Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Ambisi Seorang Nona Bangsawan
Natu berdiri memeluk lengannya sendiri sembari berdiri di balkon kamarnya. Gaun hijau zamrudnya berkibar diterpa angin. Rambutnya yang ikal kecoklatan tampak kusut, tidak serapi biasanya. Ia menyandarkan kepalanya ke tiang balkon. Pandangannya kosong, namun jelas menyimpan kecewa.
“Kenapa dia tidak pernah menatapku seperti dia menatap…,” gumamnya, lalu membuang napas kesal.
“Kau masih memikirkan Nieville?” suara berat terdengar dari balik pintu balkon yang terbuka.
Roman, ayahnya, melangkah masuk. Lelaki itu mengenakan mantel panjang dengan lambang anggur bersulam emas di dada. Matanya tajam, namun suara yang ia keluarkan untuk putrinya lembut.
“Dia bahkan tidak memperhatikan kehadiranku di pesta terakhir, ayah… Aku berdiri tak jauh darinya, memakai gaun paling mahal yang ibu pesankan secara khusus… tapi dia hanya sibuk bicara dengan Val… atau menatap ke sekeliling seperti mencari seseorang,” keluh Natu, mengerucutkan bibir.
Roman mendekat dan menepuk pundak putrinya pelan. “Mungkin kau harus bersikap lebih lembut di hadapannya. Kau terlalu mencolok… pria seperti Nieville tak akan terpikat oleh hiasan permata semata.”
“Hiasan semata?” sahut Natu cepat, “Ayah… aku bisa menjadi seorang ratu! Aku mengerti politik, aku mengerti etiket istana. Aku dilatih untuk itu.”
“Zetta dari Fayye juga berpikir demikian,” balas Roman tenang.
Natu mengerutkan kening, menoleh. “Apa maksud Ayah?”
Roman menghela napas panjang. “Kau tidak tahu? Sepertinya istana berusaha merahasiakannya… Tapi pelayan-pelayan selalu punya cerita.”
Ia menatap putrinya dengan serius. “Zetta mencoba menggoda Nieville… dengan cara yang paling bodoh. Masuk ke kamarnya malam-malam mengenakan pakaian yang tak pantas. Pangeran pergi malam itu dengan griffinnya. Kabur dari rumah mereka.”
Natu menatap ayahnya, kaget bukan main. “Itu… tidak mungkin. Zetta memang suka menarik perhatian, tapi dia tidak akan sebodoh itu!”
“Ambisi bisa menumpulkan akal sehat, putriku … ” gumam sang ayah. “Jangan ikuti jejaknya. Masih ada jalan lain.”
“Apa yang harus aku lakukan, Ayah?” tanya Natu penasaran.
“Kau ingat Ervasta? Putra Carlen… dari garis keturunan Pangeran Raizel. Dia masih keluarga kerajaan. Tak seterkenal Nieville, tapi darahnya tetap darah Nehwa. Jika kau tidak bisa mendapatkan Nieville, kau bisa—”
“Tidak!” potong Natu cepat, nada suaranya meninggi. “Ervasta…?”
“Ayah… para nona bangsawan semua tahu seperti apa dia. Dia menakutkan… tertutup… tidak pernah tersenyum… dan katanya... dia bahkan tidak berani berhadapan langsung dengan orc!”
Roman mendesah, “Itu hanya rumor. Banyak prajurit yang memilih bertarung dari belakang karena strategi.”
Natu menggeleng keras. “Ayah, aku ingin jadi ratu. Bukan sekadar istri dari keturunan kerajaan yang jarang muncul di perjamuan.”
“Nieville adalah calon raja berikutnya. Dan aku... aku harus menikah dengannya,” desak Natu.
Roman menarik napas dalam, menimbang kata-katanya sebelum ia melanjutkan.
“Natu, ada hal lain yang perlu kau tahu,” katanya, nada suaranya lebih berat. “Beberapa bangsawan… mulai gelisah.”
Natu menoleh cepat. “Gelisah? Maksud Ayah?”
Roman menatap ke kejauhan, ke arah menara istana yang puncaknya hampir hilang tertelan kabut senja. “Semakin banyak serangan orc. Semakin dekat mereka ke wilayah tengah. Para bangsawan mulai mengingat sejarah... saat Raja R’hu dianggap membawa malapetaka karena tak mampu menjaga Acalopsia.”
“Mereka takut sejarah terulang dengan Raja Tigris?” potong Natu.
Roman mengangguk. “Mereka mulai berbisik. Jika Acalopsia kembali gagal melindungi rakyatnya, maka mereka akan mempertanyakan... apakah Raja Tigris masih diberkahi oleh Lumelith.”
Natu mematung. Pandangannya kosong, tapi pikirannya melaju cepat.
“Dan Nieville?” tanyanya hati-hati.
