Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Antara Hasrat dan Logika
Seorang pria muda dari divisi IT berdiri di depannya, menunduk sambil sibuk mengetik di laptop.
“Semua rekaman selama seminggu terakhir sudah saya cek, Tuan. Tidak ada pria asing masuk ke rumah Anda,” jawabnya.
David mengerutkan dahi. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di dalam ruangan.
“Tidak mungkin,” gumamnya. “Aku lihat sendiri. Kemeja dan celana itu... itu bukan punyaku. Dan Ghea jelas tidak mungkin membelinya," batinnya.
Matanya menyipit, penuh api yang tertahan.
Sudah lama ia tak menyentuh istrinya. Sudah lama pula gairahnya mati. Sejak Tessa hadir, segalanya berubah. Sekretarisnya itu bukan hanya giat dan bersedia melakukan hal-hal yang Ghea anggap menjijikkan, tapi juga… hidup. Penuh gairah. Penuh ambisi. Dan tahu kapan harus mengalah demi memikat.
Bersama Tessa, segalanya terasa mengalir. Mereka menghabiskan waktu dari pagi hingga sore, terikat bukan hanya oleh gairah, tapi juga percakapan yang selaras. Urusan bisnis, strategi pemasaran, solusi saat tekanan pasar datang—semuanya terasa ringan karena Tessa selalu mengerti dan sigap merespons.
Beda sekali dengan Ghea, istrinya. Ghea memang selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan masakan rumahan, tapi begitu David mulai membicarakan masalah bisnis, ia hanya mendengarkan sambil mengangguk—dan akhirnya memberi nasihat yang terdengar seperti kutipan buku motivasi. Terlalu bijak. Terlalu normatif.
Bukan itu yang David butuhkan.
Ia sudah muak.
Lima belas tahun pernikahan. Dan tidak satu pun panggilan "Ayah" terdengar di rumah itu. Sudah berobat ke sana-sini. Sudah coba banyak metode. Namun tetap nihil. Entah siapa yang bermasalah, tapi David yakin… ini bukan kesalahannya.
"Ghea hanya alat," pikirnya dingin.
"Sumber kekayaan yang harus diperah sampai kering sebelum akhirnya dibuang."
Tapi…
Ghea tak boleh berpaling darinya.
Belum.
Belum sampai semua aset perempuan itu berpindah ke tangannya.
“Rekamannya bersih, Tuan. Yang terlihat keluar masuk rumah hanya Nyonya Ghea, pelayan wanita, Pak Suryono, dan kurir pengirim bunga yang tak lama pergi."
David terdiam.
"Pak Suryono sudah tua dan tubuhnya tambun. Kemeja yang aku lihat di lemari Ghea… ukurannya terlalu besar bahkan untuk Pak Suryono.”
David mencibir. Tangannya mengepal.
"Atau jangan-jangan, ada yang masuk tanpa tertangkap? Hacker? Blok sinyal?"
IT itu menggeleng gugup. “Kami tidak mendeteksi anomali besar. Tapi...”
David menghentikan langkah. “Tapi apa?”
“Ada jeda sinyal—kurang dari dua menit. Tepat semalam. Di sisi taman belakang. Kemungkinan hanya gangguan jaringan biasa, Pak. Karena setelah itu sinyal kembali normal.”
Dua menit?
Cukup untuk seseorang masuk. Atau... menyelinap keluar.
David menggertakkan giginya. Ia kembali menatap layar monitor, tapi pikirannya sudah ke mana-mana.
"Ghea... siapa pria itu?"
Ia tak peduli ia sudah menyentuh wanita lain ratusan kali. Tapi gagasan bahwa Ghea—istrinya, miliknya—mungkin sudah disentuh pria lain… membuat darahnya mendidih.
Lalu...
"Bunga? Dari siapa? Aku sudah lama tak mengirim bunga buat Ghea. Apa dari selingkuhannya?"
Pukul lima sore.
Langit di luar jendela kantor mulai berwarna jingga, membias di balik tirai tipis yang berkibar lembut karena angin dari pendingin ruangan. David membereskan barang-barangnya, meraih jas dari sandaran kursi, bersiap pulang.
Namun pikirannya tak tenang.
Bayangan celana panjang asing dan kemeja pria di lemari istrinya masih melekat kuat dalam kepala. Sesuatu yang membuat dadanya panas seperti bara. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.
Tapi baru saja ia berdiri, pintu terbuka.
Tessa masuk, langkahnya ringan seperti kucing.
Tanpa permisi, ia langsung bergelayut manja di lengan David.
"Aduh... tumben banget jam segini udah beres-beres. Mau ke mana sih, hm?"
Nada suaranya centil. Matanya berbinar penuh kode.
David menarik napas, mencoba tenang.
"Aku mau pulang," jawabnya singkat.
Tessa mencebik. "Kau lupa, ya?"
Ia menekan tubuhnya sedikit lebih dekat.
