"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Teror Cincin Berkarat: Siapa Pengkhianat di Dalam Mansion?
Cincin perak yang kusam dan berkerak itu tergeletak di lantai marmer yang dingin, memantulkan cahaya darurat kemerahan yang berkedip di lorong mansion. Risa mematung, dadanya sesak seolah-olah seluruh air sungai Desa Makmur kembali menyumbat paru-parunya. Itu adalah cincin yang sama—cincin murah yang dibelikan Doni dengan uang hasil menipu ayahnya, cincin yang melambangkan awal dari segala penderitaannya.
Revano segera memungut cincin itu, matanya menyipit tajam. "Ini... milik siapa?"
"Doni," bisik Risa, suaranya bergetar. "Dia ada di sini, Revano. Aku mendengar suaranya di tengah asap tadi."
Revano mencengkeram lengan Risa, mencoba menenangkannya. "Tidak mungkin. Anak buahku sudah menyisir sungai selama berhari-hari. Tidak ada manusia yang bisa selamat dari jatuh di titik itu."
"Doni bukan manusia biasa, Revano. Dia adalah kecoa yang akan selalu merangkak kembali dari selokan terdalam!" Risa menarik napas tajam, mencoba mengumpulkan kembali kewarasannya yang hampir pecah.
Lampu utama mansion kembali menyala dengan sentakan keras. Para pengawal berbaju hitam segera membanjiri lorong, namun penyusup itu telah lenyap seperti asap. Leo datang dengan napas terengah-engah, wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa.
"Tuan... Nona... sistem keamanan kita diretas dari dalam. Seseorang menonaktifkan kamera koridor lantai tiga tepat dua menit sebelum serangan," lapor Leo.
Revano menatap jajaran pengawalnya dengan tatapan predator yang siap menerkam. "Dari dalam? Artinya ada pengkhianat di antara orang-orang yang aku bayar mahal untuk menjaga rumah ini."
[SISTEM : AKTIF!]
[MISI : TEMUKAN PENYUSUP & IDENTIFIKASI PENGKHIANAT INTERNAL.]
[REWARD : 500 POIN DENDAM & UNLOCK ITEM: 'PELACAK JEJAK TERMAL'.]
[STATUS MENTAL HOST : TIDAK STABIL (DIBUTUHKAN FOKUS).]
Risa memejamkan mata sejenak, menekan layar biru di hadapannya. Sistem, aktifkan pelacak jejak termal sekarang!
[TING! PELACAK DIAKTIFKAN. MEMINDAI SISA PANAS DI SEKITAR...]
Visi Risa berubah. Dunia di sekelilingnya menjadi biru redup, kecuali beberapa bercak jingga kemerahan di lantai. Jejak kaki. Jejak kaki itu tidak mengarah ke pintu keluar atau jendela, melainkan menuju ke arah Sayap Timur—paviliun tempat tinggal para pelayan senior dan asisten rumah tangga.
"Revano, ikut aku," perintah Risa tanpa penjelasan.
Ia berlari menyusuri lorong panjang, melewati deretan lukisan kuno keluarga Adhyaksa yang tampak menghakimi setiap langkahnya. Revano mengikutinya dengan pistol yang masih terhunus. Mereka sampai di depan sebuah pintu kayu jati kecil yang menuju ke area dapur utama dan asrama pelayan.
Jejak panas itu berhenti tepat di depan sebuah loker besi milik salah satu pelayan.
"Buka loker ini," ujar Risa pada Leo yang menyusul di belakang.
"Tapi Nona, ini loker milik Mbok Sum, koki senior yang sudah bekerja tiga puluh tahun untuk Tuan Besar," jawab Leo ragu.
"BUKA!" bentak Revano.
Leo menggunakan kunci master. Pintu besi itu berderit terbuka. Di dalamnya, tidak ada pakaian pelayan. Yang ditemukan adalah sebuah perangkat pemancar radio kecil yang masih hangat, beberapa lembar foto Risa yang diambil secara sembunyi-sembunyi dari jarak jauh, dan sebuah botol kecil berisi racun yang sama dengan yang ada di gelas Tuan Besar tadi malam.
Namun yang paling mengejutkan adalah sebuah surat pendek yang ditulis di atas kertas kusam: "Tuan Besar menginginkan kepalanya. Doni menginginkan tubuhnya. Pastikan dia tidak pernah keluar dari mansion ini hidup-hidup malam ini."
Risa terjatuh di kursi kayu dapur, tubuhnya lemas. Mbok Sum, wanita tua yang tadi pagi masih menyajikannya teh melati dengan senyuman hangat, ternyata adalah kaki tangan Adrian dan Doni.
