NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:268
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fiksi yang Menolak Mati

Langit di atas halaman parkir rumah sakit itu mulai runtuh. Bukan runtuh dalam bentuk bongkahan batu, melainkan mengelupas seperti cat dinding tua, menampakkan warna putih menyilaukan di baliknya. Suara gemuruh statis, seperti suara TV yang kehilangan sinyal, semakin keras, menelan suara tangisan ibu Rian di kejauhan.

Elara berdiri berhadapan dengan Roh Rian. Di antara mereka, ada jurang pemisah yang tak terlihat namun absolut: batas antara kenyataan dan imajinasi.

"Pilih, El," ulang Rian, matanya basah. "Gue bisa tetep tidur. Gue bisa bikin mimpi ini abadi. Kita bisa hidup di sini, nulis cerita kita sendiri tanpa Adrian, tanpa hantu, tanpa rasa sakit."

Tawaran itu menggoda. Sangat menggoda. Hidup bahagia selamanya di dalam mimpi yang sempurna. Siapa yang butuh realitas kalau realitas itu menyakitkan?

Tapi kemudian, Elara teringat Elena.

Elena terjebak di loteng selama puluhan tahun karena obsesi Adrian yang ingin "mengabadikan" musiknya. Adrian menolak melepaskan Elena karena dia mencintainya dengan cara yang sakit.

Kalau gue nahan Rian di sini... apa bedanya gue sama Adrian? batin Elara.

Elara melangkah maju. Tangan transparannya mencoba menyentuh wajah Rian. Kali ini, karena Rian juga bagian dari mimpi ini, dia bisa merasakannya. Dingin, tapi padat.

"Gue sayang sama lo, Yan," bisik Elara, menatap mata cokelat itu dalam-dalam. "Sayang banget. Dan karena gue sayang... gue nggak mau lo jadi tawanan di kepala lo sendiri."

Rian menggeleng pelan, air mata menetes. "Tapi lo bakal ilang, El. Lo bakal jadi debu memori."

"Mungkin," Elara tersenyum getir. "Tapi setidaknya gue pernah ada. Gue pernah berjuang bareng lo. Gue pernah bikin lo ketawa, bikin lo kesel, bikin lo berani."

Elara mendekatkan wajahnya, mengecup kening Rian dengan lembut.

"Bangun, Rian. Dunia nyata butuh lo. Mama lo butuh lo. Tulis cerita yang bagus di sana, oke? Dan kalau lo kangen gue... tulis gue lagi."

Elara mendorong dada Rian pelan.

"BANGUN!"

Dorongan itu memicu reaksi berantai.

WUUUSH!

Tubuh Roh Rian hancur menjadi ribuan kupu-kupu cahaya yang terbang ke atas, menembus langit mimpi yang runtuh.

Dunia di sekitar Elara meledak. Rumah sakit, aspal parkiran, pohon-pohon, semuanya tersedot ke dalam pusaran putih hampa.

"Elara!"

Suara Sarah dan Bobi terdengar dari belakang. Elara menoleh. Dua temannya itu berlari mendekat, tubuh mereka juga mulai memudar menjadi sketsa pensil kasar.

"Kita kenapa, El?!" teriak Bobi panik, melihat kakinya sendiri berubah jadi garis-garis arsir. "Kok gue jadi gambar komik?!"

"Rian bangun, Bob," kata Elara tenang. Dia merentangkan tangannya, menyambut kedua sahabatnya itu. "Mimpinya selesai."

Sarah, yang biasanya logis dan keras, kali ini terlihat rapuh. Dia memeluk Elara erat-erat. "Gue nggak mau ilang, El. Gue ngerasa nyata. Punggung gue sakit, gue laper, gue takut... masa gue cuma imajinasi?"

"Lo nyata buat gue, Sar. Lo nyata buat gue," bisik Elara, memeluk mereka berdua saat gelombang putih menyapu mereka.

"Kalau ini ending-nya," gumam Bobi sambil memejamkan mata, "seenggaknya gue mati bareng orang-orang keren."

