Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# BAB 30: DARYON MENYALAHKAN ALVIONA
💔
**[HOOK PEMBUKA - KEKOSONGAN SETELAH KEHILANGAN]**
Alviona terbangun untuk kedua kalinya dengan kepala yang berat dan hati yang... kosong.
Bukan kosong seperti sedih biasa.
Tapi kosong seperti ada bagian besar dari dirinya yang dicabut paksa, meninggalkan lubang hitam yang tidak akan pernah bisa diisi lagi.
Matanya terbuka perlahan—menatap langit-langit putih ruang rawat inap yang steril, dingin, impersonal.
Untuk beberapa detik, dia lupa dimana dia.
Untuk beberapa detik yang singkat itu, dia lupa apa yang terjadi.
Tapi kemudian—seperti ombak yang menghantam dengan brutal—semuanya kembali.
Tangga.
Jatuh.
Darah.
Dan kata-kata yang menghancurkan: *"Bayi Nyonya tidak tertolong."*
Tangannya bergerak ke perut—gerakan refleks yang sudah jadi kebiasaan selama empat bulan terakhir—tapi kali ini yang dia sentuh bukan bump kecil yang hangat.
Yang dia sentuh adalah perut yang datar, kosong, dengan perban yang membungkus bekas operasi.
Kosong.
Bayinya... hilang.
Tidak ada air mata yang keluar.
Bukan karena dia tidak sedih. Bukan karena dia tidak hancur.
Tapi karena... sepertinya air matanya sudah habis. Atau mungkin kesedihan ini terlalu dalam sampai tidak bisa diekspresikan lewat air mata biasa.
Ini kesedihan yang membuat seluruh tubuh mati rasa.
Kesedihan yang membuat bernapas terasa seperti tugas yang terlalu berat.
"Bayiku..." bisiknya dengan suara serak—suara orang yang sudah terlalu banyak berteriak. "Maafkan ibu..."
---
**[JAVINDRA - SATU-SATUNYA YANG PEDULI]**
Pintu kamar terbuka perlahan.
Alviona tidak menoleh—dia tidak peduli siapa yang masuk. Tidak ada yang penting lagi.
"Alviona..."
Suara itu lembut, hati-hati, penuh kekhawatiran.
Javindra.
Dia masuk dengan langkah pelan, membawa segelas air dan beberapa buah potong dalam wadah plastik—hal-hal kecil yang dia beli dari kantin rumah sakit.
Kemeja kerjanya masih ada noda darah—darah Alviona—tapi dia sepertinya tidak peduli atau tidak sempat ganti.
"Aku... aku bawain air. Dan buah. Dokter bilang kau harus makan sesuatu..." ucapnya pelan sambil meletakkan barang-barang itu di meja samping ranjang.
Alviona masih tidak merespon. Hanya menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
Javindra menarik kursi, duduk di samping ranjang, menatap Alviona dengan tatapan yang... hancur. Seperti dia merasakan sebagian rasa sakit yang Alviona rasakan.
"Alviona... aku... aku tidak tahu harus bilang apa..." Suaranya bergetar sedikit. "Maaf tidak cukup. Apa yang terjadi padamu... pada bayimu... itu tidak adil. Sangat tidak adil."
Masih tidak ada respon.
Javindra mengambil napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sendiri.
"Tapi kau harus tahu... ini bukan salahmu. Mendengar? Ini. Bukan. Salahmu."
Kata-kata itu seperti jauh—seperti diucapkan dari ujung terowongan panjang.
"Kau sudah berusaha melindunginya. Aku tahu kau sudah berusaha. Kau... kau ibu yang baik, Alviona. Kau—"
"Aku bukan ibu."
Suara Alviona keluar tiba-tiba—datar, hampa, tanpa emosi.
Javindra terdiam.
"Aku bukan ibu," ulang Alviona, kali ini lebih keras tapi tetap dengan nada yang... mati. "Karena ibuku... mati. Bayiku... mati. Jadi aku bukan siapa-siapa."
"Jangan bilang begitu—"
"Kenapa tidak?" Alviona akhirnya menoleh menatap Javindra—dan Javindra hampir mundur melihat tatapan itu.
Tatapan kosong total. Tatapan orang yang sudah kehilangan segalanya. Tatapan yang membuat Javindra merasakan sakit di dada.
"Itu kenyataan. Bayiku mati. Satu-satunya alasan aku bertahan... hilang. Jadi sekarang... aku cuma... cuma..."
Suaranya putus. Tidak ada kata yang cukup untuk mendeskripsikan kekosongan yang dia rasakan.
Javindra mengulurkan tangan, ingin meraih tangan Alviona untuk kasih comfort—
Tapi sebelum tangannya menyentuh, pintu kamar dibuka lagi.
Kali ini dengan keras. Kasar.
Dan Daryon masuk.
---
**[DARYON MASUK - ATMOSFER BERUBAH TOTAL]**
Begitu Daryon masuk, seluruh atmosfer di ruangan berubah.
Dari sedih menjadi... tegang.
Mencekam.
Berbahaya.
