NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Bad Boy / Barat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SENGATAN DINGIN

Di tengah ruangan yang dipenuhi aroma hangat, Ellard Thorne, sebagai tuan mansion, duduk tenang di kursi kepala meja. Kedua tangannya terlipat rapi di atas meja makan, tatapannya beralih secara bergantian antara istrinya, Ruby, dan kedua anaknya yang sedang berbincang ringan. Wajahnya harmonis, meskipun dihiasi garis-garis halus di dahi dan kerutan lembut di sekitar mata, tanda usia semakin tua. Beberapa helai uban menghiasi rambut hitamnya, menambah kesan dewasa dan berwibawa pada penampilannya itu.

Di sebrang Ellard, satu kursi diduduki oleh Zade Thorne, putra kedua dengan rambut hitam gelap berantakan dan mata cokelat terang yang ekspresif kala tersenyum tipis. Di lengan kirinya, menampilkan guratan tinta hitam yang melintang di bagian bawah lengan. Sebuah tato ular kecil, terukir sempurna di kulit zaitunnya. Meskipun penampilannya tampak urak-urakan, pria muda itu begitu ramah saat menyambut Ruby. Sementara di sebelah Zade, Celeste Thorne, berusia 14 tahun, hanya berjarak 5 tahun dari kakak ke-duanya. Beberapa jepit mungil selalu menghiasi rambut hitam Celeste, menambah kesan manis yang sangat melekat di wajah anggunnya.

Awal pertemuan Ruby dengan keluarga Thorne cukup membuat wanita itu sedikit nyaman. Ruby merasa diterima dan dihargai sebagai koki baru. Namun, sejak kedatangannya di ruang makan, atensinya selalu terusik oleh pria yang duduk di sebelah Beatrice. Rhys Maz Thorne, si pemilik nama tersebut. Pria itu tampak pendiam, bahunya dibiarkan terjatuh bebas di sandaran kursi. Sementara tatapan intens di balik kaca matanya, membuat Ruby merasa tak nyaman. Jemari Rhys tak henti mengetuk ujung meja tanpa suara, dengan penuh makna.

Membuat Ruby tak henti-henti untuk meremas jemari. Aura yang di berikan pria itu begitu kuat dan mendominasi, sampai rasanya ia ingin tenggelam saja. Tetapi tidak bisa untuk dipungkiri, bahwa ....sangat tampan dan karismatik.

"Dia tetap bekerja di bistro, aku hanya memintanya datang sebelum jam makan saja. Bosnya pun setuju denganku, bukankah benar yang kukatakan, Ruby?"

"Anda benar, Nyonya." Ruby membalas dengan tersenyum. Apron putihnya yang ternoda tepung, membuatnya reflek mengusap pelan, berusaha tak menimbulkan gelagat aneh. Sebelum tangannya dia tarik cepat karena terkejut deheman Rhys.

"Aku harus segera pergi." Rhys bangkit dari duduk dan menjauh dari mereka semua. Di waktu yang sama tiga pelayan datang sedikit menyisih agar tak terlalu dekat dengan meja makan, membawa jas hitam dan segala perlengkapan yang dibutuhkan Tuannya itu.

"Apa ada masalah?"

Sembari mengenakan jas, Rhys melirik sekilas Ayahnya. "Perusahan yang menawarkan kerja sama datang lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan," terangnya.

"Baguslah." Ellard tersenyum tipis dengan sudut bibir tertarik keatas. "Kuharap dengan kerja sama itu menguntungkan bagi perusahaanmu. Jangan lupa kabari aku hasilnya nanti."

"Tentu saja."

Mata Ruby memperhatikan tubuh tinggi dan punggung lebar Rhys sejak pria itu melangkah lebar dengan kaki panjangnya, hingga saat mengenakan jas hitam, pandangan seolah terkunci. Meskipun tatapan tajam Rhys untuknya telah berakhir sejak beberapa menit lalu, tapi Ruby tetap penasaran. Dia mencoba menggali lebih dalam arti tatapan itu, mencari makna di balik sorot mata yang dingin nan menusuk.

Seakan-akan dia memiliki kesalahan besar.

"Aku juga harus segera pergi," kata Ellard. Sebelum pergi, ia meneguk sisa kopi hitam favoritnya. Lalu, meninggalkan kecupan singkat di kening putri sulungnya dan Beatrice.

"Hati-hati di jalan, amore. Ti amo." Beatrice membalas kecupan itu dengan ungkapan cinta.

"Ti amo di più."

["Aku lebih mencintaimu."]

"Hans, tolong siapkan mobilku! Dan Zade jangan meninggalkan kelas pentingmu." Ellard menambahkan.

"Aku sudah dewasa dan tentunya pintar, jadi ayah tak perlu memberikan nasihat seperti saat aku bocah." Suara Zade dibuat meninggi, namun tenang saat mengucapkannya. Agar sang ayah yang mulai menjauh itu, mendengar.

