Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Penyelamat
"Akhir-akhir ini, Ibukota sedang digegerkan dengan keberadaan geng motor Samurai yang meresahkan masyarakat. Kelompok geng motor ini telah terlibat dalam berbagai aksi kekerasan dan tindakan kriminal yang menimbulkan ketakutan dan ketidakamanan di kalangan warga kota. Mohon kepada warga Jakarta agar lebih berhati-hati, khususnya saat malam hari.."
Berita itu telah ditampilkan dalam televisi nasional beberapa hari ini. Semua orang terkhusus yang tinggal di Jakarta merasa takut, tak terkecuali dengan Syahla yang sudah masuk semester pertama kuliahnya.
"Hati-hati loh Nduk, Umi lihat di berita katanya ada perempuan muda yang diculik. Kamu kalau pulang jangan malam-malam, jangan sendirian." Pesan Umi Zahra setiap kali menelponnya. Respon Syahla tetap sama, sebisa mungkin berusaha menenangkan sang ibunda.
"Iya Umi, Umi tenang saja. Para polisi uga sudah mulai patroli kok. Kos-kosan Syahla juga dekat, cuma perlu jalan lima menit. Syahla akan pastikan selalu pulang sebelum maghrib,"
"Iya, bagus itu. Kalau lapar nggak perlu keluar-keluar, pesan online saja."
"Siap Umi!"
Sialnya, malam ini Syahla terpaksa pulang larut karena tidak sadar sudah menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Semester awal memang gudangnya tugas, dan tugas Syahla adalah mencari referensi sebanyak-banyaknya untuk materi makalahnya. Sebenarnya pekerjaan itu tidak akan lama kalau dilakukan berkelompok, sayangnya teman satu kelompoknya tidak ada yang berguna sama sekali.
"Maaf ya, aku harus pulang kampung hari ini, nenekku sakit," Itu adalah alasan dari salah satu anggota kelompoknya.
"Pacarku ngajak nonton, nanti aku yang bayarin ngeprint sama fotokopinya deh," Itu alasan dari teman yang lain.
Ujung-ujungnya, Syahla mengerjakan semuanya sendirian. Biarlah, dia juga tidak berniat mencantumkan nama anggota lain pada cover makalahnya nanti.
Saat keluar dari perpustakaan, Syahla melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul enam petang. Astaga, dia belum sholat maghrib. Dengan langkah tergesa, Syahla setengah berlari menuju kos-kosannya.
Awalnya, semua terasa baik-baik saja saat berada di jalan besar. Tapi masalah muncul ketika Syahla mulai berbelok ke sebuah gang kecil.
Kos-kosan Syahla berada di ujung gang kecil itu. Bukan jalan yang panjang, namun agak seram juga kalau ditempuh dengan berjalan kaki di malam hari. Apalagi lampu penerangan jalan tampak berkedip-kedip, sudah waktunya diganti.
Sebuah cahaya motor membuat Syahla menghela napas lega. Dia merasa tidak sendirian lagi sekarang. Tapi, tunggu, kenapa cahayanya makin lama makin banyak?
Syahla mulai merasa ada yang tidak beres saat cahaya motor yang lain datang dari arah belakangnya. Instingnya mengatakan kalau dirinya sedang berada dalam bahaya.
Pedang panjang yang digenggam oleh pengendara paling depan membuat jantung Syahla serasa berhenti berdetak. Nafasnya mulai terengah-engah, dan ia merapatkan diri pada dinding pagar di belakangnya.
Geng Motor Samurai, kelompok pemuda yang akhir-akhir ini menjadi topik utama paling ditakuti warga Jakarta. Syahla sama sekali tidak tahu mimpi apa ia semalam sampai bertemu dengan mereka hari ini.
Sang pemegang pedang turun dari motor. Meski tertutup helm, Syahla bisa merasakan kalau wajah lelaki itu sangat menakutkan.
"Tolong!" Rintih Syahla. "Jangan sakiti saya,"
Bukannya merasa kasihan, orang-orang itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Nona manis," Suara berat lelaki di depannya membuat Syahla bergidik. "Ayo ikut dengan kami,"
"Tidak!" Sekuat tenaga, Syahla mengayunkan totebag-nya yang berisi laptop. Tepat sasaran, karena laki-laki itu langsung tersungkur terkena pukulan Syahla.
Merasa ada kesempatan, gadis itu segera berlari berlawanan arah, menuju jalan raya. Itu adalah satu-satunya solusi yang bisa ia pikirkan sekarang.
