NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30: Hening di Perjalanan Pulang

Bab 30: Hening di Perjalanan Pulang

Jalan Raya Puncak siang itu adalah definisi neraka duniawi.

Padat. Merayap. Macet total.

Mobil-mobil berplat B mengular panjang, terjebak di antara kebun teh yang mulai gundul dan warung-warung jagung bakar yang mengepulkan asap arang.

Klise akhir pekan.

Di dalam kabin mobil coupe Juan yang kedap suara, dunia luar terasa jauh dan terdistorsi.

Teriakan pedagang asongan yang menawarkan kerupuk dan kacang rebus hanya terdengar samar seperti gumaman lebah.

Yang terdengar jelas di dalam sini hanyalah dua hal.

Alunan musik jazz instrumental dari playlist Juan yang mahal dan sophisticated.

Dan suara napas mereka sendiri.

Yuni duduk bersandar di kursi penumpang.

Kepalanya dimiringkan, menempel pada kaca jendela yang dingin.

Matanya menatap kosong ke luar.

Melihat kabut tipis yang mulai turun lagi menyelimuti bukit, menelan puncak-puncak pohon pinus.

Pikirannya melayang jauh.

Kejadian dua hari terakhir berputar di kepalanya seperti gulungan film yang rusak.

Berulang-ulang.

Wajah Oma yang keras saat bertanya tentang kemiskinan.

Wajah Clarissa yang pucat saat dihina.

Tangan Juan yang berdarah karena duri mawar.

Dan pelukan di lantai dansa semalam.

Semuanya terasa nyata.

Terlalu nyata.

Seperti mimpi demam yang meninggalkan bekas luka bakar saat bangun.

Tapi sekarang, saat gerbang Vila Adhitama sudah tertinggal puluhan kilometer di belakang, realita mulai merambat masuk ke dalam mobil.

Seperti air dingin yang perlahan naik, menenggelamkan sisa-sisa kehangatan.

Mereka bukan lagi "pasangan serasi yang direstui Oma".

Mereka bukan lagi "tim solid yang melawan dunia".

Mereka kembali menjadi Juan dan Yuni.

Mahasiswa Teknik Kaya Raya dan Mahasiswi Sastra Penerima Beasiswa.

Penyewa dan Karyawan.

Raja dan Bidak.

Yuni melirik Juan lewat sudut matanya.

Juan sedang fokus menyetir, meskipun mobil hanya bergerak satu meter setiap lima menit.

Satu tangan di setir, satu tangan bertumpu di gear stick.

Wajahnya datar. Kaku.

Kacamata hitam aviator menutupi matanya, menyembunyikan apapun yang dia pikirkan.

Rahangnya mengeras, berkedut sesekali.

Tidak ada lagi senyum manis yang dia berikan di depan keluarga.

Tidak ada lagi genggaman tangan yang posesif dan hangat.

Tidak ada lagi ciuman di punggung tangan.

Juan kembali menjadi patung es yang tampan dan tak tersentuh.

"Lapar?" tanya Juan tiba-tiba.

Suaranya memecah keheningan yang sudah berlangsung satu jam.

Yuni tersentak kaget. "Sedikit."

"Kita berhenti di restoran Sunda depan. Aku butuh kopi. Kepalaku sakit."

"Oke."

Percakapan mati lagi.

Kaku.

Berbeda sekali dengan chemistry yang meledak-ledak semalam di bawah lampu taman.

Ke mana perginya Juan yang membisikkan kalimat berbahaya itu?

Apakah Juan menyesal?

Apakah dia menyesal hampir melanggar Pasal Tiga?

Atau dia sedang bingung?

Yuni ingin bertanya.

Juan, apa maksud bisikanmu semalam?

Juan, apa kita bisa... lebih dari ini?

Tapi lidahnya kelu. Tertahan oleh rasa takut.

Dia takut jawabannya.