"Turuti saja perintah ayahmu ini," seru Ellard hampir terendam suaranya.

Zade tampak mencibir, dan tidak sudi lagi memperhatikan punggung ayahnya yang mulai samar. "Sudah tua tetap saja menyebalkan."

"Bu, kakak mengumpati ayah."

"Aku tidak mengumpatinya, bodoh. Aku hanya mengungkapkan kekesalanku saja."

"Bu, sekarang kakak mengumpatiku!" Celeste, dengan tangan kecilnya, meraih sebuah apel utuh dan melemparkannya ke arah Zade. Zade, yang tak sempat menghindar karena jarak mereka yang dekat, namun berhasil menangkap apel itu.

"Akan kubuang semua mobil rongsokmu itu, awas saja kau!"

"Berani kau menyentuh seujung kuku, akan ku potong tangan kecilmu itu," timpal Zade penuh dengan penekanan.

"Ibu, kakak jahat!"

"Ruby...mereka saat bertemu selalu seperti ini, hampir setiap hari. Kuharap kau tidak terganggu dan memahaminya." Kening Beatrice berkerut dalam saat mengatakan itu, membuat Ruby tersenyum simpul.

"Aku mengerti, Nyonya. Adik kakak memang tak jarang saling bertengkar, tapi aku yakin mereka saling menyayangi."

"Tidak!" Ucap Celeste dan Zade secara serentak.

................

"Hai, bagaimana kerja dihari pertamamu?" Pertanyaan itu berasal dari Marie, saat menghadang Ruby yang baru saja datang ke bistronya.

"Apakah pertanyaan ini sebuah sambutan untukku?"

Marie melemaskan bahunya, mendengus kasar tapi tetap mengikuti Ruby yang berjalan ke pantri. "Aku hanya ingin tahu, apakah pekerjaku ini melakukan kesalahan di hari pertamanya."

"Tidak ada masalah. Mereka menyukai masakanku, dan aku merasa sangat dihargai di tempat itu," ucap Ruby antusias, setelah berbalik, membuat langkah Marie terhenti.

Ruby jadi mengingat lagi, bagaimana respon keluarga Nyonya Beatrice begitu menyejukkan hatinya. Dia senang, saat masakan yang dibuat dengan resep cinta disukai dengan sangat baik. Tapi salah satu dari mereka... ah, lupakan. Ruby tak ingin mengingat-ingat tatapan tajam itu.

"Sudah kuduga, kau tak akan pernah mengecewakan."

"Benar, siapa yang tak menyukai masakannya? Kurasa tidak ada," sambar Megan. Wanita itu melangkah dengan hati-hati, kala memasuki dapur. Di tangannya, menggenggam erat pegangan mesin pemanggang ukuran tangguh. Berta, salah satu koki yang membantu Megan, berjalan di sampingnya, tangannya siap menopang mesin itu jika sewaktu-waktu Megan kehilangan keseimbangan.

"Seluruh Chicago, bahkan dunia pun pasti menyukai masakannya."

"Sudahlah, itu berlebihan," potong Ruby.

"Masa bodo dengan berlebihan, yang terpenting aku senang kau diterima di keluarga kaya itu. Apalagi mereka menyukai masakanmu, aku harap ini adalah sebuah takdir yang baik untukmu. Jadi, kuakui sekarang Tuhan memang luar biasa, padahal aku tak beragama." Marie seakan berbisik pada dirinya sendiri, kala mengucapkan kalimat terakhir.

Megan menyahut, "akhirnya kau percaya takdir Tuhan."

........................

Dilantai 20, dilantai paling tinggi perusahaan global, uangan kantor yang besar terasa kosong, dengan aroma kayu manis dan kopi bercampur samar di udara. Rhys bergerak gelisah di kursi kulitnya, menimbulkan decitan lirih. Di belakangnya, jendela besar membingkai pemandangan malam, namun tirai beludru gelap menutupi sebagian besar cahaya indahnya, menciptakan kontras yang pas dengan dinding ruangan.

Dingin, tenang, dan bersih. Ruangan kantor yang mencerminkan kepribadian pemiliknya. Akan tetapi, suasana itu berubah. Udara di dalam ruangan terasa semakin panas, seakan terbakar oleh kegiatan dua orang yang sedang berlangsung.

Si pria dengan tenang menerima segala servis dari wanita di bawahnya. Posisi pria itu duduk sedikit melebarkan kedua kaki kokohnya, yang memudahkan si wanita yang berjongkok memberikan sedikit kenikmatan pada miliknya. Sesekali merintih dan bersuara lantang, memberikan peringatan kala wanita itu lancang menyentuh tak sesuai dengan apa yang disetujui.

Wanita, yang menjabat sebagai sekretaris, terus memacu tangannya agar bergerak cepat. Namun, sepertinya bosnya itu terlalu perkasa, sampai rasanya sangat pegal.