Deru sepeda motor yang meraung-raung di belakangnya serta sorotan lampu yang mengikutinya membuat jantung Syahla berdebar-debar.
"Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wala fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.." Syahla merapalkan doa itu sambil terus berlari ke depan. Jalan raya tampak ramai kendaraan berlalu lalang. Tapi tidak ada satupun yang berniat untuk berhenti.
"Tolong!" Syahla mengambil keputusan nekat, berdiri di tengah-tengah jalan. Sayangnya, geng motor Samurai sudah berada di sekelilingnya, mengepungnya yang berdiri sendirian.
Syahla mulai menangis. Ketua geng yang tadi ia pukul tampak berjalan kearahnya, dan kaki Syahla sudah tidak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia jatuh terduduk dan memejamkan mata. Sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
"Lahaula walaquwata illabillah hil aliyil adzim.."
Satu detik, dua detik, tidak ada yang terjadi. Setelah sepuluh detik berlalu dan tidak ada apa-apa yang menyentuhnya, Syahla memberanikan diri membuka mata.
Seorang laki-laki dengan kemeja putih tampak berdiri dengan gagah di depannya. Tangannya menghalangi pedang panjang itu menyentuh Syahla. Sebagai gantinya, ia jadikan lengan kekarnya sebagai tameng.
"Ustadz Amar.." Syahla terbelalak melihat wajah lelaki itu. Tidak lama, suara sirine polisi mendekat ke arah mereka. Geng motor itu panik, buru-buru tancap gas meninggalkan tempat itu.
"Hei! Jangan lari!" Teriak para polisi. Tapi geng motor itu benar-benar tidak kehabisan akal, mereka sengaja berpencar untuk menyusahkan polisi mengejar mereka.
"Ustadz!" Syahla sudah tidak peduli lagi apakah geng sialan itu tertangkap atau tidak. Ia segera melihat lengan Ustadz Amar yang berdarah-darah.
"Astaghfirullah!" Syahla terkejut karena lukanya menganga lebar. "Jangan bergerak dulu Ustadz!"
Syahla segera menumpahkan semua isi totebag-nya, mengeluarkan sapu tangan dan dengan hati-hati membalut luka Ustadz Amar. Dua orang polisi yang tersisa kemudian mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat.
...----------------...
"Aduh! Aduh! Hati-hati dokter!"
Perkataan itu tidak diucapkan oleh Ustadz Amar yang lukanya sedang dijahit, melainkan oleh Syahla yang menonton di sebelahnya.
"Pelan-pelan, dok!"
Dokter laki-laki itu menghela napas dalam-dalam. "Mbak, kalau tidak ada keperluan apa-apa silahkan keluar ya,"
Syahla menggelengkan kepala dengan cepat. "Nggak! Saya mau menemani Ustadz Amar disini!"
"Kamu mengganggu," Ustadz Amar akhirnya turun tangan. Suaranya masih terdengar berwibawa meski wajahnya terlihat pucat pasi. "Dokter jadi tidak fokus gara-gara kamu. Lebih baik kamu menunggu di luar,
"Nggak mau Ustadz! Saya mau menemani Ustadz di sini! Saya kan—"
"Satu.."
"Ustadz!"
"Dua.."
Syahla memberengut. Dalam keadaan terluka parah seperti itu pun Ustadz Amar masih saja galak. Dan anehnya Syahla juga masih takut dengan hitungan yang tidak pernah selesai sampai tiga itu, karena ia sudah cepat-cepat keluar sebelum Ustadz Amar menyelesaikannya.
Sambil menunggu di luar ruangan, air mata Syahla tak henti-hentinya mengalir. Ia masih merasakan takut dan trauma karena kejadian barusan.
Tangisannya begitu keras sampai seorang perawat menghampirinya. "Maaf mbak, ada yang sakit?"
Syahla menggelengkan kepalanya sambil terus menangis. "Saya nggak apa-apa kok Sus,"
"Yang benar? Tapi itu bajunya darah semua,"
Syahla mengikuti arah pandang sang suster kepada baju yang ia pakai. Ternyata benar, bajunya banyak sekali bercak darah. Tapi ia sama sekali tidak merasakan sakit apa-apa karena memang dia tidak terluka. Menyadari itu, air mata Syahla kembali merebak.
"Ini bukan darah saya suster, tapi darah penyelamat saya,"
apalagi suaminya lebih tua