Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: KEHAMILAN YANG TIDAK TERDUGA
---
# 🤰
Dua bulan berlalu sejak malam itu.
Dua bulan yang terasa seperti dua tahun.
Alviona perlahan—sangat perlahan—mulai bisa berjalan lagi. Tapi jalannya berubah. Lebih hati-hati. Lebih pelan. Seperti orang yang takut tubuhnya akan hancur kapan saja kalau bergerak terlalu cepat.
Lebam-lebam di tubuhnya memudar jadi warna kuning kehijauan sebelum akhirnya hilang. Tapi bekas di dalam—yang gak keliatan—tetap ada. Menganga. Berdarah diam-diam.
Daryon? Setelah malam itu, dia menghilang selama seminggu penuh. Ketika akhirnya pulang, dia gak pernah masuk kamar Alviona lagi. Bahkan gak pernah ngeliatin dia. Seperti Alviona jadi hantu di rumahnya sendiri.
Dan Alviona... bersyukur.
Tapi ada sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya.
---
Hari pertama Alviona menyadari sesuatu yang gak beres adalah ketika dia muntah pagi-pagi sekali—sebelum sarapan, sebelum makan apapun.
Dia pikir itu cuma flu. Atau efek trauma. Tubuhnya sering bereaksi aneh sejak malam itu.
Tapi muntahnya terus berlanjut. Setiap pagi. Kadang siang. Kadang cuma mencium bau makanan tertentu langsung mual.
Minggu kedua, dia menyadari sesuatu yang lebih mengkhawatirkan.
Dadanya... sakit. Sensitif. Setiap kali tersentuh—bahkan cuma kena baju—rasanya kayak ditusuk jarum kecil.
Dan yang paling menakutkan...
Dia telat.
Telat datang bulan.
Satu bulan dia pikir itu karena stres. Trauma berat bisa bikin siklus menstruasi berantakan—dia pernah baca itu di buku kesehatan.
Tapi sekarang sudah dua bulan.
Dua bulan tanpa menstruasi sama sekali.
---
Sore itu, Alviona duduk di tepi ranjangnya dengan tangan gemetar memegang ponsel. Jarinya scroll Google dengan kata kunci: "telat datang bulan dua bulan."
Hasil pencarian muncul.
Dan satu kata itu muncul di hampir semua artikel:
**Hamil.**
Jantung Alviona berhenti sedetik.
Napasnya tersangkut di tenggorokan.
"Gak... gak mungkin..." bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar hebat.
Tapi pikiran logisnya mulai bekerja—menghitung mundur. Malam terakhir Daryon menyentuhnya adalah... dua bulan lalu. Malam terburuk itu.
Dan sejak itu... tidak ada menstruasi.
Tangan Alviona langsung meraih perutnya—perutnya yang masih rata, masih kecil—tapi sekarang terasa... berbeda. Asing. Seperti ada sesuatu di dalam sana yang bukan bagian dari dirinya.
"Tidak... tidak..." Air matanya mulai keluar, tapi dia menggeleng keras. "Aku harus... aku harus pastikan dulu..."
---
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali—sebelum Daryon bangun, sebelum pelayan mulai beraktivitas—Alviona menyelinap keluar mansion.
Ini pertama kalinya dia keluar sendirian sejak percobaan kabur yang gagal dulu.
Tapi kali ini dia gak kabur.
Dia cuma... perlu tahu.
Dia jalan kaki ke apotek terdekat—sekitar 15 menit dari mansion. Setiap langkah terasa berat, bukan karena sakit fisik, tapi karena ketakutan yang menghimpit dada.
Di apotek, dia berdiri lama di depan rak test pack kehamilan. Ada banyak merek. Banyak pilihan.
Tapi semuanya punya tujuan yang sama: memberitahu kebenaran yang mungkin menghancurkannya.
Dengan tangan gemetar, dia mengambil satu kotak—yang paling murah—dan membawanya ke kasir.
Mbak kasir—perempuan paruh baya dengan wajah ramah—tersenyum ketika melihat Alviona.
"Semoga hasilnya sesuai harapan ya, Dek," ucapnya lembut sambil memasukkan test pack ke plastik kecil.
Alviona cuma tersenyum tipis—senyum yang gak sampai mata—dan membayar dengan uang receh yang dia kumpulkan dari sisa uang jajan dulu.