Daryon berdiri di ambang pintu dengan jas kantor yang masih rapi—tidak ada noda darah seperti Javindra, tidak ada tanda bahwa dia mengalami chaos yang sama—hanya wajah yang... keras.
Mata yang dingin menatap Alviona di ranjang.
Dan kemudian menatap Javindra yang duduk di samping ranjang dengan tatapan yang... menuduh.
"Keluar," ucap Daryon dengan nada datar tapi penuh authoritas.
Javindra berdiri perlahan, wajahnya berubah—dari khawatir menjadi defensive.
"Daryon, dia baru saja kehilangan—"
"Aku bilang. Keluar." Daryon memotong dengan nada yang lebih tajam. "Ini urusan keluarga. Bukan urusanmu."
Javindra mengepalkan tangan—jelas dia ingin protes, ingin tetap di sini untuk protect Alviona dari apapun yang akan Daryon lakukan.
Tapi Daryon melangkah masuk dengan langkah yang mengintimidasi, menatap Javindra dengan tatapan yang mengatakan: *"Jangan coba-coba."*
"Daryon—"
"Sekarang, Javindra." Daryon berdiri dengan postur yang tegang, siap untuk fisik confrontation kalau perlu.
Javindra melirik Alviona—yang masih berbaring dengan tatapan kosong, seperti tidak peduli dengan drama yang terjadi di sekitarnya.
Dengan sangat berat hati, Javindra mundur ke pintu.
"Aku akan di luar," ucapnya pada Alviona, bukan pada Daryon. "Kalau kau butuh apa-apa... aku di luar."
Dan dia keluar—tapi tidak sepenuhnya menutup pintu, meninggalkannya terbuka sedikit, just in case.
---
**[KONFRONTASI - TIDAK ADA EMPATI]**
Begitu Javindra keluar, Daryon menutup pintu—keras.
BRAK!
Suara itu membuat Alviona tersentak sedikit, tapi dia tidak menoleh. Dia kembali menatap langit-langit dengan tatapan yang sama kosongnya.
Daryon berdiri di ujung ranjang, menatap Alviona dengan tatapan yang... sulit dibaca.
Marah? Sedih? Kecewa?
Mungkin semuanya. Atau mungkin tidak ada sama sekali.
"Kau tahu apa yang baru saja hilang?" tanya Daryon dengan nada yang terlalu tenang—tenang sebelum badai.
Alviona tidak menjawab.
"ITU ANAKKU!" Tiba-tiba suara Daryon meledak—keras, penuh amarah yang tertahan. "Itu anak pertamaku! Pewarisku! Dan sekarang dia HILANG!"
Setiap kata seperti cambuk.
Alviona menutup mata—tidak karena takut, tapi karena... dia tidak bisa merespon. Dia tidak punya energi untuk apapun.
"Aku sudah bilang padamu untuk hati-hati! Aku sudah bilang jaga kehamilanmu! Tapi apa yang kau lakukan?!"
Daryon melangkah mendekati ranjang, tangannya mencengkeram railing ranjang dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih.
"Kenapa kau ceroboh?! Kenapa kau tidak bisa jaga kandunganmu sendiri?! Kenapa—"
"Cukup."
Suara Alviona keluar—pelan, tapi ada sesuatu di nada itu yang membuat Daryon berhenti.
Alviona perlahan menoleh menatap Daryon—dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, tatapan Alviona bukan tatapan takut.
Bukan tatapan memohon.
Tapi tatapan... kosong yang mengerikan. Tatapan orang yang sudah kehilangan segalanya dan tidak punya apa-apa lagi untuk diambil.
"Kau pikir aku tidak hati-hati?" tanyanya dengan nada yang... datar. Tanpa emosi. Seperti robot. "Kau pikir aku tidak mencoba melindunginya?"
"Kalau kau hati-hati, dia tidak akan mati!" Daryon balas dengan suara yang masih tinggi.
"Aku jatuh dari tangga, Daryon." Alviona melanjutkan dengan nada yang sama—monotone, hampa. "Jatuh karena tangga licin. Jatuh karena aku harus bawa nampan berat yang ibumu suruh bawa. Jatuh karena..."
Suaranya berhenti sebentar—sesuatu muncul di matanya, sesuatu yang seperti... realisasi.
*Dorongan. Ada yang mendorong aku.*
Tapi dia tidak melanjutkan. Apa gunanya? Siapa yang akan percaya?
"Kau mau menyalahkan aku?" Alviona melanjutkan, kali ini ada hint emosi—emosi yang pahit, yang getir. "Silakan. Salahkan aku. Tambahkan itu ke daftar panjang kesalahanku di matamu."
"Ini bukan tentang menyalahkan—"
"TAPI ITU YANG KAU LAKUKAN!" Untuk pertama kalinya, suara Alviona meninggi—tidak berteriak, tapi ada kekuatan di sana yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri. "Kau masuk ke sini, bukan untuk tanya aku baik-baik saja. Bukan untuk peluk aku. Bukan untuk bilang kita akan melewati ini bersama."
