naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26 * suara suara di balik dinding kantor *
Senin pagi datang seperti tamu tak diundang yang membawa koper penuh tekanan. Matahari bahkan belum sempat bersinar sempurna, tapi grup WhatsApp kantor sudah penuh notifikasi—ada berita baru, dan bukan sembarang kabar. Ara kembali.
Aku baru saja duduk di kursiku ketika Kalya dari divisi HR melintas di depanku sambil berbisik dramatis, “Nay, lo udah denger? Mbak Ara balik dari cabang Singapura. Dia jadi advisor langsung buat direksi sekarang.”
Deg.
Aku hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk. Tentu aku tahu siapa Ara. Semua orang tahu. Mantan tunangan Raka, wanita yang dulu hampir bersanding dengannya di pelaminan kalau saja tak terjadi sesuatu. Aku tak tahu detailnya, tapi cukup tahu bahwa Ara bukan orang yang mudah dihadapi.
Sekarang dia kembali. Dan yang lebih menyakitkan: dia kembali dengan kekuasaan yang lebih besar. Bukan hanya sekadar manager atau kepala divisi, tapi duduk di level pengawas, bisa mencampuri semua divisi termasuk divisi tempatku berada sekarang.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil membuka email. Benar saja, ada undangan meeting koordinasi khusus pukul 10 pagi. Judulnya tak terlalu mencolok, tapi begitu melihat daftar pesertanya, jantungku berdebar. Salah satunya adalah nama Ara. Dan Raka.
Sial. Kenapa harus sekarang?
Sejak aku dan Raka memutuskan untuk terbuka di kantor setelah banyak yang sudah mencurigai juga kami memang tak lagi bersembunyi. Tapi tetap saja, ada tekanan. Walau Raka sudah tak lagi menjadi atasan langsungku sejak aku pindah ke divisi pemasaran digital, tetap saja dinamika kantor membuat semuanya terasa rumit.
**
Pukul 09.55 aku melangkah menuju ruang rapat lantai 7 dengan perasaan tak enak. Pintu terbuka dan beberapa orang sudah duduk. Raka ada di ujung meja, mengenakan kemeja putih bersih, rambutnya rapi, dan tatapannya tajam. Tapi matanya melembut sesaat ketika melihatku masuk. Hanya satu detik, cukup membuat jantungku bergetar.
Tapi mataku langsung tertuju ke sisi seberang ruangan. Di sanalah Ara duduk. Blazer abu-abunya elegan, riasan wajahnya sempurna, dan aura dingin itu... masih sama seperti dulu. Dia memandangku sekilas—satu pandangan dari kepala sampai kaki—sebelum kembali menatap layar laptopnya.
“Silakan duduk,” ucapnya.
Rapat dimulai. Ara memimpin langsung agenda evaluasi antar divisi, termasuk soal kampanye pemasaran merger terakhir. Ia bicara tenang, namun dengan tekanan yang terasa menusuk.
“Untuk tim pemasaran, terutama yang terlibat dalam penyusunan materi presentasi publik merger kemarin,” katanya sambil membuka slide, “saya ingin klarifikasi soal narasi pada slide ketujuh.”
Itu slide yang aku buat. Slide yang dulu Raka puji.
“Disebutkan bahwa perusahaan akan lebih ‘ramping dan dinamis’, tapi tidak mencantumkan detail mengenai implikasi tenaga kerja. Padahal itu menimbulkan kekhawatiran dari investor.”
Aku tegak. “Narasi itu dirancang berdasarkan arahan dari divisi legal dan strategi komunikasi. Kami fokus pada sisi positif untuk menjaga persepsi publik.”
Ara menatapku lurus. “Atau kamu hanya berusaha menyenangkan atasan kamu saat itu?”
Semua mata tertuju padaku.
Aku tahu apa maksudnya.
“Ara” Raka membuka suara, tapi Ara mengangkat tangan, menyela dengan tenang.
“Saya hanya ingin tahu apakah ada motif pribadi dalam pembuatan materi penting seperti ini.”
Aku menatapnya. “Tidak ada motif pribadi. Saya profesional dengan pekerjaan saya.”
Dia menahan senyum, seperti puas sudah menebar bom kecil di ruangan. Tapi aku tak akan jatuh semudah itu.
Setelah sesi rapat selesai, para peserta keluar satu per satu. Aku mengemasi laptopku dengan cepat, tapi suara dingin itu memanggil lagi.
“Naya, bisa bicara sebentar?”
Aku menoleh. Raka juga berhenti melangkah.
Ara berdiri, melipat tangan di depan dada. “Kamu tahu saya mantan Raka, kan?”
Aku mengangguk. “Saya tahu.”
“Dan kamu tetap masuk ke dalam hidupnya?”
“Hubungan kami dimulai saat status kerja sudah tidak ada konflik. Kami di divisi berbeda.”
Ara menatapku lama. “Kamu pikir kamu bisa bertahan menghadapi seseorang seperti aku di kantor ini?”
Aku tak menjawab. Karena aku tahu, Ara bukan hanya mengancam dia sedang mempersiapkan sesuatu.
Saat aku keluar dari ruang rapat, Raka menyusulku.
“Kamu oke?” bisiknya pelan.
Aku mengangguk, meski tenggorokanku terasa kering. “Dia nggak main-main.”
“Aku tahu. Dan aku janji akan jagain kamu.”
Aku menatapnya. “Bukan kamu yang harus jagain aku. Aku harus bisa jaga diriku sendiri. Tapi… aku nggak akan mundur, Rak.”
Senyumnya mengembang sedikit. “That’s my girl.”
**
Siangnya, saat aku kembali ke meja, sebuah kejutan baru datang.
“Permisi,” suara laki-laki yang familiar membuatku menoleh. Dan dunia terasa berhenti.
Adit.
Mantan pacarku. Laki-laki yang dulu membuatku jatuh cinta, lalu patah.
Ia berdiri di depan mejaku, mengenakan jas abu-abu, rambutnya rapi, senyum itu masih sama. Tapi sekarang, ada cincin pertunangan di jarinya. Dan tetap saja dia tersenyum seperti tidak pernah menyakitiku.
“Aku dipindahkan ke divisi regional, dan ternyata satu lantai sama kamu,” katanya. “Apa kabar, Nay?”
Aku tak tahu harus tertawa atau marah.
Dari balik kacamataku, aku hanya menjawab datar, “Baik.”
Dan saat dia berjalan pergi, aku tahu badai baru benar-benar akan dimulai. Bukan hanya dari masa lalu Raka, tapi juga dari masa laluku sendiri.
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