---
Alviona gak langsung balik ke mansion.
Dia masuk ke café kecil di seberang apotek—café murah yang sepi, cuma ada beberapa pengunjung. Dia pesan air putih—karena itu yang paling murah—dan langsung masuk ke toilet.
Toilet café itu kecil, bersih tapi simple. Cermin di atas wastafel sedikit buram. Lampu neon berkedip-kedip pelan.
Alviona mengunci pintu, bersandar sebentar di pintu itu, mengambil napas dalam-dalam.
Tangannya gemetar ketika dia membuka kotak test pack. Membaca instruksi dengan mata yang berair—huruf-hurufnya blur karena air mata.
*Pipis di stick. Tunggu 3-5 menit. Satu garis: negatif. Dua garis: positif.*
Sederhana.
Tapi hasilnya bisa mengubah segalanya.
Dengan tangan yang hampir gak bisa dipegang stabil, Alviona melakukan tes itu. Setelah selesai, dia meletakkan stick di tepi wastafel.
Dan menunggu.
Tiga menit terasa seperti tiga jam.
Alviona berdiri di sana—punggung bersandar di dinding, tangan menutup mulut, mata menatap stick itu tanpa berkedip.
Detik pertama: satu garis muncul.
*Mungkin negatif.*
Detik kedua: garis kedua mulai muncul—samar, tapi ada.
*Mungkin salah lihat.*
Detik ketiga: garis kedua makin jelas.
Detik keempat: dua garis. Jelas. Tegas.
**Positif.**
Alviona merosot. Kakinya lemas total. Punggungnya meluncur di dinding sampai dia duduk di lantai toilet yang dingin.
Stick test pack jatuh dari tangannya, tergeletak di lantai dengan dua garis merah yang terang benderang.
Dua garis yang mengubah segalanya.
"Tidak..." bisiknya parau, kepalanya menggeleng pelan. "Tidak... tidak... tidak..."
Tapi tubuhnya tahu. Deep down, dia sudah tahu sebelum tes ini. Dia cuma... berharap dia salah.
Tangannya perlahan—gemetar hebat—meraih perutnya yang masih rata.
Di dalam sana...
Ada kehidupan.
Kehidupan yang tumbuh dari malam paling kelam hidupnya.
Kehidupan yang tidak dia minta. Tidak dia rencanakan. Tidak dia inginkan.
Tapi... ada.
Air matanya jatuh—deras, tanpa suara, cuma mengalir seperti sungai yang pecah bendungannya.
"Kenapa..." bisiknya pada dirinya sendiri, pada Tuhan, pada siapapun yang mungkin mendengar. "Kenapa sekarang... kenapa harus sekarang..."
---
Alviona gak tahu berapa lama dia duduk di lantai toilet café itu.
Mungkin sepuluh menit.
Mungkin dua puluh menit.
Sampai ada ketukan di pintu.
"Mbak? Mbak di dalam baik-baik saja?" Suara pelayan café—khawatir tapi sopan.
Alviona langsung tersadar. Dia berdiri cepat—terlalu cepat—sampai kepalanya pusing. Dia cuci muka dengan air dingin, ngusap air mata, nyoba bikin wajahnya terlihat... normal.
"Iya! Maaf! Sebentar lagi keluar!" jawabnya dengan suara yang dia paksa terdengar stabil.
Dia ambil test pack dari lantai, masukin ke kantong plastik apotek, sembunyiin di dalam tas kecilnya.
Keluar dari toilet dengan wajah pucat tapi... tegar.
---
Perjalanan pulang ke mansion terasa seperti berjalan di kabut tebal.
Alviona jalan dengan autopilot—kakinya bergerak, tapi pikirannya melayang kemana-mana.
*Aku hamil.*
*Aku hamil dengan anak Daryon.*
*Anak dari laki-laki yang membenciku.*
*Anak dari malam yang menghancurkanku.*
Setiap langkah terasa berat. Bukan karena fisik, tapi karena realisasi yang terus menghantam seperti ombak.
Sampai di mansion, untungnya tidak ada yang menyadari dia keluar. Bi Sari sedang sibuk di dapur. Pelayan lain sedang beresin ruang makan.
Alviona langsung naik ke kamarnya—cepat, diam-diam—dan mengunci pintu.
Dia rebahan di ranjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
Tangannya pelan-pelan meraih perutnya lagi. Mengelus lembut bagian yang masih rata itu.
