Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Mertua Cerewet
Rania melihat putranya sudah di lantai, sepertinya Bintang jatuh saat tertidur. Beruntung kasurnya tidak tinggi sehingga badannya tidak terluka.
"Astaga Sayang, mana yang sakit?" tanya Rania.
Rania segera menggendong Bintang dan menghiburnya agar tidak menangis lagi. Setelah tenang ia segera memandikannya, dan membiarkannya bermain setelah berpakaian. Rania mulai menyiapkan dagangannya, menatanya dengan rapi di depan rumah. Saat akan mulai menggoreng putranya minta makan, jadi dia menyikapinya terlebih dahulu.
"Nia, gorengannya belum matang?" tanya tetangganya.
"Masih mau di goreng Mbak, tadi masih menyuapi Bintang," jawabnya.
"Ya sudah, nanti aku kesini lagi," ucapnya.
Rania menghela napas, ternyata tidak mudah berjualan jika di sambi mengurus anak dan juga rumah. Tapi apa boleh buat, saat ini hanya usaha ini yang bisa membuat dapurnya terus mengepul.
Rania segera menggoreng tempe dan pisang goreng, ia menggunakan 2 wajan agar cepat. Apalagi gorengannya berbeda jenis, yang satu gurih dan satunya manis, lebih baik jika tidak di campur agar tidak mempengaruhi rasa masing-masing.
"Mbak Santi, gorengannya sudah matang," teriak Rania.
"Oh iya, sebentar ambil piring dulu," jawabnya.
Santi adalah tetangganya, sejak kemarin ia berjualan wanita itu selalu membeli gorengannya. Rania dulunya tidak bisa memasak, namun semenjak menjadi seorang istri dia selalu mau belajar. Seperti resep gorengan ini, ia juga mempelajarinya dari youtube, dan alhamdulillah banyak yang menyukainya.
Rania memang terlahir dari keluarga menengah ke bawah, namun otaknya yang cerdas mampu mengantarkannya menjadi Sarjana Ekonomi dengan bantuan beasiswa prestasi. Itu sebabnya selama ini dia tidak pernah kehabisan akal untuk membuat keluarganya bertahan hidup.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam,"
Ternyata suaminya sudah datang, bersamaan mbak Santi membeli gorengan.
"Kok sudah pulang, Mas?" tanya Rania.
"Pekerjaannya hanya sedikit. Nanti sore kita ke rumah ibu, ada selamatan di sana," jawab Alif.
"Mas mau sarapan atau mau makan gorengan? Memangnya hari ini tidak kerja?" tanyanya lagi.
"Aku mau mandi dulu, baru sarapan. Hari ini aku libur kerjanya," Alif langsung masuk kamar mandi.
Rania memanaskan sayur untuk suaminya sarapan, Alif sarapan dengan lahap. Setelah sarapan ia menemani Bintang bermain, namun tidak lama ia sudah tertidur pulas. Rania melayani pembeli yang mulai ramai sembari mengawasi Bintang bermain.
Pukul 15.15 Rania segera mengantar gorengan milik bu Rita, setelah itu ia segera membangunkan suaminya. Hari ini Alisa tidak mengaji karena suaminya mengajak semua ke rumah mertuanya.
"Mas bangun, sudah sore katanya mau ke rumah ibu," ia membangunkan suaminya dengan lembut.
"Kamu mandi dulu ajak Bintang juga, aku mau membereskan dagangan dulu," imbuhnya.
"Ya, baiklah. Alisa ayo bangun, kita akan ke rumah nenek," ucap Alif.
"Memangnya ada apa, Yah?" tanya Alisa sembari mengucek matanya yang masih mengantuk.
"Ada selamatan, Ayah mandi dulu bersama Bintang," jawab Alif.
"Mandi sama ibu, mau sama ibu," rengek Bintang.
"Ibu masih membereskan jualannya, sama ayah saja ya. Setelah ini kita akan ke rumah nenek, nanti kita beli mainan," bujuk Alif.
"Hore, mainan," sorak Bintang.
Tanpa drama lagi Bintang pun mau di ajak mandi oleh Ayahnya. Setelah selesai beres-beres, Rania membantu Bintang berpakaian. Setelah semua selesai baru gilirannya untuk membersihkan diri. Pukul 16.30 mereka berangkat. Karena jaraknya lumayan jauh mereka baru sampai saat azdan magrib berkumandang.
"Assalamualaikum,"
Mereka semua segera memberi salam, menyalami semua saudara yang juga telah datang.
