"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Duak!
"Gawat! Apa yang terjadi?" Lingga menatap ke arah pintu besi yang tertutup tiba-tiba di belakangnya. Ia berjalan kembali ke arah pintu, mencoba membukanya namun pintu itu tak bergerak sedikitpun. "Cih! Sepertinya aku kejebak di ruangan ini! Hah... lalu, apa yang harus aku lakukan setelah ini?" gumamnya seraya menghela nafas berat lalu berbalik badan.
Namun, saat Lingga berjalan ke arah tengah ruangan itu, tiba-tiba tekanan udara berubah. Seperti saat ia berada di lorong dan anak tangga. Aura pekat yang terasa mengintimidasi. Tubuhnya terasa berat tiba-tiba dan Lingga mulai mulai karena efek tersebut.
"Urgh... sebenarnya ruangan apa ini?" gumamnya lirih.
Lingga sedikit berlutut tak kuasa menahan tekanan udara yang semakin pekat. Kepalanya mulai berat dan terasa pusing. Ia memicingkan matanya sembari memandang ke sekeliling ruangan kosong itu. Tak nampak apa-apa awalnya, hanya dinding batu dingin yang tak tertata. Namun, tiba-tiba muncul beberapa sosok transparan dari balik dinding. Sosok- sosok itu terlihat mirip roh yang semakin lama semakin banyak, dan melayang tak tentu arah di penjuru ruangan.
"Graaahh! Sakit! Bangsat!"
"T-tolong a-aku, Kak!"
"Pergilah, pemuda! Sebelum terlambat!"
"Argh! Ratu bajingan!"
"Anak muda, pergilah. Ratu itu sudah menipumu!"
"Kadita bajingan! Tak hanya kita saja yang jadi korban, ia juga membawa manusia lain ke sini!"
"Dasar Ratu Iblis!"
"S-selamatkan aku!"
"Jangan sampai tertipu seperti kami!"
"Jangan biarkan dirimu dijebak oleh Ratu itu!"
Lingga merasakan kepalanya semakin pusing karena ruangan itu terdengar bising. Bayangan-bayangan itu berputar dan saling meracau tak jelas. Tapi, beberapa kalimat yang mereka ucapkan terdengar seperti mengutuk dan mengumpat kepada Ratu Kadita, wanita cantik yang mengatar ia sampai di sini.
"Keugh...! K-kalian siapa? A-apa kalian hantu?!" sergah Lingga berusaha bangkit menahan rasa sakit di kepalanya.
Tiba-tiba seluruh roh yang ada di ruangan itu lenyap seiring teriakan yang memekakkan telinga. Lingga tertunduk sembari menutup kedua telinganya, ia merintih. "Argh! Telingaku!"
Namun, tekanan udara yang berat tadi kini sudah sirna seolah tak terjadi apa-apa. Lingga pun kembali bangkit dan sudah tak merasa sakit kepala lagi. Ia pun menatap ke sekeliling dan ruangan itu kembali kosong.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka mengutuk Ratu Kadita? Apa mereka roh atau jiwa dari orang-orang yang—"
Wush!
Belum sempat Lingga meneruskan kata-katanya, sebuah angin kencang disertai kilauan cahaya berwarna keunguan muncul tepat di hadapannya. "Urgh!" pekik Lingga berusaha menutupi matanya.
Saat ia membuka mata, nampak sesosok gadis cantik melayang beberapa sentimeter di atas permukaan lantai. Gadis itu nampak memakai gaun hitam panjang dengan ornamen berwarna ungu gelap yang menghiasi di beberapa bagian. Rambutnya hitam panjang tergerai dan berkibar walaupun tak ada angin yang berhembus.
Yang lebih mengejutkan lagi, gadis berkulit pucat itu memiliki sepasang tanduk yang mencuat di atas kepalanya. Gadis bermata hitam pekat itu memancarkan energi yang cukup besar dengan aura berwana keunguan yang menyelubungi tubuhnya.
"Astaga! S-siapa kamu?!" teriak Lingga begitu terkejut. Ia mundur beberapa langkah dengan sikap siaga tapi terlihat tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan. "K-kamu jin ya? A-atau... iblis?"
