Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kitab Pusaka Delapan Mata Dewa
Setelah sebulan berlatih bersama guru tahunya, Shan-Tand menjalani harinya dengan penuh semangat. Tubuhnya semakin kuat, dan berkat kerja kerasnya membantu orang tua, taraf hidup keluarganya mulai meningkat. Ikan hasil tangkapan bapaknya makin laris, pesanan bertambah, dan Shan-Tand yang jadi kurirnya selalu sigap mengantarkan pesanan ke pelanggan.
Namun suatu pagi, saat Shan-Tand tengah bersiap berangkat ke pasar, terdengar suara dari dalam labu tuak di pinggangnya.
"Shan-Tand, sudah saatnya kau pergi ke kota. Aku ingin tahu keadaan dunia persilatan sekarang."
Shan-Tand tertegun. "Ke kota? Ngapain, Guru?"
"Sebagai pendekar masa depan, kau harus tahu siapa yang sedang berkuasa, siapa yang harus diwaspadai. Lagi pula, kota adalah tempat informasi mengalir. Kau akan belajar banyak hal di sana."
Shan-Tand merenung sejenak, lalu mengangguk mantap. "Baiklah! Aku akan pergi, Guru! Tapi... aku nggak punya bekal."
"Ambil saja ikan dari bapakmu, bilang saja buat dagangan di kota."
Maka berangkatlah Shan-Tand dengan sekeranjang ikan segar, berjalan menuju kota terdekat.
*****
Shan-Tand berjalan menuju Kota Raja dengan penuh semangat. Perjalanan itu memakan waktu lumayan lama, dan saat matahari mulai condong ke atas kepala, perutnya mulai bergejolak minta diisi.
"Guru, aku lapar."
"Cari warung yang agak besar. Biasanya, di sana banyak orang penting dan informasi beredar luas," ujar Bhaskara dari dalam labu tuak.
Mengikuti saran gurunya, Shan-Tand memasuki sebuah warung besar di pinggir jalan utama. Meja-meja kayu dipenuhi pelanggan, dari saudagar kaya hingga para pendekar berbaju lusuh. Bau harum makanan menggoda hidungnya, dan tanpa pikir panjang, dia duduk lalu memesan sepiring nasi dengan lauk yang paling murah.
Sambil menikmati makanan, telinganya mulai menangkap obrolan dari meja sebelah. Bhaskara pun menyimak dari dalam labu tuaknya.
"Hei, kau dengar kabar terbaru? Kitab Pusaka Delapan Mata Dewa hilang!"
"Apa?! Bukannya itu dulu milik Sang Dewa Pedang Delapan Mata Angin?"
"Benar! Dia dulu pendekar nomor satu, tapi kejamnya bukan main. Musuhnya di mana-mana. Kitab itu berisi ilmu pedang yang bisa membuat seseorang tak terkalahkan. Makanya, sejak kitab itu hilang, para pendekar dan datuk golongan hitam kini berlomba-lomba mencarinya."
Shan-Tand menelan ludah. Kitab yang bisa membuat seseorang tak terkalahkan?!
Dari dalam labu, Bhaskara mendengus. "Banyak yang mencari kitab itu, tapi aku yakin tak sembarang orang bisa menguasainya. Biasanya, ilmu sehebat itu ada harga yang harus dibayar."
Shan-Tand masih asyik mengunyah makanannya ketika tiba-tiba suasana warung mendadak sunyi. Pintu kayu berderit saat seorang pria berbaju hitam masuk dengan langkah mantap. Tatapan matanya tajam menyapu seluruh ruangan, membuat para pelanggan yang tadinya ramai berbincang langsung diam.
Pria itu berjalan perlahan ke tengah warung, lalu berkata dengan suara berat, "Aku tak peduli siapa kalian, tapi mulai sekarang... jangan banyak bicara soal Kitab Pusaka Delapan Mata Dewa!"