Esmeralda, nama sekertaris Rhys. Wajah seksi dipoles make up tebal itu tampak merenggut kesal, namun tepat melakukan tugasnya. Rhys yang menyadari segera melirik ke bawah, memindahkan tatapan mata dari dokumen ditangannya.

"Kau menyesal melakukan apa yang kau sudah setujui?"

Esmeralda berhenti, mendongak tinggi hingga wajah menawan itu menjadi pusatnya. "Tidak, Sir."

"Tapi, mengapa lama sekali?" lanjutnya.

Rhys mengangkat salah satu alis tebalnya. Bukankah tadi wanita itu sudah setuju atas penawarannya, lalu mengapa sekarang mengeluh?

"Ada apa? Kau lelah dan ingin menyudahinya?"

Esmeralda cepat-cepat menggeleng, menolak persepsi bosnya. Mustahil ia ingin mengakhiri kegiatan panas ini, disaat ia telah menantikannya selama hampir satu setengah tahun sejak bekerja bersama Rhys. Dan saat Rhys mulai tergoda padanya, Esmeralda hanya memuaskan nafsu pria itu, tanpa mendapatkan kepuasan sendiri. Bahkan, Rhys sama sekali tidak menyentuh tubuh moleknya.

"Sama sekali tak terpikirkan olehku, Sir." Esmeralda terdiam, bibirnya penuh dengan lipstik merah menyala digigit dari dalam, menggoda. Ibu jarinya bergerak sensual dari sudut bibir, semakin turun hingga pertengahan buah dadanya yang membentang dibalik kemeja.

"Bagaimana jika kita berdua melakukan hal lebih dari sebelumnya. Um... bercinta? Ya kurasa itu saran yang bagus, dan pastinya akan menyenangkan. Anda akan puas, begitupun aku." Rendah, lambat dan terdengar erotis, Esmeralda ketika berucap.

"Bercinta kau bilang?" Rhys memposisikan tubuhnya membungkuk kedepan. Setelah miliknya dimasukkan kembali dan menaikan resleting celana hitam licinnya, tangan besarnya mencengkram erat dilingkaran leher Esmeralda. Alih-alih merasakan sakit, justru Esmeralda merasa sensasi ini menyenangkan, seperti sengatan listrik yang menjalar di kulitnya.

"Bercinta bukan sekadar hubungan seksual, Esmeralda. Itu tentang dua jiwa yang terikat, yang saling melengkapi. Dan untuk ini, harus berapa kali kukatakan, aku tak pernah berniat masuk ke dalam lubang sumurmu yang penuh dengan jejak pria lain. Tidak akan pernah sekalipun, termasuk pada gadis-gadis jalang seperti dirimu."

"Ja—jalang?"

"Benar, Esmeralda. Sepertinya kau tidak setuju denganku? Setelah berusaha keras menggoda hingga aku terpancing?"

Esmeralda berdesis, dan bangkit berdiri dengan cepat. Matanya, yang tadi menyorot nakal, kini menyala dengan kilatan api amarah, seolah siap menelan atasannya. "Kau merendahkanku, Sir. Ini sangat tidak pantas dikeluarkan dari mulut bos pada sekertarisnya sendiri!"

"Bahkan anda memberikan tawaran padaku untuk memuaskan nafsu anda!" Berang Esmeralda.

Mendorong kasar kursi duduknya, agar saat berdiri Rhys tak terlalu dekat dengan Esmeralda. "Bukankan hampir semua karyawan pria sudah memasuki lubangmu yang selebar sumur, itu? Lalu mengapa kau tidak terima perkataan yang keluar dari mulutku? Sudah untung kau ku izinkan menyentuh milikku."

"Tetapi kau juga menikmatinya, brengsek!"

Rhys menarik sebelah sudut bibirnya keatas. Tatapan tajamnya mengunci mata Esmeralda yang berapi-api. "Jangan berlagak kau telah berhasil memuaskanku, dan menaklukanku didalam milikmu, Esmeralda."

"Kau hanya menggunakan tangan kotormu itu, untuk menyentuhnya. Bahkan kau tak bisa membuatnya keluar. Sepertinya... aku salah telah menilaimu sebagai jalangnya para jalang," tekan Rhys.

"Kaparat." Hanya umpatan yang berhasil keluar dari mulut Esmeralda, ia tak mampu berkata lagi. Tidak bisa.

"Keinginanmu sudah tercapai untuk bisa melihatnya. Dan aku pun akhirnya berhasil menyingkirkan dirimu, Esmeralda, dari perusahaanku." Rhys terkekeh pelan, suaranya berdesir dingin seperti udara malam yang masuk ke telinga Esmeralda. "Jangan lagi tampilkan wajah jelekmu itu di hadapanku mulai besok, bila kau tak ingin anak buahku menghancurkan hidupmu."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!