Diamnya Seorang Istri

"Ay, jika kamu menghubungi Vina dan meminta Vina untuk mengurusku, aku jamin ... kita tidak akan bercerai. Biar saja aku bersikap egois."

"Terserah. Aku mau tidur!" ketus Aya memejamkan mata.

Akhirnya, Rian mengalah. Dia berjalan menuju tepi ranjang dan melihat istrinya yang membelakanginya. Di raihnya ponsel yang sempat di matikan.

Puluhan pesan serta panggilan masuk dari ponsel Rian. Dan semua itu, di kirim oleh satu nomer, yaitu nomer Vina.

'Mas, kamu sedang apa? Kenapa ponselmu mati!'

'Kamu ke sini, Mas. Tiba-tiba aku nyidam di buatkan nasi goreng olehmu!'

Dan masih banyak pesan yang masuk lagi.

Rian menatap Aya sejenak, kemudian membalas pesan yang di kirim Vina.

'Aku tidak bisa ke rumahmu, Vin. Aku harus mengurus Aya untuk beberapa hari ke depan. Tolong, jangan hubungi aku, jika tidak penting!' kirim Vina.

Sedangkan di satu sisi. Vina yang sedang menunggu balasan dari Rian pun kesal. Dia melempar ponselnya ke kasur, "Kenapa sih, selalu Aya, Aya, dan Aya! Aku ini juga istrinya kamu, Mas. Bahkan, aku sedang mengandung anakmu. Tapi, kenapa kamu selalu memprioritaskan Aya yang jelas-jelas tidak bisa mengandung anakmu! Jika begini terus, aku tidak jamin, anakku kelak akan mendapat kasih sayang yang utuh dari ayahnya. Aku harus bisa menjauhkan atau membuat Mas Rian benci dengan Aya. Aku harus mendapatkan hati Mas Rian seutuhnya!" geram Vina mengambil ponselnya lagi dan membalas pesan yang di kirim dari Rian.

'Kamu lebih mementingkan Aya dari pada anakmu, Mas! Apa kamu mau anakmu ileran, Hem?' kirim Rian.

Ting!

Bunyi pesan masuk dari ponselnya, membuat Rian langsung membaca pesan tersebut.

'Astaga, drama apa lagi ini. Aku tidak bisa meninggalkan Aya untuk saat ini. Aku tidak mau, Aya pergi dari sini, tapi kasihan anakku. Aku tidak mau anakku ileran.' batin Rian.

'Kakiku sedang terkilir. Aku baru saja jatuh dari tangga. Tolong kamu mengerti aku, Vin. Aku tidak boleh terlalu banyak gerak. Kamu bisa minta buatkan bibi dulu. Setelah aku sembuh, aku akan kesana!' kirim Vina.

Ting!

Vina melihat dan membaca pesan dari suaminya, "Apa? Kaki Mas Rian terkilir? Dan Aya yang merawatnya? Seharusnya, aku yang merawatnya. Aku harus kesana. Tapi, jika aku ke sana sekarang ... pasti Mas Rian marah padaku, ini sudah sangat malam. Dan aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kandunganku. Ini senjataku, agar aku bisa mendapatkan Mas Rian seutuhnya!" gumam Vina menelfon Rian.

Merasakan getaran dari ponselnya, Rian langsung menatap ponselnya dan melihat nama Vina yang tertera di layar ponselnya, 'Untuk apa dia telfon malam-malam begini? Apa dia tidak tahu, kalau kondisi di rumah sedang kacau! Aku tidak bisa mengangkatnya. Aku tidak mau, Aya tahu. Mungkin, Aya belum tidur,' batin Rian mematikan telfon Vina, membuat Vina yang cemas menjadi kesal.

"Siaal, kenapa Mas Rian menolak telfonku. Apa ada Aya di sana? Atau mereka sedang bermesraan? Ini tidak bisa di biarkan. Besok pagi, aku harus ke rumah Mas Rian dan berpura-pura menjenguknya, tapi aku harus memastikan jika ibu Iris di sana. Jadi, jika terjadi sesuatu denganku. Ada ibu mertuaku yang akan membelaku!" gumam Vina dengan senyum sinisnya. Dia meletakkan ponselnya di atas meja dan merebahkan tubuhnya.

Setelah menunggu dua jam. Akhirnya Rian mencoba mendekati istrinya, Cahaya. Dia melihat jika istrinya sudah tidur terlelap. Dengan hati-hati, tangan Rian menggendong tubuh Aya untuk di bawa ke atas kasur.

"Maafkan aku, Ay. Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu tidur di sofa. Sekarang, tidurlah dengan nyenyak. Maafkan aku, karena aku selalu mengecewakanmu. Nasi sudah menjadi bubur, aku harap, kamu bisa mengerti keadaanku dan maaf jika aku egois. Tapi, aku tidak akan melepaskanmu!" gumam Rian menciuum kening Aya lembut, lalu merebahkan tubuhnya di samping Aya dengan tangan melingkar di pinggang Aya.

Aya menggeliat. Dia bermimpi di ciuum oleh suaminya. Karena merasakan kenyamanan, Aya tidak terbangun dari tidurnya. Justru, dia memeluk tubuh Rian yang di alam mimpinya sedang berubah menjadi guling empuknya.

Ke esokkan harinya. Sesuai dengan rencana Vina. Di pagi buta. Dia sudah menyiapkan sarapan pagi yang di masukkan rantang untuk suaminya.

"Semua beres. Aku tinggal mandi dan mengantarkan makanan ini untuk Mas Rian. Pasti Mas Rian terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Dan Aya, dia akan menyambutku dengan hangat!" ujar Vina berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

Tak membutuhkan waktu lama, kini Vina sudah siap. Di lihatnya, pukul 7 pagi. "Waktunya berangkat. Pasti Mas Rian belum berangkat ke kantor!" titah Vina.

Sedangkan di satu sisi. Aya menggeliat. Dia merasakan pinggangnya yang kaku. Di raba nya tangan Rian dengan tangannya. Matanya membulat sempurna saat dia melihat dirinya sudah di kasur bersama suaminya.

"Siapa yang pindahkan aku? Bukankah semalam, aku tidur di sofa? Apa iya, aku tidur sambil berjalan. Tapi, jika Mas Rian yang memindahkanku, itu tidak mungkin. Kaki Mas Rian masih sakit? Bagaimana bisa, dia menggendongku?" gumam Aya menatap wajah Rian yang sedang tidur.

'Mas, aku pikir, suamiku berbeda dengan pria di luar sana, tapi ternyata suamiku sama saja dengan pria hidung belang yang suka berkhianat.' batin Aya berusaha melepas tangan suaminya yang melingkar di pinggangnya.

Merasa tangannya di gerakkan, Rian membuka kelopak matanya. Dan melihat istrinya yang sedang menatapnya.

"Ay, kamu sudah bangun!" ucap Rian mengeratkan pelukannya lagi.

"Mas, jangan peluk-peluk aku. Aku mau mandi." kesal Aya.

"Sebentar saja, Ay. Kakiku masih sakit. Aku tidak mungkin mandi sendiri. Kamu bisa tolong aku, kan? Atau kita mandi bersama?" ujar Rian yang mendapat gelengan dari Aya.

"Aku tidak mau, Mas. Kamu bisa menghubungi Vina atau meminta Bibi untuk membantumu. Aku tidak bisa!"

"Ay, sampai kapan kamu seperti ini? Kamu dan Vina sama-sama istriku. Jadi, tidak ada salahnya aku meminta kamu untuk membantuku!"

"Aku ralat ucapanmu, Mas. Sebentar lagi, kita akan menjadi mantan istri dan suami. Lebih baik, kita membangun jarak, karena perpisahan itu akan datang." ucap Aya.

"Kalau kamu hamil, bagaimana?" tanya Rian.

"Haha ... mana mungkin aku hamil? Sudahlah. Aku percaya, kita akan berpisah. Dan kamu bisa hidup dengan Vina bahagia." jawab Aya melepas tangan Rian yang melingkar di pinggangnya.

"Aku mau mandi, setelah itu ... aku harus pergi ke butik. Ada barang datang, jadi harus aku sendiri yang memastikannya!"

"Tapi, boleh, aku ikut? Aku mau melihat butikmu!" pinta Rian.

"Lebih baik, kamu di rumah saja. Kamu sedang sakit." tolak Aya halus, 'Aku harus bertemu dengan Mas fajar dan menyelesaikan administrasi rumah baru yang akan ku tinggali esok setelah berpisah dengan Mas Rian!' batin Aya.