Shan-Tand berhenti mengunyah. Suasana begitu tegang hingga terdengar jelas suara sendok jatuh ke lantai di meja lain.
Seorang lelaki tua yang duduk dekat pintu berdehem pelan, lalu berkata hati-hati, "Tapi, tuan... bukankah semua orang memang ingin tahu tentang kitab itu?"
Mata pria berbaju hitam itu menyipit. "Orang-orang yang terlalu ingin tahu biasanya tak akan panjang umur."
Seketika, hawa di warung menjadi semakin berat. Beberapa pelanggan buru-buru membayar makanan mereka lalu pergi, tak ingin terlibat lebih jauh.
Dari dalam labu tuak, Bhaskara bergumam, "Menarik. Sepertinya kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang kitab itu. Kalau banyak orang takut membahasnya, berarti memang ada sesuatu yang besar di baliknya."
Shan-Tand menelan ludah. "Guru... aku cuma ingin makan enak, bukan ikut urusan berat seperti ini."
Bhaskara tertawa kecil. "Muridku, dunia persilatan tak bisa dihindari hanya dengan menutup mata. Kau sudah melangkah ke jalan ini, jadi bersiaplah."
Shan-Tand hanya bisa menghela napas panjang. Sepertinya, perjalanannya ke Kota Raja akan jauh lebih seru dari yang ia bayangkan...
Namun keributan itu tak berlangsung lama ketika rombongan pasukan kerajaan masuk ke warung dan memesan makanan. Rombongan ini terdiri dari pasukan khusus yang terkenal kehebatannya. Semua orang tunduk, dan Shan-Tand pun segera membayar makanannya. Saat ia hendak membungkus sisa nasi, ia mencoba melipat kertas seadanya dengan cara yang berantakan.
Melihat hal itu, ibu penjual merasa kasihan dan tersenyum simpul. "Nak, biar Ibu saja yang membungkusnya," katanya sambil mengambil sobekan kertas yang sebelumnya digunakan anaknya untuk bermain. Dengan cekatan, ia membungkus nasi Shan-Tand dengan rapi agar tidak banyak yang terbuang. Tak hanya itu, ia juga menambahkan sepotong ayam goreng sebagai bonus.
Shan-Tand merasa berterima kasih sekaligus malu. "Terima kasih, Ibu... Saya jadi merepotkan," ujarnya sambil menggaruk kepala.
Ibu penjual hanya terkekeh. "Tak apa, Nak. Hati-hati di jalan."
"Nak, apa yang kau bawa itu?" tanya ibu penjual dengan nada penasaran.
Shan-Tand tersenyum, "Ini ikan hasil tangkapan bapakku. Segar dan besar, loh."
Mata ibu penjual berbinar. "Coba kulihat."
Shan-Tand membuka buntalan ikan itu, memperlihatkan hasil tangkapan ayahnya yang masih segar dengan sisik mengilap. Ibu penjual langsung tertarik.
"Wah! Bagus sekali kualitasnya! Berapa harganya?"
Shan-Tand menyebutkan harGa seperti biasa, tetapi ibu penjual justru menggeleng.
"Tidak, anak muda. Ikan sebagus ini harus dihargai lebih tinggi. Aku akan memborong semuanya dengan harga lebih mahal dari biasanya. Dan kalau bisa, setiap dua hari sekali, bawakan aku ikan seperti ini. Aku butuh pasokan ikan segar untuk warungku."
Shan-Tand terkejut, tapi juga sangat senang. Ia tidak menyangka kedatangannya ke Kota Raja bukan hanya membawa informasi, tapi juga rezeki bagi keluarganya.
Sambil berjalan pulang dengan perasaan riang, ia berpikir dalam hati, "Guru benar... Dunia ini penuh peluang bagi yang mau melihatnya."
Dari dalam labu tuak, Bhaskara terkekeh. "Tentu saja aku benar, muridku. Dan ini baru permulaan."
