Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Api dalam Sekam
Pukul 02.15 WIB.
Keheningan malam di penthouse lantai 50 itu pecah oleh suara yang paling ditakuti penghuni gedung pencakar langit.
NEEEENG... NEEEENG... NEEEENG...
Alarm kebakaran meraung-raung, menggema di seluruh penjuru apartemen mewah itu. Lampu darurat (emergency lamp) berwarna merah berkedip-kedip di lorong, menciptakan suasana mencekam.
Nayla tersentak bangun dari tidur ayamnya di sisi ranjang Nando. Jantungnya serasa mau copot. Nando terbangun dan langsung menangis kaget.
"Ibu... takut..."
"Ssst, tenang Nak. Ada Ibu," Nayla langsung menggendong Nando.
Pintu kamar terbuka kasar. Adit masuk, wajahnya tegang namun terkendali. Ia sudah mengenakan sepatunya dan memegang senter taktis.
"Nay, bangunin Nenek. Kita harus keluar sekarang," perintah Adit tegas.
"Ada kebakaran, Mas? Di mana?" tanya Nayla panik sambil berlari ke kamar sebelah untuk membangunkan Nenek Ijah.
"Indikator panel saya menunjukkan asap di basement dan lobi. Lift utama dimatikan otomatis. Kita harus lewat tangga darurat atau lift barang yang punya generator sendiri."
Nenek Ijah bangun dengan bingung. "Ada apa to, Dit? Kok berisik banget?"
"Kebakaran kecil, Nek. Ayo jalan, saya gendong Nenek kalau nggak kuat," Adit tidak membiarkan mereka berpikir. Ia memapah Nenek Ijah, sementara Nayla menggendong Nando.
Mereka keluar menuju ruang tamu. Namun, langkah Adit terhenti mendadak saat ia melihat layar monitor CCTV di dinding ruang tamu.
Di layar itu, terlihat lorong depan pintu penthouse-nya. Kosong.
Tapi pintu akses tangga darurat di ujung lorong itu terbuka sedikit, diganjal oleh sebuah tabung pemadam api.
Dan di layar CCTV service lift (lift barang), Adit melihat seseorang baru saja keluar di lantai 50. Seorang wanita dengan jaket hoodie hitam dan masker, membawa jerigen plastik.
"Sial," desis Adit. Wajahnya memucat. "Ini bukan kebakaran biasa. Ini jebakan."
"Maksud Mas?" Nayla menatap layar itu, lalu menutup mulutnya ngeri. "Itu... Vina?"
"Dia memicu alarm di bawah buat ngalihin perhatian sekuriti, terus naik lewat lift barang pas semua orang panik turun," analisis Adit cepat. "Dia ada di depan pintu kita sekarang."
DUG! DUG! DUG!
Suara hantaman benda keras terdengar di pintu ganda penthouse yang terbuat dari kayu jati tebal itu.
"KELUAR LO, NAYLA! JANGAN NGUMPET DI KETIAK ORANG KAYA!" Teriak suara wanita yang melengking histeris dari luar.
Nenek Ijah gemetar ketakutan. Nando menangis makin kencang.
"Mas... dia bawa bensin..." bisik Nayla, melihat jerigen di layar CCTV.
Adit menatap pintu, lalu menatap Nayla. Otaknya berputar cepat. Pintu itu anti-peluru dan tahan api, tapi asap bisa masuk lewat celah ventilasi jika Vina membakar lorong. Dan mereka terjebak di lantai 50.
"Dengerin saya," Adit mencengkeram bahu Nayla. "Kalian masuk ke Master Bedroom (kamar utama) saya. Pintunya pake kode digital, kedap udara, dan ada balkon luas buat evakuasi udara kalau asep masuk. Kunci dari dalem. Jangan keluar apapun yang terjadi."
"Terus Mas Adit mau ngapain?"
"Saya harus hentikan dia sebelum dia bakar lorong ini. Kalau lorong kebakar, kita semua terpanggang di sini."
"Jangan Mas! Dia gila! Dia bawa senjata!" Nayla menahan lengan Adit.
Adit menatap mata Nayla dalam-dalam. "Percaya sama saya, Nay. Saya janji bakal balik utuh. Sekarang MASUK!"
Adit mendorong lembut mereka ke arah kamar utama. Setelah memastikan pintu kamar terkunci rapat dan lampu indikatornya hijau (aman), Adit berjalan menuju pintu depan.
Ia mengambil sebuah tongkat golf iron-7 dari tas golf-nya yang tergeletak di sudut ruangan sebagai senjata pertahanan diri.
Adit menarik napas panjang, menekan tombol pembuka kunci otomatis pintu depan.
Klik.
Pintu terbuka.
Di lorong apartemen yang remang-remang karena lampu darurat, Vina berdiri lima meter di depannya. Penampilannya kacau balau. Rambutnya awut-awutan, matanya merah menyala, tangannya memegang jerigen yang tutupnya sudah terbuka, dan tangan kirinya memegang pemantik api (lighter) besar.
Bau bensin menyengat hidung Adit. Lantai marmer lorong itu sudah basah oleh cairan yang ditumpahkan Vina.
"Vina," panggil Adit tenang, berusaha tidak memprovokasi. "Letakkan pemantiknya. Polisi sudah di jalan."
Vina tertawa. Tawa yang mengerikan, menggema di lorong kosong itu.
"Polisi? Bodo amat! Gue udah nggak punya apa-apa lagi, Dit! Karir gue hancur, hidup gue hancur, gara-gara lo belain perempuan kampung itu!" Vina menunjuk pintu apartemen dengan pemantiknya.
"Kamu hancur karena ulahmu sendiri, Vina. Bukan karena Nayla," balas Adit tegas, melangkah maju satu langkah.