Dia takut Juan akan tertawa renyah dan bilang, "Oh, itu cuma akting, Yun. Biar Clarissa panas. Keren kan aktingku?"

Kalau itu jawabannya, Yuni tidak yakin hatinya bisa menahan retakan itu tanpa hancur berkeping-keping.

Mobil menepi ke parkiran restoran Sunda yang luas.

Mereka turun.

Udara di sini lebih hangat daripada di vila, tapi masih sejuk.

Bau ikan goreng dan sambal terasi menyambut mereka.

Mereka duduk di saung lesehan yang menghadap kolam ikan mas.

Jauh dari pengunjung lain.

Memesan nasi timbel, ikan gurame bakar, dan sayur asem.

Dan kopi hitam pekat untuk Juan.

Suasananya... canggung.

Sangat canggung.

Mereka duduk berhadapan, tapi mata mereka tidak bertemu.

Yuni sibuk mengamati ikan mas yang berebut makanan di kolam.

Juan sibuk mengaduk kopinya yang masih panas.

Seperti kencan pertama yang gagal total.

Atau seperti pasangan suami istri yang baru saja menandatangani surat cerai.

"Yuni," panggil Juan setelah pelayan pergi.

Dia melepas kacamata hitamnya.

Meletakkannya di meja kayu.

Mata cokelatnya terlihat lelah. Ada kantung mata yang jelas dan garis merah di bagian putih matanya.

Dia terlihat rapuh.

"Ya?"

"Soal semalam..."

Jantung Yuni berhenti.

Ini dia.

Momen kebenaran.

Klarifikasi yang ditakutkan.

"Aku..." Juan ragu.

Dia memutar-mutar cangkir kopinya. Menatap pusaran hitam di dalamnya.

"Aku mungkin... terbawa suasana."

Deg.

Retakan di hati Yuni melebar sedikit. Sakitnya nyaris tak tertahankan.

"Suasananya, lampunya, musiknya... semuanya mendukung buat jadi romantis."

"Dan aku... aku terlalu masuk ke dalam peran. Too deep."

Juan menatap Yuni.

Tatapannya penuh penyesalan. Dan permohonan maaf.

"Maaf kalau aku bikin kamu bingung."

"Maaf kalau aku melanggar batas profesional kita."

"Itu nggak seharusnya terjadi."

Yuni menelan ludah.

Menelan rasa kecewa yang pahit, lebih pahit dari kopi Juan.

Dia memaksakan senyum.

Senyum "profesional" yang dia latih selama tiga hari ini.

"Nggak apa-apa, Juan," katanya. Suaranya ringan. Ceria palsu.

"Aku ngerti kok."

"Kita berdua sama-sama lelah. Sama-sama stres ditekan sana-sini."

"Wajar kalau... emosi jadi campur aduk. Otak kita korslet dikit."

"Itu namanya method acting, kan? Kita terlalu mendalami karakter sampai lupa diri sebentar."

Juan terdiam.

Dia menatap Yuni lama.

Sangat lama.

Seolah mencari kejujuran di balik senyum ceria itu.

Atau mungkin, mencari tanda-tanda kekecewaan yang bisa dia perbaiki.

Tapi Yuni menyembunyikannya dengan rapi di balik tembok pertahanannya.

Dia adalah aktris yang baik sekarang. Lulusan terbaik Vila Adhitama.

"Iya," kata Juan pelan.

Suaranya terdengar hampa.

" Method acting."

Dia mengangguk. Meyakinkan dirinya sendiri.

"Kamu benar. Kita profesional. Kita harus tetap di jalur."

Kata "profesional" itu terasa seperti tembok beton tebal yang jatuh berdebum di antara mereka.

Memisahkan mereka kembali ke posisi masing-masing.

Makanan datang.

Mereka makan dalam diam.

Hanya suara sendok garpu beradu dengan piring tanah liat dan gemericik air kolam yang mengisi kekosongan.

Tidak ada lagi table manner ketat. Tidak ada lagi saling suap.