Shan-Tand mengangguk kecil. Ia merasa langkahnya semakin mantap dalam perjalanan ini. Dunia persilatan mungkin penuh bahaya, tapi juga penuh peluang bagi mereka yang siap menghadapinya.
*****
Hari sudah menjelang malam ketika Shan-Tand sampai di rumahnya.
Tak sabar dia ingin menceritakan tentang pengalamannya di Kota raja, termasuk bagaimana semua ikan dagangannya laris diborong Ibu penjual warung disana!
Shan-Tand tak lupa menyerahkan uang hasil dagangan ikan dan berkata bahwa dua hari lagi si Ibu penjual warung minta dikirimi ikan seperti yang tadi dibawanya, dan disanggupi oleh Bapaknya dengan senang hati.
Malam itu Shan-Tand makan di kamarnya.
Setelah selesai makan, Shan-Tand iseng membaca kertas bungkus nasinya. Mata bocah itu membulat saat melihat tulisan-tulisan aneh di kertas pembungkus tersebut. Ia mencoba mengeja, namun huruf-huruf itu berbeda dari yang diajarkan oleh Empu Gandrung, guru di desa yang suka mengajari anak-anak membaca.
“Ah… kenapa aku masih bodoh dalam membaca tulisan seperti ini…” keluh Shan-Tand.
Rasa penasaran menguasainya, dan tanpa berpikir panjang, ia langsung bertanya kepada Gurunya. “Guru, kau bisa membaca tulisan ini?”
Bhaskara, si tahu sakti, tampak bersemangat. “Letakkan aku di atas piring! Biar aku lihat lebih jelas!”
Shan-Tand menurut. Begitu kertas sobekan itu didekatkan, tahu itu seolah berpikir dalam-dalam, lalu tiba-tiba—
Hop!
Bhaskara melompat salto di atas piring. “GILA!!!” teriaknya.
Shan-Tand terperanjat. “Apanya yang gila, Guru? Jangan-jangan ini cuma daftar harga makanan di warung tadi?”
Bhaskara menatapnya tajam. “Bocah bodoh! Ini bukan sekadar tulisan biasa! Ini huruf Jawa Kuno… dan aku yakin… ini adalah salah satu catatan ilmu tinggi!”
Shan-Tand berkedip bingung. “Ilmu tinggi? Maksud Guru…?”
Bhaskara mengangguk penuh semangat. “Aku hampir yakin… ini adalah sobekan dari Kitab Pusaka Delapan Mata Dewa!!”
Shan-Tand ternganga. Ia menatap kertas minyak itu dengan mata membelalak. “Jadi… maksud Guru… kita tanpa sengaja menemukan bagian dari kitab yang sedang dicari para datuk dunia persilatan?”
Bhaskara tertawa puas. “Benar! Ini namanya berjodoh, muridku! Wahaha!”
Shan-Tand masih belum percaya. Ia memandangi kertas itu dengan perasaan campur aduk. “Tapi… ini cuma satu sobekan. Sisanya…?”
Bhaskara menatap Shan-Tand dengan tatapan serius. “Sisanya pasti masih tersebar entah di mana! Tapi ini… ini adalah petunjuk besar, Shan-Tand! Bayangkan, kita bahkan belum mencarinya, tapi kitab itu seolah datang sendiri padamu!”
Shan-Tand mengelus dagunya. “Tapi aku tetap tidak bisa membacanya… Guru, kalau memang ini huruf Jawa Kuno, bisakah Guru mengajariku?”
Bhaskara mendengus bangga. “Tentu! Kau memang murid yang cerdas! Mulai sekarang, pelajaran kita bertambah! Selain kanuragan dan kultivasi tahu, kau juga akan belajar membaca aksara kuno!”
Shan-Tand menelan ludah. Sepertinya hari-harinya akan semakin sibuk… tapi juga semakin menarik!
*****