"Wah Alif dan Rania, ayo masuk. Sini Cicit buyut yang tampan, Bintang sudah sekolah belum?"
Ibu dari ayah mertua Rania memang baik, dia selalu ramah dan tidak membeda-bedakan menantu ataupun cicit dari keluarga suaminya. Selain perhatian, ia juga tidak pernah pelit.
"Nenek apa kabar? Aku kira Nenek tidak ada di sini, katanya Nenek ke luar kota?" tanya Rania.
"Baru dua hari lalu kembali, aku tidak betah di sana dingin sekali, Rania," jawabnya.
"Nenek sudah tua, sekarang sudah tidak sesehat dulu, sebaiknya jangan pergi jauh-jauh," ucap Rania sembari memijat punggung wanita tua itu.
"Mau bagaimana lagi, kadang tidak enak tinggal terlalu lama," ujarnya.
"Bukan tidak betah, tapi memang dasarnya sukanya keluyuran. Punya uang sedikit saja sudah gatal mau pergi," sahut ibu mertua Rania.
Ayah mertua Rania dan semua yang hadir hanya diam, memang bukan rahasia umum lagi jika ibu mertua dan nenek mertua Rania tidak bisa akur. Sebenarnya ibu mertuanya tipe orang yang merasa dirinya yang paling benar, jadi hampir tidak pernah ada yang cocok dengannya. Bahkan dengan ibu kandungnya sendiri ibu mertuanya itu sering cekcok. Dengan keluarganya saja tidak merasa cocok, bisa di bayangkan bagaimana dengan Rania.
"Sudah Nek, jangan dengarkan ibu. Dia memang seperti itu, jangan di masukkan ke dalam hati ya," hibur Alif.
"Iya Bu, jangan dengarkan ibu Alif memang begitu. Tapi dia sebenarnya baik kok," imbuh ayah mertua Rania.
"Iya aku tahu, aku tidak apa-apa,"
Rania tahu walau nenek suaminya berkata begitu, namun hatinya pasti sakit. Walaupun memang sudah biasa berkata yang menyakitkan hati orang lain, tetap saja yang namanya perasaan siapa yang tahu.
Setelah semua selesai Rania membantu membersihkan piring bersama beberapa orang, sedangkan yang lain masih mengobrol di depan. Tiba-tiba ibu mertuanya mendekat dan mengajaknya mengobrol.
"Rania, sekarang kegiatan mu di apa saja rumah? Apa hanya ongkang-ongkang kaki menikmati hasil kerja suami mu?" tanyanya datar.
Astagfirullah, Rania hanya bisa mengucap istighfar dalam hati. Padahal ibu mertuanya tahu anaknya tidak pernah memberi nafkah yang cukup untuknya selama ini, tapi bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Selama ini dia memang lebih banyak diam dan menghadapi kenyataan ini sendiri.
"Aku jualan, Bu. Supaya bisa membantu mas Alif memenuhi kebutuhan keluarga," jawab Rania tegas.
"Sarjana kok jualan, lebih baik kerja kantoran lagi. Alif saja tidak pernah memberi ku uang, mana mungkin gajinya tidak cukup," balas nya sinis.
"Mungkin belum cukup, makanya mas Alif belum bisa memberi Ibu selama ini. Jika aku bekerja lagi bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan mengurus mereka? Aku memilih berjualan agar masih bisa di sambi merawat mereka," ucap Rania.
"Alasan saja, bilang saja kalau malas mau bekerja lagi. Memang lebih enak di rumah, tinggal menikmati hasil jerih payah suami," sindir ibu mertuanya lagi.
Rania menghela napas, ia memilih mengalah Karena percuma bicara dengan ibu mertuanya, ia akan selalu mencari kesalahannya. Dari awal sepertinya memang dia tidak menyukainya, karena dia hanya orang miskin.
"Wah sedang bicara apa ini, serius sekali sepertinya?" tanya Alif tiba-tiba muncul.
"Ibu menyuruh Rania bekerja kantoran lagi, kan sayang punya title sarjana tapi cuma jualan gorengan," jawab ibunya.
"Wah, ide yang bagus itu," dukung Alif.
Mata Rania membulat, ia tidak menyangka suaminya akan mendukung ibunya. Padahal baru setahun belakangan ia berhenti bekerja, selama ini pun ia selalu menghasilkan uang bukan hanya duduk manis di rumah. Air mata itu di tahannya sekuat tenaga agar tidak tumpah, ia memilih meninggalkan mereka dan menahan rasa sakit itu sendiri.