“Sebagai putra tunggal, tentu ia calon raja berikutnya. Tapi... belum tentu ia akan diterima secara utuh oleh keluarga kerajaan dan para bangsawan,” ujar Roman. “Ia belum menikah, belum punya penerus. Ia terlalu sibuk mengejar orc, bukan membangun hubungan kekuasaan.”
Roman menatap putrinya dalam-dalam. “Kau harus tahu, jika pewaris tidak dianggap membawa terang... maka rakyat akan memilih matahari lain.”
“Ervasta,” gumam Natu, seakan menyebut nama itu seperti racun.
Roman mengangguk pelan. “Dia putra Carlen, cucu Pangeran Raizel. Meski bukan dari garis utama, ia masih keturunan kerajaan. Dan beberapa bangsawan tampaknya lebih bersedia mengangkat orang seperti dia… yang bisa mereka arahkan.”
Natu mencibir. “Tapi dia pengecut.”
“Pengecut bisa berubah jika didukung kekuasaan,” balas Roman datar. “Kekuatan bisa dibentuk. Tapi garis darah tidak bisa diciptakan.”
Natu mengepalkan tangan. “Ayah menyuruhku menyerah pada Nieville?”
Roman tidak langsung menjawab. Ia mendekat, lalu berkata dengan pelan namun tegas, “Aku menyuruhmu bertahan di medan yang bisa kau menangkan. Bukan menyerah. Tapi memilih medan yang tepat.”
Natu terdiam lama. Angin malam mulai bertiup lebih dingin, tapi dadanya lebih panas dari sebelumnya.
“Jadi... jika aku ingin jadi ratu,” ucapnya perlahan, “aku harus... membuka pintu untuk Ervasta.”
Roman menatap putrinya. “Atau... membiarkan pintu itu tetap tertutup, dan menyaksikan orang lain duduk di singgasana yang seharusnya bisa kau duduki.”
Natu menggertakkan gigi. Pandangannya kembali ke langit. “Kalau begitu, mungkin... sudah saatnya aku bertemu dengan Ervasta.”
“Kenapa di rumah ini… tak pernah bosan membicarakan kekuasaan, ya?” terdengar suara dari arah pintu kamar yang masih terbuka.
Natu dan Roman menoleh bersamaan. Di sana berdiri Terra, adik perempuan Natu yang lebih muda lima tahun. Ia mengenakan gaun putih sederhana, rambut cokelatnya dikepang longgar ke satu sisi. Tatapannya tajam, tapi wajahnya lembut.
“Terra,” gumam Natu, agak kesal. “Ini urusan orang dewasa.”
“Kalau begitu,” balas Terra sambil melangkah masuk, “maka aku bersyukur belum disebut dewasa… karena kalau seperti kalian, berarti menjadi dewasa itu berarti lupa cara mencintai.”
Roman menyipitkan mata. “Jaga bicaramu.”
Terra mengangkat dagu, menatap ayahnya tanpa gentar. “Aku hanya tidak mengerti… kenapa kakakku harus berpikir untuk menikahi seseorang seperti Ervasta, hanya karena dia mungkin akan jadi raja.”
Natu menghela napas panjang. “Karena dunia ini tidak seindah dongeng, Terra. Cinta tidak cukup untuk melindungi rumah kita… nama kita… atau masa depan kita.”
“Jadi, kau rela menyerahkan dirimu kepada seseorang yang bahkan tidak kau sukai? Yang katanya pengecut, yang tak punya kebaikan apa pun selain garis keturunannya?” suara Terra meninggi. “Itu bukan bijak, Kak. Itu… menyedihkan.”
Roman melangkah maju, suaranya kini berubah tegas dan penuh otoritas. “Cukup, Terra.”
Gadis itu terdiam, tapi matanya berkaca-kaca.
“Yang dilakukan Natu adalah demi kemuliaan keluarga,” lanjut Roman. “Jika ia berhasil menikahi seseorang yang duduk di singgasana, maka nama kita akan hidup dalam sejarah Acalopsia. Itu pengorbanan yang layak dihormati.”
Terra menggeleng pelan. “Kemuliaan keluarga tidak seharusnya dibangun di atas luka seorang perempuan…”
Roman memandang kedua putrinya dengan tatapan berbeda. Kepada Natu, ia menaruh harapan besar; kepada Terra, hanya kesabaran. Namun jelas, antara mereka terbentang jurang pemahaman yang kian lebar.
Natu menatap adiknya, diam sejenak. “Terra… kau akan mengerti suatu hari nanti. Ketika cinta saja tak cukup menyelamatkan nama keluargamu.”
Terra membalas tatapan itu. “Dan kau akan mengerti, Kak… bahwa cinta adalah satu-satunya yang membuat hidup ini layak diperjuangkan.”
Ia lalu membalik tubuh, meninggalkan balkon, membiarkan keheningan turun seperti kabut tipis di tengah malam yang kian kelam.