Di dalam sana... ada kehidupan kecil yang bergantung padanya.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama...
Alviona merasakan sesuatu yang bukan cuma kehampaan.
Ada... ketakutan yang lebih besar dari apapun yang pernah dia rasakan.
Tapi juga... ada sesuatu yang aneh.
Sesuatu yang sangat kecil, sangat samar, tapi ada.
*Harapan?*
Bukan harapan besar. Bukan harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tapi harapan kecil bahwa... mungkin... mungkin dengan bayi ini...
*Mungkin Daryon akan berubah?*
*Mungkin dia akan berhenti menyakitiku?*
*Mungkin... mungkin dia akan melihatku sebagai manusia?*
Pikiran itu muncul seperti cahaya kecil di kegelapan—cahaya yang hampir mati, tapi masih berkedip pelan.
"Mungkin..." bisiknya pada perutnya sendiri, suaranya bergetar, "mungkin dengan kamu... semuanya akan berubah?"
Tapi begitu kata-kata itu keluar, realisasi lain menghantam.
Realisasi yang lebih gelap.
Lebih menakutkan.
*Bagaimana kalau tidak berubah?*
*Bagaimana kalau Daryon tetap membenciku?*
*Bagaimana kalau... bagaimana kalau dia membenci bayi ini juga?*
Air mata Alviona keluar lagi—kali ini lebih deras, lebih dalam.
Dia meringkuk di ranjang, memeluk perutnya dengan kedua tangan—seperti mencoba melindungi sesuatu yang belum terbentuk sempurna dari dunia yang kejam ini.
"Maafkan ibu, sayang..." bisiknya di antara isak tangis yang mulai keluar. "Maafkan ibu..."
Suaranya pecah total sekarang.
"Kau akan lahir di dalam neraka."
Kata-kata itu bergema di kamar kosong.
Kata-kata yang paling menyakitkan yang pernah dia ucapkan.
Karena dia tahu—deep down dia tahu—bahwa bayi ini akan lahir bukan di dalam kehangatan keluarga yang penuh cinta.
Tapi di tengah kebencian.
Di tengah kekerasan.
Di tengah pernikahan yang lebih mirip penjara daripada rumah.
Dan Alviona... tidak tahu bagaimana melindungi bayi ini dari semua itu.
---
Malam itu, Alviona tidak tidur.
Dia hanya meringkuk di ranjang, satu tangan di perut, mata terbuka menatap kegelapan.
Pikirannya berputar tanpa henti:
*Apa yang harus aku lakukan?*
*Haruskah aku bilang Daryon?*
*Haruskah aku bilang keluargaku?*
*Haruskah aku... haruskah aku menyimpan ini sendirian?*
Tidak ada jawaban yang datang.
Hanya keheningan malam yang mencekik.
Dan di tengah keheningan itu, Alviona berbisik pada bayi yang bahkan belum sebesar biji kacang di dalam rahimnya:
"Ibu akan melindungimu... entah bagaimana caranya... ibu janji akan melindungimu..."
Tapi bahkan saat mengucapkan janji itu...
Dia tidak tahu apakah dia cukup kuat untuk menepatinya.
---
**Di ruang kerjanya, Daryon duduk dengan laptop terbuka tapi tidak benar-benar bekerja. Pikirannya melayang ke malam dua bulan lalu. Malam yang bahkan dia sendiri tidak bisa lupakan—bukan karena menyesal, tapi karena ada sesuatu yang mengganjal. "Aku terlalu kasar," bisiknya pada diri sendiri. Tapi kemudian dia menggeleng. "Dia cuma kontrak. Kenapa aku harus peduli?" Tapi kenapa... kenapa sekarang setiap kali dia lewat kamar Alviona, dadanya terasa sesak? Kenapa dia menghindari rumah ini? Kenapa dia... takut melihat wajahnya?**
**Apakah Alviona akan memberitahu Daryon tentang kehamilan ini? Atau dia akan menyimpannya sendiri sampai tidak bisa disembunyikan lagi? Dan yang paling penting... apakah kehadiran bayi ini akan mengubah sesuatu? Atau malah menambah lapisan baru dalam neraka yang sudah Alviona jalani? Dan apakah... apakah bayi ini akan selamat di tengah semua kehancuran ini?**
---
**[ END OF BAB 20 ]**