Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
khusus kaizen
Untuk hari itu, suasana sekolah terasa lebih tenang dari biasanya. Semua murid dipulangkan lebih cepat karena guru-guru harus mengadakan rapat terkait persiapan ulangan semester 1 untuk kelas 12,11,10. terutama kelas 12 yang sebentar lagi mereka semua akan masuk ke semester 2, dan setelah lulus, jalan hidup mereka akan menapaki babak baru yang berbeda.
“Gak nyangka banget, kita udah mau semester 2 aja,” gumam Ezra sambil menenteng tasnya. Wajahnya terlihat antusias, tapi sekaligus ada sedikit rasa cemas yang terselip di mata kecilnya.
“Iya, waktu berjalan cepat banget, ya. Gue masih inget pas MPLS kemarin, Ezra pake sepatu pink sama tali rapia kuning padahal OSIS suruh sepatu hitam dan tali rapia putih,” goda Leo sambil terkikik kecil.
“Udahlah, jangan dibahas, malu gue,” celetuk Ezra sambil menutupi wajahnya dengan tangannya, membuat semua teman-temannya ikut tertawa kecil.
Tiba-tiba, suara dering handphone memecah percakapan santai mereka. Semua mata otomatis tertuju ke Kaizen, yang mengeluarkan ponselnya dari saku jas sekolah. Nada dering itu membuat suasana sedikit berubah.
Kaizen berdiri dengan cepat, raut wajahnya serius saat menjawab panggilan. “Hallo, Pah? Ada apa?” ucapnya, suaranya terdengar formal, berbeda dengan biasanya yang santai dan bercanda.
Dari seberang terdengar suara tegas namun ramah. “Pulang sekarang. Ada yang ingin papa bicarakan kekamu.”
Kaizen mengangguk singkat. “Iya, Pah, kai langsung pulang, sekarang" jawabnya, sebelum menutup telepon. Matanya kembali menatap teman-temannya, namun kali ini ada sedikit beban di wajahnya.
“Eh, gue duluan ya. Bokap gue nyuruh pulang,” katanya sambil menghidupkan motor sportnya yang terparkir di halaman sekolah. Suara mesinnya menderu halus, membuat beberapa murid di sekitar menoleh kagum.
“Yoii, hati-hati,” teriak Kairo sambil melambaikan tangan ke arah Kaizen.
“Bay!” balas Kaizen singkat sebelum menancap gas dan meninggalkan halaman sekolah dengan kecepatan yang wajar. Sosoknya meninggalkan jejak debu ringan dari aspal sekolah, membuat suasana sejenak terasa sepi di tempat itu.
★★★
Brrummm… brrummm…
Motor sport milik Kaizen berhenti tepat di depan rumah besar bergaya modern itu. Tanpa menunggu mesin benar-benar dingin, Kaizen langsung menurunkan standar dan melepas helmnya dengan gerakan kasar. Dadanya terasa sesak entah kenapa. Sejak menerima telepon tadi, perasaannya tidak enak—seperti ada sesuatu yang akan merampas kebebasannya.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah yang sunyi. Biasanya rumah ini terasa dingin karena sepi, tapi kali ini dinginnya menusuk sampai ke tulang.
“Aden sudah ditunggu di ruang kerja Tuan,” ucap salah satu pembantu yang berdiri di dekat tangga.
“Baik, Bi,” jawab Kaizen singkat tanpa menoleh.
Langkahnya cepat menaiki tangga. Setiap anak tangga yang diinjak terasa berat, seolah membawanya ke keputusan yang tidak ia inginkan. Ia berhenti di depan pintu ruang kerja ayahnya. Tanpa ragu, Kaizen membuka pintu itu.
Cklek.
Papa Erlangga sedang duduk membelakanginya, menghadap jendela besar dengan pemandangan taman belakang. Pria paruh baya itu memutar kursinya perlahan, menatap Kaizen dengan sorot mata tajam.
“Duduk,” perintah Papa Erlangga singkat.
Kaizen menarik kursi dan duduk dengan posisi tegak, meski rahangnya mengeras. “Ada apa Papa manggil Kai? Biasanya kalau urusan rumah, Papa jarang manggil Kai sepulang sekolah.”
Papa Erlangga menghela napas panjang. “Ehemm,” deheman kecil keluar dari bibirnya, seolah sedang menyusun kata yang paling tepat.
“Papa dan sahabat Papa sudah memutuskan satu hal,” ucapnya akhirnya. “Papa mau menjodohkan kamu dengan anak sahabat Papa.”
Detik itu juga dunia Kaizen terasa berhenti.
Matanya membulat, napasnya tercekat. “Apa?” suaranya meninggi tanpa ia sadari.
Brakk!
Tangan Kaizen menghantam meja kerja itu dengan keras. Ia berdiri, tak peduli lagi pada sopan santun yang selama ini selalu ia jaga.
“Selama ini Kai nurut, sama semua yang Papa mau,” ucapnya dengan suara bergetar, antara marah dan terluka. “kuliah yang Papa pilih nanti, hidup yang Papa atur, bahkan mimpi Kai pun Kai pendam demi Papa. Tapi kalau soal perjodohan—Kai gak mau!”
Kaizen melangkah ke arah pintu. Tangannya sudah memegang gagang, siap pergi dari ruangan itu. Namun suara Papa Erlangga menghentikannya.
“Papa gak akan maksa,” ucap pria itu dengan nada datar. “Tapi jangan menyesal kalau semua fasilitas Papa cabut. Motor itu, kartu-kartu kamu, bahkan biaya sekolah—semua dari Papa.”
Kaizen terdiam.
Tangannya yang memegang gagang pintu mengendur perlahan. Dadanya naik turun, pikirannya kacau. Ia tahu betul ayahnya bukan sedang menggertak. Selama ini, semua yang ia punya—hidup nyaman, sekolah, kebebasan bergerak—semuanya berasal dari satu orang itu.
Ia berbalik perlahan.
“Kalau Kai terima…” ucap Kaizen pelan, suaranya kosong. “Papa puas?”
Papa Erlangga menatapnya lama. “Papa hanya ingin yang terbaik.”
Kaizen tersenyum kecil—senyum pahit yang bahkan terasa menyakitkan bagi dirinya sendiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia keluar dari ruangan itu dan melangkah menuju kamarnya.
Begitu pintu kamar tertutup—
Brakk!
Kaizen menyapu meja belajarnya hingga buku-buku terjatuh ke lantai.
Prangg!
Vas kecil di sudut meja pecah saat dilempar ke dinding.
“Akhhh!” teriaknya frustasi.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, bersandar pada tempat tidur. Tangannya mencengkeram rambut sendiri, napasnya terengah. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Di satu sisi, ia tak ingin menerima perjodohan itu. Hatinya sudah tertanam pada satu gadis, seseorang yang membuatnya merasa hidup, bebas, dan menjadi dirinya sendiri.
Namun di sisi lain, ia juga tahu kenyataan pahit: tanpa fasilitas dari papanya, ia bukan siapa-siapa. Ia belum punya apa-apa. Ia masih bergantung.
“Kenapa harus sekarang…” gumamnya lirih.
Kaizen menutup wajahnya dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terjebak. di hidup yang tidak pernah sepenuhnya ia pilih sendiri.
Dan malam itu, Kaizen sadar—perjodohan ini bukan sekadar rencana keluarga. Ini adalah awal dari konflik besar yang perlahan akan menyeret semua orang ke dalamnya.