Air mata mulai berkumpul di matanya—tapi bukan air mata sedih biasa. Ini air mata amarah yang sudah terlalu lama dipendam.
"Kau masuk ke sini untuk MENYALAHKAN aku! Untuk bilang ini salahku! Seperti... seperti aku sengaja bunuh anakku sendiri!"
"Aku tidak bilang—"
"KAU TIDAK PERLU BILANG!" Alviona memotong, suaranya bergetar sekarang. "Aku bisa lihat di matamu! Kau menyalahkanku! Kau benci aku karena ini!"
Daryon diam—rahangnya mengeras, tapi dia tidak membantah.
Dan keheningan itu adalah jawaban yang paling jelas.
Alviona tertawa—tawa pahit yang terdengar seperti tangisan.
"Kau tahu apa yang paling menyakitkan?" bisiknya, air mata mengalir sekarang. "Bukan kehilangan bayiku. Bukan rasa sakit dari jatuh. Tapi... menyadari bahwa bahkan di momen ini—momen paling menghancurkan hidupku—kau masih tidak bisa lihat aku sebagai manusia."
Daryon tidak menjawab. Tangannya masih mencengkeram railing ranjang.
"Kau hanya lihat aku sebagai... wadah. Wadah untuk anakmu. Dan sekarang wadah itu rusak, jadi aku tidak berguna lagi."
"Alviona—"
"Pergi."
Kata itu keluar datar tapi final.
Daryon menatapnya—seperti mau bilang sesuatu—tapi kemudian menutup mulutnya.
Dia melepas cengkeraman dari railing ranjang, mundur selangkah.
"Kau benar," ucapnya akhirnya dengan nada yang... dingin. Sangat dingin. "Kau tidak berguna. Bahkan menjaga kandungan pun tidak bisa."
Kata-kata itu ditusukkan dengan presisi—mencari titik paling sakit dan menancapkan pisau di sana.
Dan berhasil.
Alviona merasakan sesuatu di dadanya pecah—tapi dia tidak menangis. Dia hanya menatap Daryon dengan tatapan yang... sudah menyerah.
"Kalau kau sudah sembuh, pulang ke mansion. Kita masih punya kontrak yang harus diselesaikan."
Dan dengan itu, Daryon berbalik.
Berjalan ke pintu.
Membukanya.
Dan pergi.
Meninggalkan Alviona sendirian di ruang rumah sakit yang dingin dan steril.
Sendirian dengan kekosongan di perut dan kekosongan yang lebih besar di hati.
---
**[AFTERMATH - KEHANCURAN TOTAL]**
Pintu tertutup.
Alviona tergeletak di ranjang dengan mata menatap pintu yang baru saja ditutup.
Untuk beberapa saat, dia tidak bergerak.
Tidak bernapas.
Tidak... apa-apa.
Dan kemudian—
Sesuatu di dalam dirinya benar-benar patah.
Bukan retak. Bukan rusak.
Tapi patah total. Hancur berkeping-keping sampai tidak bisa disatukan lagi.
Tangannya bergerak ke perut—menyentuh perban dengan gerakan yang sangat lembut, seperti menyentuh sesuatu yang sangat berharga.
"Maafkan ibu..." bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Maafkan ibu tidak bisa melindungimu dari dunia yang kejam ini..."
Air matanya jatuh—diam-diam, tidak ada isak, hanya mengalir seperti sungai yang lelah.
"Mungkin... mungkin ini lebih baik untukmu... kamu tidak perlu hidup di neraka ini... kamu tidak perlu punya ayah yang tidak mencintaimu dan ibu yang lemah seperti aku..."
Suaranya semakin pelan, semakin lemah.
"Tapi ibu merindukanmu... ibu akan selalu merindukanmu..."
Dan di ruang rumah sakit yang sepi itu, Alviona meringkuk di ranjang—posisi fetal, tangan di perut yang kosong, menangis untuk bayi yang tidak akan pernah bisa dia peluk, untuk kehidupan yang tidak akan pernah bisa dia jalani bersama anaknya.
Menangis sendirian.
Karena tidak ada lagi yang peduli.
---
**Di koridor luar, Javindra berdiri dengan punggung bersandar di dinding, mendengar sebagian percakapan lewat pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Tangannya mengepal erat—sangat erat sampai kuku menancap di telapak tangan dan berdarah. Wajahnya merah karena menahan amarah. Ketika Daryon keluar dengan wajah dingin, Javindra menatapnya dengan tatapan yang penuh... kekecewaan. "Kau monster," bisiknya—cukup keras untuk Daryon dengar. Daryon berhenti sebentar, tidak menoleh, lalu terus berjalan. Dan Javindra masuk ke kamar Alviona—menemukan dia menangis sendirian—dan untuk pertama kalinya, Javindra membiarkan air matanya jatuh juga.**
**Apakah Alviona masih bisa bangkit dari kehancuran total ini? Atau ini akhir dari segalanya? Dan apakah Daryon... akan pernah menyadari betapa hancurnya kata-katanya tadi? Ataukah sudah terlambat untuk penyesalan?**
---
**[ END OF BAB 30 ]**