya. Pangsit isi daging jauh lebih enak daripada yang cuma sayur!”
Pas proses bungkus-membungkus dimulai, yang nggak ikut cuma Mu Xiao yang masih serius belajar. Tiga orang lainnya turun tangan. Alasnya dari kayu willow yang baru ditebang di gunung. Dulu dipakai buat bikin mi buatan tangan, soalnya zaman ini belum ada mi kering, semua harus bikin sendiri. Penggiling adonan dari kayu jujube, kuat dan awet. Barang-barang di desa memang kebanyakan bikin sendiri, jarang beli ke kota. Hasilnya mungkin kasar, tapi tetap bisa dipakai.
Ibu Liu motong adonan kecil-kecil, Mu Yao giling jadi kulit pangsit. Lalu mereka bertiga bareng-bareng bungkus. Muk Yao bikin model bulan sabit, ibunya bentuk panjang dengan ujung runcing. Sementara buatan ayahnya... yah, susah dijelasin bentuknya. Tapi masih bisa kelihatan isinya apa, kok.
Sebenarnya bukan karena Mu Cheng laki-laki jadi nggak bisa bungkus, tapi lebih ke pengalaman. Di zaman ini, pangsit daging cuma muncul pas Tahun Baru. Wajar kalau dia nggak terbiasa.
Padahal dulu, waktu tubuhnya masih sehat, Mu Cheng jago banget bikin keranjang dari ranting willow, sampai yang paling besar buat gendong barang juga bisa. Barang buatan dia laris di kota. Tapi karena bahan willow berat, orang kemudian beralih ke keranjang bambu yang lebih ringan.
Setelah semua pangsit selesai dibungkus, Mu Yao bilang ke ibunya untuk direbus pakai air bersih. Ibu Liu sempat heran, “Rebus air biasa gitu doang, bisa enak?” Tapi dia nggak protes, anaknya bilang apa, dia nurut aja.
Begitu matang, Mu Yao angkat pangsitnya pakai saringan, tiriskan sebentar, baru disajikan ke mangkuk. Dia manggil keluarganya buat makan. Ibu Liu melirik kuah di panci, terus lihat pangsit di mangkuk, “Yao Yao, ini udah bisa dimakan?”
“Iya, Bu, udah siap!” jawabnya sambil senyum.
Di zaman ini sebenarnya ada bawang putih, tapi kecap itu barang mewah, di kota kecil pun susah cari. Kalau ada, Mu Yao pengen banget bikin saus bawang putih kayak di masa lalu.
Meski nggak pakai saus, rasa pangsitnya ternyata luar biasa. Mu Yao sendiri merasa ini pangsit terenak yang pernah dia makan.
Mu Cheng dan Ibu Liu masing-masing ambil semangkuk kuah sisa rebusan, tapi karena sibuk makan, mereka malah lupa ngelanjutin minumnya. Mu Xiao yang akhirnya ikut makan juga lahap banget. Sebentar aja, satu mangkuk pangsit langsung habis.
Ternyata pangsit bisa seenak ini?
Itu pikiran semua anggota keluarga Mu hari itu.
Nggak cuma enak, ternyata praktis juga. Bahkan setelah itu, Mu Yao minta ibunya simpan sisa pangsit dalam keadaan beku di luar rumah. Kalau mau makan lagi, tinggal direbus. Sejak saat itu, kalau pagi-pagi keluarga Mu buru-buru, tinggal masak pangsit, super hemat waktu!
Warga desa pun mulai ikutan bikin pangsit isi daging. Bahkan mereka juga belajar nyetok pangsit beku. Belakangan, Mu Yao juga bikin pangsit kukus beberapa kali, dan langsung jadi favorit di desa. Resepnya pun jadi terkenal.