Gadis cantik misterius itu tersenyum lalu menyahut. "Aku bukan jin maupun iblis seperti yang kau katakan, manusia. Meskipun wujudku hampir menyerupai, namun aku bukan dari keduanya."
"Lalu, siapa kamu sebenarnya? Kenapa tiba-tiba muncul di depanku?" tanya Lingga berusaha memberanikan diri karena rasa penasaran yang cukup besar.
Gadis itu menyentuh dadanya sendiri lalu menatap Lingga dengan tajam. "Aku adalah entitas yang biasa disebut dewa oleh beberapa kaum. Hmm, mungkin hampir... mirip."
"Dewa? Jangan bercanda!" sergah Lingga dengan lantang seolah tak mau percaya dengan apa yang ia dengar.
"Hah! Aku maklumi dirimu yang tak percaya kepadaku, Lingga. Namun, tujuanku muncul di depanmu adalah untuk memberi tahu sebuah kenyataan dan juga memberikan hal yang mampu mengatasinya."
"Apa maksudnya? Aku tak mengerti. K-kamu juga tahu namaku?" gumam Lingga seraya mencoba berpikir keras. "Tapi, setidaknya sebelum ngomong, perkenalkan dirimu dulu!"
Entitas misterius itu seketika tertawa melihat ekspresi Lingga. "Hahah! Maafkan aku. Karena begitu tertarik denganmu, aku jadi lupa memperkenalkan siapa diriku yang sebenarnya. Namaku adalah Bethari Syaidra. Aku yang bertanggung jawab atas kematian dan juga jiwa dari seluruh makhluk hidup di dunia ini."
Deg!
Seketika jantung Lingga berdegup kencang setelah mendengar pengakuan dari sosok bernama Bethari Syaidra itu. Ia sebenarnya tak ingin percaya dengan hal seperti ini. Namun, mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini, sungguh sulit dicerna dengan akal sehat. Sehingga mau tak mau ia harus percaya jika semua yang ia alami ini adalah nyata.
"K-kematian? Jiwa? J-jadi, k-kamu dewa kematian?" tanya Lingga dengan suara bergetar. Matanya tak mampu fokus menatap Betharj Syaidra, seolah ia tak mampu mengatasi ketakutan di dalam benaknya saat ini.
"Haha! Jangan menyebutku dengan panggilan sejahat itu, Lingga. Yah... tapi, tak ada salahnya juga. Yang jelas, begitulah tugasku di dunia ini."
Melihat Bethari Syaidra tertawa, sedikit membuat Lingga tak begitu ketakutan lagi. Meskipun tak dipungkiri ia masih waspada. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya lagi kepada sosok tersebut. "M-maaf, kembali ke topik utama... apa yang menjadi tujuanmu mendatangiku?"
Syaidra mengangguk lalu tersenyum tipis. "Ah, benar... pertama, asal kamu tahu, Lingga. Wanita bernama Kadita itu tak sebaik yang kamu lihat. Ia penuh tipu muslihat dan tipu daya. Kecantikannya banyak memakan korban baik dari manusia maupun makhluk yang berasal dari dunia ini."
"Maaf, bisa diperjelas, Bethari? Tipu muslihat bagaimana maksudnya?" tanya Lingga dengan rasa penasaran yang menjadi-jadi.
Bethari Syaidra menyipitkan kedua matanya sembari memainkan ujung rambutnya. "Apakah tadi kamu mendengar ratapan para jiwa yang berada di tempat ini?"
Lingga mengangguk paham lalu menyahut. "Ah, suara-suara menyeramkan itu ya... iya, Bethari, aku mendengar suara mereka. Seolah, mereka sedang mengutuk si Kadita. Ada aura kebencian yang cukup kental terasa dari jiwa mereka," sahutnya. Namun, tiba-tiba Lingga membelalakkan mata seolah mulai paham apa maksud dari perkataan Syaidra. "A-apa mungkin—"
Syaidra mengangguk dengan wajah serius. "Benar seperti apa yang kamu pikirkan, Lingga. Ia telah memanggil banyak manusia dari dunia lain sebelumnya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Tapi, tak ada satupun yang memenuhi kriterianya sebagai orang yang ditugaskan untuk menjalankan tujuannya. Kebanyakan dari mereka hanya mendapat sedikit kekuatan atau bahkan tak mendapatkan kekuatan sama sekali di ruangan ini. Sehingga, Kadita kecewa dan membinasakan mereka dengan cara yang cukup licik."
