Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Orang Suruhan
Arsen menyuruh adiknya untuk duduk kembali ke tempat semula, dengan suara pelan tapi tegas. Tatapannya tajam menyapu ruangan, memperhatikan wajah-wajah cemas yang tampak lesu dan murung. Dia tahu betul, suasana hati orang-orang di sini sedang kacau. Kabar tentang Eva yang belum sadarkan diri setelah insiden itu telah mengguncang semua orang, apalagi Julia yang terlihat hampir menangis sejak tadi. Arsen sendiri sebenarnya diliputi kegelisahan, tapi dia berusaha untuk tetap tenang demi orang-orang di sekitarnya.
Ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan masuk dengan nama yang sangat dia kenal. Dengan cepat, dia menjauh sedikit dari kerumunan dan mengangkat telepon tersebut tanpa ragu.
Julia menatap sang kakak, dia hanya mengamati saja. Dia tahu, jika sang kakak bukanlah seorang CEO semata.
"Bagaimana?" tanya Arsen singkat, langsung to the point, tanpa basa-basi.
Seseorang di seberang sana menjawab dengan nada serius, nyaris berbisik. "Kami sudah mengetahui siapa pelaku yang menyebabkan insiden ini, Tuan. Dan orang itu sekarang sedang bersama kami, di ruang rahasia seperti yang telah direncanakan."
Arsen terdiam sejenak, wajahnya menegang namun tetap tanpa ekspresi. "Saya akan segera ke sana," jawabnya dengan dingin, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Dia memutar tubuh, lalu menatap sahabatnya, Richard, dengan sorot mata penuh makna. "Richard, gue akan pergi ke suatu tempat. Lo bisa kan tinggal di sini dan jaga adik gue serta Eva?"
Richard yang dari tadi duduk di kursi tunggu langsung menegakkan badan. Tanpa banyak tanya, dia mengangguk cepat. "Lo tenang aja, gue akan jaga mereka. Fokus aja sama apa yang harus lo selesaikan."
"Oke. Gue pergi dulu." Arsen mengangguk singkat, suaranya datar, tapi nadanya tegas dan penuh determinasi.
Dia lalu melangkah ke arah Julia, adiknya, yang duduk sambil memeluk lutut dan menunduk. Arsen menyentuh pundaknya dengan lembut, membuat Julia menoleh pelan.
"Julia, kakak pergi sebentar ya. Ada urusan yang sangat penting," ucapnya pelan namun mantap, berusaha memberi ketenangan meski pikirannya penuh dengan rencana dan kekhawatiran.
Julia menatap kakaknya dengan mata yang masih berkaca-kaca, lalu mengangguk kecil. "Kakak hati-hati di jalan yaa," ucapnya lembut, mencoba tersenyum meski jelas terlihat ia menahan tangis.
Arsen tersenyum tipis, lalu mengusap kepala adiknya sebentar. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan area rumah sakit, membiarkan langkahnya dipandu oleh tekad untuk menyelesaikan masalah yang sudah terlalu lama tertunda.
***
Langit malam di luar rumah sakit tampak muram, mendung menggantung seolah ikut merasakan beban di benak Arsen. Angin malam meniup pelan, membawa hawa dingin yang menyusup sampai ke tulang. Arsen berjalan cepat menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu masuk. Dengan satu gerakan tegas, dia membuka pintu dan masuk ke dalam.
Begitu mesin dinyalakan, mobil melaju membelah jalanan kota yang mulai sepi. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar. Siapa sebenarnya orang yang sudah membuat Eva terbaring tak sadarkan diri? Apa motifnya? Dan yang paling penting, kenapa semuanya terasa seperti telah direncanakan sejak awal?
Setibanya di sebuah gedung tua yang terlihat tak terurus dari luar, Arsen memarkirkan mobil di area belakang. Bangunan itu sudah lama menjadi tempat rahasia bagi kelompoknya—tempat mereka menyimpan informasi penting, menyembunyikan orang-orang berbahaya, dan menyelesaikan masalah di luar hukum.
Seorang pria berbadan tegap, mengenakan jas hitam dan earpiece di telinga, sudah menunggu di depan pintu samping.
"Selamat datang, Tuan Arsen. Mereka sudah menunggu di dalam," ucap pria itu sambil membuka pintu.
Arsen hanya mengangguk, lalu melangkah masuk. Koridor panjang dengan pencahayaan temaram menyambutnya. Bunyi langkah kakinya menggema, menciptakan suasana yang semakin tegang. Setelah melewati beberapa pintu, dia akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang pintunya dijaga dua orang bersenjata.
Salah satu dari mereka membukakan pintu, dan Arsen masuk.
Di dalam, ruangan itu tampak seperti ruang interogasi rahasia. Cuma ada satu meja, dua kursi, dan sebuah lampu gantung yang menggantung rendah di tengah ruangan. Duduk di kursi seberang meja adalah seorang laki-laki sebaya Arsen, tangan terikat ke belakang, wajahnya lebam dan kusam.