"Dia bukan bekerja untuk Tuan Besar," bisik Risa. "Dia bekerja untuk rasa benci. Dia adalah kerabat jauh dari keluarga Wijaya yang menyusup ke sini bertahun-tahun lalu."
"Tangkap Mbok Sum sekarang!" perintah Revano pada anak buahnya. "Dan segel seluruh pintu keluar. Tidak ada yang boleh meninggalkan mansion ini, bahkan seekor tikus pun!"
Revano berbalik ke arah Risa, ia berlutut di depan istrinya dan memegang kedua tangannya. "Risa, lihat aku. Doni tidak akan menyentuhmu. Aku bersumpah demi nyawaku sendiri. Mansion ini sekarang adalah benteng, bukan lagi rumah."
Risa menatap Revano. Ia melihat ketulusan di mata pria itu, namun sistem terus berkedip merah.
[PERINGATAN! PENGKHIANAT BUKAN HANYA SATU.]
[DETEKSI SINYAL AKTIF DARI RUANG PERPUSTAKAAN.]
"Revano... Kakekmu," ujar Risa tiba-tiba. "Dia tidak hanya diam. Dia sedang menghubungi seseorang."
Mereka kembali ke perpustakaan. Tuan Besar Adhyaksa masih duduk di sana, namun kali ini ia tidak sendirian. Melati berdiri di belakangnya, memijat bahu pria tua itu dengan gerakan yang sangat akrab.
"Kau kembali begitu cepat, Risa? Aku kira kau sedang sibuk bersembunyi di bawah ketiak 'cucu' palsuku ini," ejek Tuan Besar.
"Di mana Doni?" tanya Risa tanpa basa-basi.
Melati tertawa, suara tawanya terdengar lebih berani dari sebelumnya. "Doni? Dia sedang beristirahat, Risa. Setelah kau mencoba membunuhnya di sungai, dia membutuhkan banyak perawatan. Untungnya, Tuan Besar memiliki dokter terbaik yang bisa merahasiakan segalanya."
Darah Risa mendidih. "Jadi kau menyembunyikan pembunuh di bawah atap ini, Tuan Besar?! Kau membiarkan tikus itu mencoba membunuh cucumu sendiri?"
"Cucu?" Tuan Besar mendengus. "Kau hanya cucu jika kau berguna. Jika kau memberontak, kau hanyalah sampah yang mencoreng nama baik Adhyaksa. Doni memberikan penawaran yang menarik. Dia memiliki akses ke kunci digital cadangan yang ditaruh Adrian di bank luar negeri. Dia butuh kau untuk verifikasi fisik terakhir, dan setelah itu, dia bebas melakukan apa pun padamu."
"Pria tua gila," kutuk Revano. Ia menodongkan pistolnya tepat ke arah kakeknya sendiri. "Aku tidak peduli jika aku bukan darahmu. Tapi jika kau menyentuh Risa, aku akan memastikan dinasti yang kau bangun ini berakhir malam ini juga."
"Kau tidak akan menembakku, Revano. Kau terlalu mencintai kekuasaan yang aku berikan padamu," tantang Tuan Besar.
Tiba-tiba, suara tepuk tangan terdengar dari balik tirai besar perpustakaan. Sesosok pria muncul. Wajahnya dibalut perban di bagian dahi dan pipi kirinya, namun matanya yang penuh kegilaan itu tidak bisa salah lagi.
Doni Wijaya.
"Halo, Risa. Rindu padaku?" Doni tersenyum, menampakkan deretan gigi yang sebagian sudah pecah. Ia memegang sebuah alat kendali jarak jauh. "Rumah ini sudah dipasangi peledak di setiap pilar utamanya. Jika Revano menarik pelatuk itu, kita semua akan terkubur bersama sejarah Adhyaksa."
Risa berdiri tegak, ia tidak lagi gemetar. Ia berjalan perlahan mendekati Doni, mengabaikan tarikan tangan Revano.
"Kau pikir peledak itu akan berfungsi, Doni?" tanya Risa tenang.
"Tentu saja! Aku sendiri yang memasangnya bersama Mbok Sum!"
Risa mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah layar yang menampilkan grafik sistem keamanan mansion. "Kau lupa bahwa suamiku adalah ahli teknologi nikel dan sistem integrasi. Dan aku... aku memiliki sistem yang tidak bisa kau pahami. Begitu Mbok Sum tertangkap, seluruh frekuensi radio di rumah ini sudah diblokir oleh Leo. Alatmu itu sekarang tidak lebih dari mainan plastik."
Doni menekan tombol itu berkali-kali dengan panik. Tidak ada yang terjadi.
"Sialan! JALANG!" Doni menerjang Risa dengan pisau lipat.
[SISTEM : AKTIFKAN MANIPULASI PIKIRAN - STANDBY.]
