Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 - Tentang Perasaan
Di pinggir pantai, Jenar duduk di atas pasir sembari mengarahkan pandangannya pada seorang lelaki yang tengah melakukan aktifitas surfing di tengah ombak sana. Sesuai janji yang mereka buat kemarin malam, hari ini keduanya kembali bertemu di pantai. Jenar sejak tadi tidak mengalihkan tatapannya dari pria itu.
Jenar beberapa kali terpesona melihat tubuh shirtless Gena yang benar-benar sexy dan hot itu. Celana pendek yang ia pakai basah terkena air. Badan berototnya tenggelam bersama ombak, kemudian muncul lagi ke permukaan dengan rambut yang basah terkena air pantai. Its so fucking sexy! Jenar menggigit bibir melihat pemandangan menggiurkan itu.
Lain dengan Gena, Jenar ke pantai sengaja memakai bikini yang mempertontonkan tubuh idealnya. Bikini itu sangat cocok di tubuh Jenar yang putih dan ramping. Membuat beberapa pasang mata yang berada di sekitar area pantai itu memerhatikannya. Kacamata hitam yang bertengger di kepalanya membuat tampilan Jenar terlihat sempurna. Benar-benar seperti potret bule yang sedang menikmati wisata di pinggir pantai.
Dari bibir pantai dapat Jenar lihat Gena berenang ke tepian. Jenar melambaikan tangan ke arah pria itu. Memperbaiki posisi duduknya, Jenar menyambut Gena yang kini sudah sampai di daratan dan berlarian ke arahnya.
“Gimana? Seru?” tanya Jenar antusias.
Gena baru saja ingin menjawab, namun perhatiannya teralihkan dengan tubuh molek Jenar yang terpampang sempurna. Gena meneguk salivanya susah payah. Jenar benar-benar sexy dan elegan. Kalau saja disuruh memandangi tubuh wanita itu 24 jam, mungkin Gena akan menyanggupinya. Akan tetapi, saat Gena sadar tempat ini adalah tempat terbuka, lelaki itu pun bercelingak-celinguk kiri kanan.
Dan benar saja. Ada beberapa pria bule yang memandangi Jenar. Dan itu membuat Gena tidak nyaman.
“Kamu ngapain pakai baju begitu ke sini?” kata Gena dengan nada sedikit marah.
“Eh?” Jenar melirik ke bagian tubuhnya. “Memangnya kenapa? Orang ke pantai kan emang pakai bikini. Masa pakai gamis, sih?”
Gena mendecakkan lidah. Ia berjongkok untuk membuat posisi tubuhnya dan Jenar sejajar. Mendekatkan bibirnya ke kuping perempuan itu, Gena berbisik. “Kamu sadar, nggak, dari tadi jadi pusat perhatian, hm?”
Pipi Jenar memerah mendengarnya. Sontak ia melirik kiri kanan, dan malu sendiri saat mengetahui orang-orang memandanginya. “Ah, aku nggak tau sampai begitu. Tapi kan—“
“Ssttt!” Gena menutup bibir Jenar dengan telunjuknya, yang mana hal itu membuat Jenar terdiam. Tatapan mereka bertemu di udara dalam jarak yang cukup dekat.
“Kamu ini nakal banget, ya? Sengaja pakai begini buat godain orang-orang, hm?”
“Ih, bukan! Aku kepengen pakai aja karena ini pas di badan aku!” Jenar cemberut.
Gena melirik kain pantai yang dilepas Jenar dan dijadikan alas duduknya itu. Ia suruh Jenar berdiri, lantas ia ambil kain tersebut, kemudian ia balutkan ke tubuh Jenar. Hal itu membuat tubuh Jenar menegang. Debar di dadanya kembali muncul karena perlakuan pria itu.
“Aku nggak mau badanmu dilihat orang-orang. Ngerti ya?” bisik Gena tepat di telinga Jenar, dan setelah itu barulah pria itu menjauhkan wajahnya.
Pipi Jenar merah seperti tomat rebus. Bibirnya pun berkedut-kedut hendak tersenyum, tapi malu.
Ah, Gena posesif, dan Jenar menyukai itu semua. Entah sejak kapan....
****
“Aku nggak mau badanmu dilihat orang-orang. Ngerti, ya? Hahahah! Aduhhh! Gue baper, Beb. Bener-bener deh tuh cowok. Paling bisa bikin gue melted!”
Siang hari, di kamar, Jenar bertelfonan dengan Hana. Gadis itu menceritakan tentang Gena pada sahabatnya itu. Konyol memang. Move on dari kakak sahabatnya sendiri, dan kini ia menemukan pria baru yang ia ceritakan pada sahabatnya itu.
Fyi, setelah bermain surfing, Gena pamit pada Jenar. Katanya ada acara penting. Jenar tidak mau bertanya lebih lanjut karena itu privasi Gena. Lagi pula, mereka tidak ada hubungan apa-apa sampai Gena harus memberitahu semua kegiatannya.
“Jadi, dalam proses move on lo, lo ketemu cowok tampan, dan cowok itu bisa bikin lo klepek-klepek. Gitu maksudnya ‘kan?” sahut Hana dari seberang.
Jenar memainkan rambutnya sembari menatap langit-langit kamar. Ia menghentak-hentakkan kaki sebagai bentuk euforianya. “Bisa dibilang gitu, sih. Sumpah, dia tuh ganteng banget. Mana baik lagi. Gimana gue nggak terpesona?”
Terdengar embusan napas Hana dari seberang sana. “Beb, maaf nih. Gue bukannya nggak dukung lo. Tapi lo tuh gila tau nggak. Lo baru aja move on sama kakak gue. Hitungan hari, lho. Belum minggu bahkan bulanan. Dan lo secepat itu berpaling?!”
Jenar mengangkat bahunya. Ia berkata dengan enteng, “lah, mana gue tau. Perasaan nggak bisa diatur kali datangnya kapan.”
“Gue takutnya tuh cowok cuma jadi pengisi kekosongan hati lo. Alias pelampiasan. Lo mikir ke sana, nggak, sih? Ya sekarang anggap lah lo di sana sendiri. Jadi pas ketemu dia ya wajar lo ngerasa tertarik. Tanpa lo sadar sebenarnya si Mas itu hanya jadi pengisi waktu lo selama lo di sana. Nggak lebih. Terus pas lo pulang ke sini, lo udah lupa sama dia. Karena pertemuan kalian ya cuma sebatas itu. Hanya saling mengisi kekosongan.”
“Lagian agak aneh kalau lo segampang itu jatuh cinta sama cowok lain. Yang lo galauin sampai lo minggat ini kakak gue. Cinta pertama lo yang dari dulu lo pepetin. Mustahil lo lupain Mas Hanif gitu aja hanya karena cowok yang baru tiga hari lo kenal. Coba deh lo pikir ulang,” katanya melanjutkan.
Detik itu juga Jenar terdiam. Ia menimang baik-baik semua yang Hana katakan.
“Pesan gue cuma satu. Jangan sampai tuh cowok cuma jadi pelarian lo. Kasihan ntar dianya udah berharap, dan lo ke dia cuma buat have fun aja.”
Mengembuskan napas dalam, Jenar menjawab. “Iya, iya. Gue mikir ke sana juga kok.”
Sementara di sisi lain .....
Kafe pinggir pantai, tempat yang Gena jadikan lokasi pertemuannya dengan Fadlan—sahabat yang mengkhianatinya perkara urusan kedai kopi. Di sinilah mereka berada saat ini. Sejujurnya, sejak semalam Fadlan terus menghubunginya. Awalnya Gena hampir memblokir nomor lelaki itu. Namun saat mengingat nasehat yang diberikan Jenar, akhirnya Gena memberikan kesempatan pada Fadlan untuk bertemu hari ini.
Maka Fadlan pun jauh-jauh menyusul Gena ke sini dengan niatan meminta maaf dan menjelaskan semuanya.
“Gue tau gue salah sama lo. Gue udah kecewain lo soal kepercayaan. Tapi gue nggak bermaksud nipu lo, Ge. Lo salah paham sama gue. Gue sama sekali nggak niat ngasih lo biji kopi beda dari biji kopi biasanya. Gue juga ditipu sama mereka. Ini salah gue karena gue pengen cari agen yang lebih murah. Dan ternyata lo kena imbasnya. Gue benar-benar menyesal,” kata Fadlan tulus.
“Ya semua udah terjadi.” Gena membalas dengan suara dingin. “Pelanggan gue banyak yang pergi gara-gara rasa kopinya berubah. Padahal lo tau sepenting apa kualitas biji kopi itu buat gue.”
“Maafin gue, Gen,” sesal Fadlan. “Gue harap lo mau percaya lagi sama gue. Gue janji nggak akan bohong lagi sama lo. Kemarin gue bohong karena takut lo marah. Nyatanya lo malah tau dari orang lain. Sumpah, gue nyesal. Apalagi kita nyaris baku hantam kemarin itu. Sekali lagi maafin gue.”
Gena teringat nasehat yang diberikan oleh Jenar semalam padanya. Setelah dipikir-pikir, pertemanannya dengan Fadlan jauh lebih lama sebelum kedai kopi itu berdiri. Lagi pula, melarikan diri ke sini ia dapat apa selain suntuk dan resah? Alhasil Gena mempertimbangkan saran yang diberikan Jenar untuk berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan Fadlan juga.
“Ya, Fad. Kali ini gue maafin lo,” ujar Gena. Ia berusaha menerima dengan lapang dada kerugian yang diakibatkan oleh Fadlan. “Tapi gue nggak suka dibohongin. Tolong lain kali jangan gini lagi. Kepercayaan itu mahal harganya.”
Mendengar ucapan Gena membuat Fadlan senang. Ia ambil tangan Gena untuk mengucapkan banyak terima kasih. “Makasih banyak Gen. Makasih. Gue janji akan tebus kesalahan gue dengan kerja yang lebih baik lagi dari ini. Makasih, Gen....”
Gena mengangguk, napasnya terhela lega. Ternyata benar. Berdamai dengan keadaan jauh membuat perasaan tenang.
Seketika Gena teringat sosok gadis itu. 3 hari bersama membuat Gena penasaran dengan Jenar. Otaknya tidak bisa berhenti memikirkan perempuan itu. Gena pun bingung dengan perasaannya sendiri. Jadi, mumpung di sini ada Fadlan, Gena tergerak menceritakan tentang perempuan itu pada sahabatnya.
“Gue juga ada yang mau diceritan sama lo.”
Gena membuka pembicaraan, hingga membuat Fadlan menegakkan posisi duduknya dan menatap Gena serius.
“Cerita apa?”
“Sebenarnya ... gue ketemu sama perempuan di sini. Dan gue rasa ... gue suka sama dia.”
“Hah?!”
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