"Dia yang melakukannya," kata seseorang dari sudut ruangan. Arsen mengenal suara itu—John, salah satu orang kepercayaannya.
Arsen mendekat perlahan, lalu berdiri tepat di depan laki-laki yang duduk itu. Tatapannya menusuk, tak berkata sepatah pun. Laki-laki yang diinterogasi itu gelisah, matanya melirik ke sana-sini, seolah mencari celah untuk lari, tapi tak ada jalan keluar.
Arsen akhirnya bicara, suaranya pelan tapi tajam. "Kamu yang mencelakai Eva?"
Laki-laki itu menggigit bibirnya, tak menjawab. Arsen membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya. "Saya tidak akan ulang dua kali."
Terdesak oleh tekanan suasana, laki-laki itu akhirnya menggeleng panik. "Saya... Saya cuma disuruh! Saya nggak tahu Eva bakal sampai begitu! Saya cuma... Saya cuma ngikut perintah!"
Arsen menyipitkan mata. "Siapa yang menyuruhmu?"
Laki-laki itu menggertakkan giginya, menunduk. Tapi sebelum bisa menjawab, suara keras terdengar dari luar—seperti tembakan.
Semua orang di ruangan langsung siaga. Ketegangan mengisi udara, seperti listrik statis yang tak terlihat namun terasa jelas. John, yang berdiri di sisi kanan Arsen, dengan sigap mengeluarkan senjata dari balik jaket kulit hitamnya. Matanya menyapu ruangan dengan waspada. Suara gesekan sepatu terdengar ketika Arsen mundur satu langkah, tubuhnya kaku dan matanya menatap tajam ke arah pintu utama yang tertutup rapat.
“Seseorang berusaha masuk,” suara salah satu penjaga terdengar dari alat komunikasi di telinganya. Nada suaranya rendah namun tegas, menunjukkan situasi yang tak bisa dianggap sepele.
John langsung mengangkat pistolnya sedikit, siap menembak jika perlu.
"Tuan, orang ini mengaku sebagai asisten musuh kita. Dia datang ke tempat ini membawa dua orang penembak jitu," lanjut suara dari penjaga tersebut, kali ini terdengar sedikit tertekan, mungkin karena menyadari betapa berbahayanya situasi yang sedang berlangsung.
"Siapa?" tanya Arsen dengan suara dalam dan dingin, nyaris seperti bisikan, namun membuat semua orang terdiam.
“Benny—dari Bravo Group,” jawab penjaga itu cepat.
Arsen menyipitkan mata, memproses informasi itu. Bravo Group adalah kelompok yang tak bisa diremehkan. Setiap langkah mereka penuh perhitungan dan kekuatan.
“Tanyakan pada dia, mau apa kemari?”
Ruangan kembali hening. Hanya terdengar suara napas para penjaga yang mulai berat, seolah mereka menahan diri dari bereaksi terlalu cepat. Satu menit berlalu terasa seperti sepuluh. Arsen menatap pintu tanpa berkedip, tangannya mengepal.
“Dia mengatakan, jika dia ingin menjemput anak buahnya yang kita tawan, Tuan,” ujar penjaga itu akhirnya.
Arsen mengalihkan pandangannya ke laki-laki yang berdiri di hadapannya, sosok yang ditahan sejak beberapa saat yang lalu. Wajah laki-laki itu pucat, namun ada binar terang di matanya—sebuah harapan yang mulai tumbuh.
“Kamu bagian dari Bravo Group?” tanya Arsen tajam.
"I—iya,” sahut laki-laki itu dengan nada gugup. Bahunya sedikit menegang, namun di saat yang sama tampak lega. Asisten bosnya telah datang. Itu berarti kemungkinan besar dia akan dibebaskan. Tak ada yang berani macam-macam dengan Bravo Group, pikirnya.
Namun, Arsen hanya menatapnya datar, seperti sedang menimbang apakah laki-laki itu layak hidup atau tidak. Tatapan itu membuat laki-laki tersebut menelan saliva dengan gugup, merasa tubuhnya mendadak lebih dingin dari sebelumnya.
Lalu, dengan suara yang tak menunjukkan emosi, Arsen berkata, “Suruh laki-laki itu masuk.”
“Tuan...” seru John, sedikit maju, ekspresinya jelas menunjukkan keraguan. Ini bisa jadi jebakan.
"Tenang saja,” ucap Arsen, masih menatap ke depan, seolah sudah membaca isi kepala John. “Saya tahu apa yang akan saya lakukan.”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Suara derap kaki mantap menggema di lantai keras. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, mengenakan jaket hitam dan sepatu boots, masuk ke dalam ruangan. Wajahnya keras, rahangnya tegas, dan sorot matanya tajam. Ia langsung menatap anak buahnya yang berdiri di pojok ruangan dengan ekspresi penuh penilaian.
Kemudian, tanpa membuang waktu, dia menatap Arsen dengan pandangan tegas dan penuh kendali.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Arsen, to the point, suaranya pelan namun mengandung tekanan kuat, seperti ujung pisau yang dingin menyentuh kulit.
***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka