Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan di jakarta
Pagi itu, Jakarta seakan diliputi oleh ketegangan yang tak terlihat. Di beberapa sudut kota, berbagai tindakan kejahatan mulai meningkat secara drastis. Pejabat-pejabat yang sebelumnya hanya dikenal sebagai sosok korup, kini mulai bertindak lebih brutal dan tanpa belas kasihan. Kekuasaan yang mereka miliki setelah diberi kekuatan oleh Nakula membuat mereka semakin tidak terkendali.
Di sebuah gedung tinggi di pusat kota, seorang pejabat bernama Andi Wijaya, yang baru saja diberi kemampuan luar biasa, memimpin sekelompok preman. Mereka merampok bank dengan kekuatan yang jauh melampaui manusia biasa. Andi mampu mengendalikan kekuatan angin yang sangat kuat, menyebabkan hujan deras dan angin tornado kecil yang menghancurkan bangunan sekitar.
“Apa yang kalian tunggu? Ambil uangnya!” teriak Andi dengan suara yang penuh kepercayaan diri, menggunakan kekuatan angin untuk menghalau penjaga dan menyebarkan kekacauan.
Sementara itu, di sebuah jalanan yang ramai, beberapa polisi yang hendak menangkap pelaku kejahatan lainnya dibuat terhuyung oleh serangan petir yang tiba-tiba muncul dari seorang pejabat lainnya, yang kini memiliki kekuatan untuk memanggil badai. Keberadaan mereka yang dilindungi oleh kekuatan baru ini membuat mereka semakin berani. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka, karena para pejabat itu tahu bahwa Nakula memberikan mereka kekuatan untuk menguasai dunia ini.
Di dalam sebuah ruangan megah yang tersembunyi dari pandangan manusia, Nakula duduk dengan santai di atas singgasana emasnya. Dari kejauhan, ia memperhatikan kekacauan yang terjadi di Jakarta melalui sebuah cermin gaib yang memantulkan gambaran kota. Setiap kehancuran, setiap jeritan ketakutan, dan setiap tindakan brutal yang dilakukan oleh para pejabat korup itu membuatnya tersenyum lebar.
"Indah sekali," bisiknya dengan mata berbinar. "Begitu mudah manusia jatuh dalam kehancuran, hanya perlu sedikit dorongan."
Ia tertawa pelan, namun penuh kepuasan. Kekacauan yang sedang terjadi adalah hasil dari rencana jahatnya. Dengan memberikan kekuatan kepada para pejabat tamak, ia telah menciptakan alat penghancur yang bekerja atas kehendak mereka sendiri. Dan yang paling penting, ia bisa melakukannya tanpa harus turun tangan langsung—menghindari kecurigaan ayahnya, Dewa Arkadewa.
Nakula menyandarkan tubuhnya ke belakang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk lengan kursinya dengan ritme pelan. "Arjuna," gumamnya, "Aku ingin melihat bagaimana kau berjuang tanpa kekuatanmu. Apakah kau masih sehebat yang kau kira?"
Tawanya semakin keras. Baginya, ini adalah permainan yang sangat menghibur. Arjuna, sang pangeran angkuh, kini terjebak di dunia manusia tanpa kekuatan, sementara iblis-iblis dalam wujud manusia mulai menguasai dunia ini.
"Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan, Kakakku tersayang," katanya sambil tersenyum licik. "Atau mungkin... kau akan jatuh semakin dalam hingga akhirnya menyerah?"
Ia pun mengangkat tangannya ke udara, menciptakan bayangan gelap yang berputar di atas telapak tangannya. "Dan jika saatnya tiba, aku sendiri yang akan turun untuk menjemputmu."
Di luar sana, kejahatan semakin merajalela. Dan Nakula hanya perlu menunggu, menikmati setiap detik kehancuran yang ia ciptakan.
Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta yang semakin mencekam akibat kejahatan yang dilakukan oleh pejabat berkekuatan supranatural, Arjuna berjalan di trotoar dengan pakaian sederhana yang diberikan Kirana. Matanya tajam mengamati sekeliling, menyaksikan ketakutan yang menyelimuti masyarakat.
Suara jeritan tiba-tiba menggema dari sebuah gang sempit. Tanpa berpikir panjang, Arjuna berlari menuju sumber suara. Di sana, seorang pria tua tergeletak di tanah dengan wajah penuh luka, sementara seorang pria berjas mahal dengan tubuh besar dan aura mengerikan menginjak dadanya.
“Beraninya kau tidak membayar pajak tambahan yang kami tetapkan?” bentak pria berjas itu.
Arjuna maju dengan tenang, wajahnya tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. “Lepaskan dia,” katanya dengan nada tegas.
Pria berjas itu menoleh dan tertawa mengejek. “Dan siapa kau? Pahlawan baru yang ingin mati hari ini?”
Arjuna tidak menjawab. Dengan kecepatan luar biasa untuk ukuran manusia biasa, ia langsung menyerang. Tinju pertamanya mengenai perut pria itu dengan keras, membuatnya mundur beberapa langkah. Namun, pria itu hanya terkekeh, seolah tidak merasakan apa-apa.
“Cukup kuat… untuk seorang manusia biasa,” katanya sebelum mengayunkan pukulan ke arah Arjuna.
Arjuna menghindar dengan lincah, menggunakan refleks dan pengalaman bertarungnya selama ini. Dengan tangan kosong, ia memanfaatkan teknik bela dirinya untuk menjatuhkan lawannya. Ia memutar tubuhnya, menyapu kaki pria itu hingga terjatuh, lalu dengan cekatan menekan lehernya dengan sikunya.
“Tidak peduli seberapa kuat kau, tubuh manusia tetap memiliki kelemahan,” ujar Arjuna dingin.
Pria itu mengerang, berusaha melepaskan diri, tetapi Arjuna menekan lebih keras hingga akhirnya pria itu pingsan.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu mulai mendekat, beberapa dari mereka yang tadinya ketakutan kini mulai menunjukkan harapan.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya seorang wanita muda dengan suara bergetar.
Arjuna menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Aku? Aku hanya seseorang yang tidak tahan melihat ketidakadilan.”
Tanpa menunggu lebih lama, Arjuna berbalik dan pergi, meninggalkan warga yang mulai berbisik-bisik kagum. Meskipun tanpa kekuatannya, ia tahu satu hal: ia masih bisa berjuang.
Dan ia tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan.
Arjuna berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai diselimuti cahaya lampu jalan. Tubuhnya terasa sedikit lelah setelah pertarungan tadi, tetapi pikirannya masih penuh dengan apa yang telah terjadi. Meskipun ia tidak memiliki kekuatan dewa, ia masih bisa melawan kejahatan dengan kekuatan fisik dan kemampuannya dalam bertarung.
Saat ia tiba di rumah Kirana, pintu terbuka sedikit, dan suara musik lembut terdengar dari dalam. Kirana, yang mengenakan pakaian santai, tampak duduk di sofa sambil menikmati segelas teh. Ia menoleh saat melihat Arjuna masuk.
"Kau kemana saja?" tanyanya dengan nada penasaran.
Arjuna tidak langsung menjawab. Ia melepas jaket yang dikenakannya dan duduk di seberang Kirana. "Aku hanya berjalan-jalan dan menemukan beberapa masalah."
Kirana menaikkan alisnya. "Masalah seperti apa?"
Arjuna menghela napas. "Pejabat yang diberi kekuatan oleh seseorang… Mereka mulai berbuat kejahatan, menyiksa rakyat kecil. Aku tidak bisa tinggal diam."
Kirana terdiam sejenak sebelum meletakkan gelasnya. "Kau bertarung dengan mereka?"
Arjuna mengangguk. "Tanpa kekuatan. Hanya dengan kemampuan bertarungku."
Kirana menghela napas panjang. "Kau gila. Kau bisa terbunuh."
Arjuna menatapnya dengan ekspresi tenang. "Dan jika aku tidak melakukan apa pun, orang-orang yang tidak bersalah akan menderita."
Kirana mengalihkan pandangannya, tidak bisa membantah. Ia tahu Arjuna memiliki hati seorang pejuang, tetapi tetap saja, dunia ini bukan dunia para dewa. Di sini, manusia harus bertahan dengan cara mereka sendiri.
"Apa kau akan terus melakukan ini?" tanyanya akhirnya.
Arjuna tersenyum tipis. "Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa diam saja."
Kirana menatapnya dalam diam. Ada sesuatu dalam diri Arjuna yang membuatnya berbeda. Mungkin kesombongannya masih ada, tetapi ia juga memiliki sisi yang peduli pada orang lain.
Setelah beberapa saat, Kirana bangkit dari sofa dan mengambil kantong es dari kulkas. Ia berjalan mendekat dan tanpa berkata apa-apa, menaruh kantong es itu di bahu Arjuna.
"Apa ini?" tanya Arjuna bingung.
"Kau pasti terluka, kan? Jangan pura-pura kuat."
Arjuna terdiam sejenak sebelum akhirnya membiarkan Kirana merawatnya. Ia menatap wanita itu, menyadari bahwa di dunia manusia ini, ia tidak sendirian.
Suara derit pintu terdengar ketika Bara memasuki rumah Kirana. Ia membawa tas ransel dan wajahnya terlihat lelah, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang cukup melelahkan. Saat matanya menangkap Arjuna yang sedang duduk di sofa dengan kantong es di bahunya, ia langsung mengernyit.
"Kau kena masalah lagi, ya?" Bara bertanya sambil menutup pintu.
Arjuna menoleh santai. "Tidak juga. Hanya sedikit perkelahian kecil."
Bara mendecak. "Perkelahian kecil? Kirana bilang kau melawan orang-orang yang diberi kekuatan aneh oleh pejabat korup."
Arjuna mengangkat bahu, sementara Kirana meletakkan kantong es yang baru diambilnya. "Dia tidak akan berhenti, Bara. Sekarang aku sudah tahu sifatnya."
Bara duduk di kursi sebelah Kirana, menatap Arjuna dengan serius. "Dengar, aku tidak tahu siapa kau sebenarnya. Tapi kalau kau terus berbuat seperti ini, cepat atau lambat kau akan berurusan dengan orang-orang yang jauh lebih berbahaya."
Arjuna menyilangkan tangannya. "Aku tidak takut."
Bara menghela napas panjang. "Masalahnya bukan soal takut atau tidak. Dunia ini punya aturan sendiri. Polisi, militer, bahkan organisasi rahasia seperti The Vault—mereka semua akan memperhatikanmu. Apalagi kalau kau berurusan dengan orang-orang yang diberi kekuatan oleh seseorang."
Arjuna menatap Bara dengan tajam. "Kau tahu siapa yang memberi mereka kekuatan?"
Bara terdiam sejenak sebelum menjawab, "Belum. Tapi aku punya beberapa petunjuk. Ini bukan hal biasa. Seseorang bermain di balik layar, dan aku curiga mereka bukan manusia biasa."
Kirana ikut menimpali, "Maksudmu… mungkin ada seseorang seperti Arjuna?"
Bara mengangguk. "Kemungkinan besar, ya."
Arjuna menyipitkan matanya. Jika benar ada seseorang di balik semua ini, maka ia harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab. Namun, ada satu hal lain yang mengganggunya—perasaan aneh di dalam hatinya.
Kirana bangkit dan berjalan ke dapur. "Aku buatkan kopi. Sepertinya kita butuh bicara panjang malam ini."
Arjuna dan Bara saling bertukar pandang. Keduanya tahu, apa pun yang sedang terjadi, ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.