Lingga membelalak terkejut. "J-jadi, jiwa-jiwa itu merupakan korban dari Kadita?"
"Benar, Lingga!"
Lingga kembali berusaha tegar. Lalu, ia mengangkat tangan kanannya seolah menginterupsi. "Sebentar, Bethari. Kenapa kamu diam saja saat mereka dibinasakan? Apa kamu tak memberi mereka kekuatan? Setidaknya agar bisa menyelamatkan diri mereka sendiri."
"Pertanyaan bagus," sahut Bethari Syaidra kagum. Lalu, ia terbang mendekat ke arah Lingga seraya menyahut. "Pertama, ruangan ini sudah ada sebelum istana ini dibangun, jadi karakteristik ruangan ini cukup misterius dan aku sebagai Bethari pun tak mengetahui siapa yang membangun tempat ini. Kedua, karena hal itu, sosok entitas yang muncul di tempat ini cukup acak. Mungkin kemunculan suatu entitas di tempat ini dipengaruhi oleh situasi terakhir dari manusia yang dipanggil oleh si Kadita. Dan... asal kamu tahu, aku baru pertama ini muncul di ruangan ini karena ada sesuatu yang menarik di dirimu. Mungkin, tentang situasi terakhirmu yang membawaku ke tempat ini."
Lingga tersenyum seraya mengelus dagunya. Kedua alisnya terangkat dengan kebanggaan. "Menarik? Apa aku tampan menurutmu?"
"Dengarkan aku dulu, Lingga!" potongnya dengan wajah sedikit kesal. "Ketiga, sebagai Bethari, aku tak mempunyai kuasa mencampuri urusan makhluk yang ada di dunia ini. Seperti yang aku jelaskan, karena aku mengurusi kematian dan juga jiwa orang mati, sudah sewajarnya aku senang jika ada makhluk hidup yang mati. Jadi, aku tak mungkin menghalangi kematian."
"Jahat sekali Anda, Bethari," sindir Lingga seraya menyipitkan kedua matanya.
Bethari Syaidra mengangkat telapak tangan mengisyaratkan Lingga untuk diam. "Dan yang terakhir, entitas atau dewa yang muncul tak selalu memiliki kuasa atau kekuatan yang besar. Tak jarang yang muncul hanya sosok makhluk lemah yang mengaku sebagai dewa. Yah, kenyataan itu cukup membuatku geli. Mengingat seorang manusia memohon kekuatan kepada makhluk yang ternyata lemah. Lingga... apa jawabanku bisa memuaskanmu?" tanyanya dengan senyum yang lebih mirip seringai, cukup untuk membuat Lingga bergidik.
"Aku masih belum paham dengan maksud dari 'situasi terakhir' yang kamu bilang barusan, Bethari..."
Bethari Syaidra melirik ke atas lalu mengetuk-ngetuk dagunya mencoba berpikir. "Hmm... mungkin begini, Lingga. Misal manusia itu keadaannya miskin saat dipanggil, mungkin entitas yang muncul akan membantunya hidup lebih baik di dunia ini dengan memberikannya kekayaan. Terus... bisa juga jika manusia yang dipanggil adalah orang yang berkaitan dengan susah jodoh atau tak kunjung mendapat pasangan di dunia sebelumnya. Di dunia ini mungkin ia mendapatkan kekuatan untuk mendapatkan banyak lawan jenis yang menyukainya secara tiba-tiba. Menurutku seperti itu..."
"Aku datang dengan keadaan tewas dibegal. Berarti..." Lingga tertegun sejenak, mencoba mencerna penjelasan dari Bethari Syaidra. Namun, tiba-tiba ekspresinya berubah, seolah diliputi rasa ketakutan yang entah muncul dari mana. "Astaga! A-aku sebentar lagi a-akan... dibunuh!"
***