Yuni makan dengan lahap. Melampiaskan emosi lewat kunyahan.

Juan hanya mengacak-acak nasinya. Makan sedikit.

Setelah selesai, mereka kembali ke mobil.

Perjalanan dilanjutkan.

Masuk ke jalan tol Jagorawi yang lurus, panas, dan membosankan.

Gedung-gedung tinggi Jakarta mulai terlihat di kejauhan, tertutup kabut polusi abu-abu.

Realitas.

"Aku antar kamu ke mana?" tanya Juan saat masuk gerbang kota.

"Kos aja," jawab Yuni.

"Oke."

Mobil meluncur membelah kemacetan ibukota yang bising.

Sampai di depan gang sempit kosan Yuni.

Kontras sekali mobil mewah ini berhenti di depan gang yang penuh jemuran dan motor parkir sembarangan.

Juan memarkir mobilnya di pinggir jalan.

Yuni melepaskan sabuk pengaman.

Bunyi klik pelepasan itu terdengar final.

"Makasih, Juan. Buat tumpangannya. Buat makanannya. Buat bajunya."

"Simpan aja bajunya," kata Juan.

"Aku nggak butuh baju perempuan di lemariku. Anggap bonus kinerja."

"Oke."

Yuni membuka pintu.

Angin panas Jakarta yang berdebu langsung menyerbu masuk.

"Yuni," panggil Juan lagi.

Yuni menoleh. Satu kakinya sudah di aspal.

"Minggu depan..."

"Ya?"

"Kita break dulu."

"Maksudnya?"

"Istirahat dari skenario. Cuti."

"Kamu pasti capek mental. Aku juga banyak tugas numpuk yang terbengkalai."

"Kita nggak usah ketemu dulu di kampus. Kecuali darurat."

"Biar... netral lagi. Biar kita bisa reset otak kita."

Yuni mengangguk.

Meskipun hatinya berteriak tidak mau.

"Ide bagus."

"Kita butuh detoks."

"Hati-hati di jalan, Juan."

Yuni keluar dari mobil.

Menutup pintu dengan hati-hati.

Berjalan masuk ke gang sempit itu tanpa menoleh lagi.

Punggungnya tegak, tapi hatinya remuk.

Dia mendengar suara mesin mobil Juan menderu halus di belakangnya, lalu menjauh.

Pergi.

Yuni sampai di kamarnya di lantai dua.

Kamar yang sempit, lembap, dan sunyi.

Bau apek buku tua menyambutnya.

Dia meletakkan tasnya di lantai ubin yang dingin.

Duduk di kasur tipisnya yang spreinya sudah pudar.

Melihat sekeliling.

Dinding cat kusam yang mengelupas. Kipas angin berdebu yang mati. Tumpukan buku perpustakaan yang belum dibaca.

Inilah dunianya.

Dunia nyata.

Vila Adhitama, gaun sutra, pesta kebun, dansa di bawah bintang, pujian Oma...

Semua itu terasa seperti mimpi demam yang sudah berakhir saat matahari terbit.

Dan Juan...

Pangeran yang menyelamatkannya dari duri mawar...

Dia sudah kembali ke istananya. Menutup gerbangnya rapat-rapat.

Dan Yuni kembali menjadi upik abu yang kesepian.

Bedanya, kali ini, sepatu kacanya tidak tertinggal di tangga istana.

Sepatu kacanya retak di dalam hatinya sendiri.

Yuni membaringkan tubuhnya.

Menatap langit-langit yang retak membentuk pola peta yang tak berujung.

Air mata menetes dari sudut matanya.

Satu tetes. Panas.

Lalu deras.

Dia menangis.

Bukan karena sedih menjadi miskin lagi.

Tapi karena sedih... menyadari bahwa dia tidak ingin sandiwara itu berakhir.

Dia melanggar Pasal Tiga.

Telak.

Dia jatuh cinta pada kliennya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!