Risa tidak menghindar. Ia justru menatap mata Doni secara langsung. "Doni... kau ingat rasa dingin di air sungai itu? Kau ingat bagaimana rasanya saat paru-parumu mulai terisi air?"
Doni membeku di tengah serangannya. Halusinasi itu kembali menyerangnya dengan kekuatan sepuluh kali lipat. Di mata Doni, ruangan itu mendadak berubah menjadi dasar sungai yang gelap. Ia mulai tersedak, memegangi lehernya sendiri seolah-olah ia benar-benar sedang tenggelam.
"Air... terlalu banyak air..." gumam Doni, ia jatuh berlutut di hadapan Risa, pisau di tangannya terlepas.
Revano segera maju dan menendang Doni hingga pria itu tersungkur ke lantai. Para pengawal segera meringkus Doni dan mengikatnya dengan rantai baja.
"Bawa dia ke gudang bawah tanah yang paling dalam," perintah Revano dengan nada yang bisa membekukan darah siapa pun. "Dan Melati... masukkan dia ke kamar isolasi. Jangan beri dia makan sampai dia mengaku siapa lagi yang membantu mereka."
Suasana perpustakaan menjadi sunyi kembali, menyisakan Tuan Besar yang menatap kekalahan rencananya dengan wajah datar.
"Kau menang kali ini, Risa," ujar Tuan Besar. "Tapi ingat, di Jakarta, musuh sejati bukan mereka yang memegang pisau. Musuh sejati adalah mereka yang memegang surat utangmu."
"Aku tidak punya hutang pada siapa pun, Tuan Besar," jawab Risa. "Termasuk hutang nyawa padamu. Mulai besok, aku akan memulai proses pembersihan di dewan direksi. Dan Anda... Anda akan dipindahkan ke sanatorium pribadi di luar kota untuk 'beristirahat' secara permanen."
Risa berbalik dan keluar dari perpustakaan, diikuti oleh Revano. Saat mereka sampai di koridor yang kini sudah aman, Risa menghentikan langkahnya.
"Revano," panggil Risa pelan.
"Ya?"
"Terima kasih karena tidak melepaskan tanganku tadi."
Revano menarik Risa ke dalam pelukannya. Di tengah kehancuran keluarga dan identitasnya, Risa menyadari bahwa Revano adalah satu-satunya hal yang nyata.
"Kita belum selesai, Risa," bisik Revano di telinganya. "Doni hanya pion. Adrian masih hidup dan dia berada di Singapura. Dan Kakek... dia benar soal satu hal. Surat utang. Perusahaan ayahmu, Permata Group, ternyata memiliki hutang rahasia pada sebuah konsorsium misterius bernama 'The Shadow'. Nilainya mencapai 50 triliun rupiah."
Risa tertegun. 50 triliun? Bagaimana mungkin?
[SISTEM : INFORMASI BARU DITERIMA!]
[MISI FASE 3 : UNGKAP MISTERI 'THE SHADOW' & SELAMATKAN PERMATA GROUP DARI KEBANGKRUTAN TOTAL.]
[INFO : THE SHADOW DIPIMPIN OLEH SESEORANG YANG SANGAT DEKAT DENGAN IBUNDA RISA DI MASA LALU.]
Risa melepaskan pelukannya, matanya kembali menajam. Perjalanannya menuju Bab 150 benar-benar masih sangat jauh. Setiap kali ia memotong satu kepala ular, dua kepala baru muncul dari kegelapan.
"Siapa 'The Shadow' ini, Revano?"
"Kudengar pemimpinnya adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama 'Madame L'. Dan menurut rumor, dia adalah saudara kembar ibumu yang dianggap sudah mati dalam kebakaran besar tiga puluh tahun lalu."
Risa membelalak. Saudara kembar Ibu? Madame L?
Permainan ini baru saja naik ke tingkat yang jauh lebih personal dan berbahaya. Risa menyadari bahwa ia tidak hanya berjuang untuk dendamnya sendiri, tapi ia sedang mengurai benang kusut sejarah kelam yang menyelimuti kelahirannya.
Keesokan paginya, sebuah jet pribadi mendarat di bandara Halim Perdanakusuma. Seorang wanita cantik dengan pakaian serba putih dan kacamata hitam turun dari pesawat, dikawal oleh puluhan pria bersenjata.
Wanita itu mengeluarkan sebuah foto lama Risa dan meremasnya. "Akhirnya, putri pengkhianat itu sudah dewasa. Mari kita lihat, apakah darah Adhyaksa-nya bisa menyelamatkannya dari hutang ibunya."
Siapakah Madame L yang misterius ini? Dan apakah dia sekutu atau musuh yang jauh lebih mengerikan dari Adrian Permata?