"Hari ini ulang tahunku, Dav... masa kamu mau ninggalin aku sendiri malam ini?"
Jarinya mulai bermain di dada David, naik ke kerah kemeja, lalu menyusuri lehernya perlahan.
David menegang.
Kepalanya ingin fokus pada kekacauan yang menghantui rumahnya—istri yang mungkin berselingkuh. Tapi tubuhnya merespons Tessa seperti biasa. Reaksi yang menyebalkan sekaligus memabukkan.
Tessa berbisik di dekat telinganya, suaranya serak manja.
"Aku pakai parfum yang kamu suka... yang biasa bikin kamu susah tidur," gumamnya sambil meniupkan napas hangat di lehernya.
"Kita rayakan malam ini berdua aja ya, hmm? Aku udah siapkan kejutan..."
David memejamkan mata sejenak.
Ia benci ini.
Benci karena meski tahu dirinya harus pulang dan memastikan kecurigaannya benar atau tidak, Tessa terlalu menggoda untuk diabaikan.
Darahnya mengalir ke tempat yang salah. Hasratnya bicara lebih dulu daripada logika.
"Setidaknya... makan malam dulu denganku," bisik Tessa lagi, kini menatap dengan mata bulat mengiba yang menggoda.
David terdiam.
Kepalanya memikirkan Ghea.
Tapi tubuhnya…
Sudah kalah.
David menarik napas panjang, menatap Tessa yang masih bersandar di lengannya seperti kucing manja yang tahu persis cara menguasai pemiliknya.
"Kita rayakan besok malam saja, Tess."
Suaranya berat, berusaha terdengar tenang.
"Aku sedang tak ingin keluar malam ini."
Tessa mengangkat alisnya, menatap dengan tatapan yang terlalu sulit untuk ditolak.
"Besok?" ulangnya, lalu tertawa pelan.
Tangannya menyusuri dada David, kali ini tidak lagi sekadar godaan.
"Kau sudah janji akan merayakannya bersamaku."
David memalingkan wajahnya, mencoba menarik diri. Tapi Tessa mendekat lebih jauh. Tubuh mereka kini nyaris rapat, dan aroma parfumnya—manis, lembut, tapi berbahaya—membungkus napas David.
"Kau tahu, 'kan, aku tidak suka menunggu, Dav."
Jarinya bermain di kancing kemeja David, menyentuh satu... lalu dua… tak membukanya, hanya menggoda.
“Kalau kau benar-benar peduli padaku... rayakan sekarang. Hanya sebentar. Kita ke apartemenku. Satu jam saja."
David menahan napas.
"Kau tahu ini—"
"Aku tahu," potong Tessa cepat, suaranya kini berubah lembut dan mematikan. "Aku tahu kau sedang kalut. Aku bisa bantu... melepas stresmu."
Ia berjinjit sedikit, membisik di telinga David, "Aku tahu kau sedang membayangkan sesuatu yang lain… tapi percayalah, aku bisa membuatmu melupakan apa pun malam ini."
Jebakan itu sempurna.
Logika David perlahan dikepung. Dihimpit oleh aroma, oleh bisikan, oleh jarak yang terus menipis dan godaan yang menari tepat di batas kendalinya. Ia berusaha menahan diri—ia benar-benar mencoba.
Namun pada akhirnya...
Tessa hanya tersenyum kecil saat David menariknya mendekat dan berbisik nyaris tanpa suara,
“Bersiaplah. Kita pergi sekarang.”
Mereka keluar dari kantor dengan langkah cepat, masuk ke mobil tanpa banyak bicara.
Dan malam pun menelan mereka, membawa David pada pilihan yang akan ia sesali… atau nikmati, untuk sementara.
Di rumah
Ghea melempar tas tangannya ke sofa kamar, lelah dan jenuh. Otaknya seperti bubur—terlalu banyak angka, istilah asing, dan laporan bertumpuk yang harus ia cerna hari ini.
Ia melepas sepatu, lalu berjalan lunglai menuju kamar mandi.
“Kenapa sih bisnis harus serumit itu?” gumamnya sambil mengisi bathtub dengan air hangat.
“Angka, grafik, margin keuntungan... pusing. Aku lebih suka menggambar. Kain, garis potong, siluet desain—semuanya terasa lebih hidup.”
Ia menyelam dalam kehangatan air, memejamkan mata, mencoba mengusir ingatan tentang David. Tentang pengkhianatannya. Tentang janji-janji kosong yang kini tak lebih dari debu.
Tak ada lagi ruang untuk percaya. Tidak untuk siapa pun.
"Aku harus memimpin sendiri. Ini tanggung jawabku. Warisan orang tuaku."
Setelah hampir setengah jam, Ghea akhirnya bangkit, melilitkan handuk dan melangkah keluar.
Tapi langkahnya langsung terhenti.
Matanya membulat. Jantungnya terhuyung.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.