"DIAM! JANGAN MAJU!" Vina menyiramkan sisa bensin di jerigen ke arah kaki Adit. Cairan itu membasahi celana dan sepatu Adit.
"Satu langkah lagi lo maju, gue bakar kita semua!" ancam Vina, jempolnya sudah siap menekan pemantik.
Adit berhenti. Jantungnya berpacu cepat. Bensin di kakinya. Api di tangan Vina. Situasi ini sangat buruk.
"Oke, saya diem. Apa mau kamu?" tanya Adit, mengangkat tangan kirinya (tangan kanan menyembunyikan tongkat golf di belakang punggung).
"Gue mau dia keluar! Gue mau Nayla sujud di kaki gue minta maaf! Gue mau dia ngaku kalau dia cuma pelacur yang manfaatin lo!"
"Nayla nggak ada di sini. Dia udah dievakuasi lewat atap," bohong Adit.
"BOHONG!" Vina histeris. "Gue liat CCTV lobi, dia belum keluar! Panggil dia keluar atau gue lempar ini!"
Vina mengangkat pemantiknya tinggi-tinggi. Api kecil menyala di ujungnya.
Adit tahu ia tidak punya waktu lagi. Negosiasi gagal. Orang gila tidak bisa diajak bicara.
Saat Vina sedang fokus melihat ke arah pintu apartemen yang terbuka, Adit melihat sprinkler (penyemprot air otomatis) di langit-langit tepat di atas kepala Vina.
Adit harus mengambil risiko gila.
"Vina, liat di belakang kamu! Polisi!" teriak Adit sambil menunjuk ke arah lift barang.
Itu trik klise, tapi dalam keadaan paranoid, Vina reflek menoleh sepersekian detik.
Momen itu dimanfaatkan Adit.
Bukannya lari menerjang Vina, Adit mengayunkan tongkat golf-nya sekuat tenaga ke arah sprinkler di langit-langit lorong.
PRANG!
Kepala sprinkler pecah.
Sistem pemadam kebakaran gedung mendeteksi penurunan tekanan drastis.
BYAAAARRRR!
Air bertekanan tinggi menyembur keluar dari sprinkler itu, tepat di atas kepala Vina, mengguyur wanita itu dan membasahi lantai yang penuh bensin. Di saat yang sama, sprinkler lain di sepanjang lorong ikut aktif, menciptakan hujan buatan yang deras.
Api di pemantik Vina padam seketika kena guyuran air.
Vina menjerit kaget, kelilipan air. "AAARGH!"
Adit tidak membuang waktu. Ia membuang tongkatnya dan menerjang Vina. Tubuhnya yang basah kuyup menubruk Vina hingga wanita itu terpental ke dinding.
"Lepasin gue! LEPASIN!" Vina meronta, mencakar wajah Adit. Kukunya menggores pipi Adit hingga berdarah.
Tapi tenaga Vina tidak sebanding dengan Adit. Adit memiting tangan Vina ke belakang, menekan tubuhnya ke lantai yang banjir.
"Cukup, Vina! CUKUP!" bentak Adit di telinga Vina.
Di saat bersamaan, pintu tangga darurat di ujung lorong terbuka kasar. Kevin dan tiga orang sekuriti berseragam lengkap berlari masuk dengan senjata taser (pengejut listrik).
"Pak Adit! Tahan dia!" teriak Kevin.
Sekuriti langsung mengambil alih, memborgol tangan Vina. Wanita itu masih berteriak-teriak memaki, suaranya bercampur dengan bunyi alarm dan gemuruh air sprinkler.
Adit mundur, napasnya terengah-engah. Seluruh tubuhnya basah kuyup, campuran antara air dan bau bensin yang menyengat. Pipinya perih akibat cakaran.
"Amankan dia. Pastikan dia nggak bisa lolos lagi," perintah Adit dingin pada Kevin.
Vina diseret pergi oleh sekuriti, matanya menatap Adit dengan kebencian murni. "Ini belum selesai, Adit! Belum selesai!"
"Udah selesai, Vin. Kamu kalah," gumam Adit pelan.
Kevin mematikan katup air di lorong itu. Hujan buatan berhenti. Adit bersandar di dinding, kakinya lemas. Adrenalinnya surut, digantikan rasa lelah yang luar biasa.
Pintu apartemen terbuka.
Nayla berlari keluar. Ia mendengar keributan itu mereda.
"Mas Adit!"
Nayla melihat Adit yang terduduk di lantai basah, bajunya kotor, pipinya berdarah. Tanpa peduli bau bensin, Nayla menghambur memeluk Adit.
"Mas... Mas nggak apa-apa? Ya Allah, darah..." Nayla menyentuh pipi Adit dengan tangan gemetar, air matanya bercampur dengan air dari baju Adit.
Adit tersenyum lemah, meraih tangan Nayla dan menciumnya.
"Cuma goresan dikit, Nay. Yang penting kamu selamet. Nenek sama Nando selamet."
Nayla memeluk leher Adit erat-erat, menenggelamkan wajahnya di bahu pria itu.
"Bodoh... Mas bodoh banget ngelawan dia sendirian..." isak Nayla. "Kalau tadi Mas kebakar gimana? Kalau Mas mati gimana?"
"Saya nggak akan mati sebelum ngelamar kamu beneran, Nay," bisik Adit di telinga Nayla.
Di tengah lorong yang banjir dan bau bensin, di bawah lampu darurat yang remang-remang, dua hati itu akhirnya menyatu tanpa ada lagi rahasia, tanpa ada lagi gengsi.
Bahaya telah lewat. Badai telah berlalu.
Namun, Adit tahu satu hal: ia harus segera mandi. Karena kalau tidak, ia akan bau seperti SPBU saat melamar Nayla nanti.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️