Cahaya putih menelan mereka bertiga.

Hening.

Kosong.

Dunia Nyata. ICU Rumah Sakit Pusat.

"Hhhh!"

Seorang pemuda di atas ranjang rumah sakit tersentak bangun. Tubuhnya kejang sesaat, paru-parunya menghirup oksigen murni dengan rakus, seolah dia baru saja muncul dari dasar lautan terdalam.

Monitor EKG di sampingnya menjerit-jerit panik karena lonjakan detak jantung.

"Dokter! Dia sadar! Rian sadar!" suara wanita paruh baya berteriak histeris.

Rian membuka matanya lebar-lebar.

Cahaya lampu neon menyakitkan retinanya. Bau antiseptik menyengat hidungnya. Rasa sakit yang teramat sangat menghantam sekujur tubuhnya, tulang rusuk yang retak, kaki yang patah, kepala yang diperban tebal.

Ini bukan sakit tinta emas. Ini sakit fisik. Sakit manusiawi.

"Rian? Nak? Kamu denger Mama?"

Wajah ibunya muncul di pandangannya. Wajah itu tua, lelah, dan basah oleh air mata.

"Ma..." suara Rian serak, nyaris tak terdengar karena tenggorokannya kering kerontang.

"Akhirnya! dua minggu kamu koma, Nak..." Ibunya memeluk Rian, tangisnya pecah.

Rian terdiam, membiarkan ibunya memeluknya. Otaknya masih memproses transisi yang brutal ini.

Dua minggu?

Dia merasa baru saja bertualang selama berhari-hari di villa, di dunia kertas, di desktop komputer.

"Elara..." bisik Rian.

Ibunya melepaskan pelukan, menatap Rian bingung. "Siapa, Nak? Elara?"

"Teman Rian, Ma..." Rian mencoba bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Matanya liar mencari ke sekeliling ruangan ICU. "Elara... Sarah... Bobi... mereka di mana? Mereka selamat kan?"

Ibunya mengerutkan kening, lalu menoleh ke dokter yang baru masuk. Dokter itu menggeleng pelan, memberi kode untuk tidak memaksakan pasien.

"Rian sayang," kata ibunya lembut sambil mengusap rambut Rian. "Kamu kecelakaan tunggal. Mobilmu masuk jurang di tol Cipularang. Kamu sendirian di mobil itu."

Dunia Rian berhenti berputar.

"Sendirian?" ulang Rian hampa.

"Iya. Polisi bilang kamu mungkin ngantuk. Nggak ada penumpang lain. Tas kamu, laptop kamu, semuanya hancur. Tapi kamu ajaib, kamu terlempar keluar sebelum mobil meledak."

Rian jatuh kembali ke bantal. Tatapannya kosong menatap langit-langit.

Sendirian.

Jadi benar kata Adrian Kecil? Elara, Sarah, Bobi... mereka cuma manifestasi dari kesepiannya? Mereka cuma karakter yang dia ciptakan di kepalanya untuk menemaninya melewati masa koma?

Rasa kehilangan itu menghantam Rian lebih sakit daripada patah tulang kakinya. Rasanya seperti ada bagian jiwanya yang diamputasi tanpa bius. Dia menangis tanpa suara. Air matanya mengalir ke samping telinga.

Satu Minggu Kemudian.

Rian sudah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Kondisi fisiknya membaik dengan cepat, tapi dia jarang bicara. Dia menghabiskan waktu menatap jendela, melihat hujan turun membasahi kaca.

Psikiater bilang dia mengalami depresi pasca-trauma dan halusinasi akibat cedera otak. Rian mengiyakan saja. Lebih mudah pura-pura gila daripada menjelaskan soal Monster Typo dan Jalan Tol Kertas.

"Ini barang-barang kamu yang berhasil diselamatkan polisi, Mas," kata seorang perawat, meletakkan kantong plastik bening di meja samping kasur.

Rian menoleh malas. "Makasih, Sus."

Setelah perawat keluar, Rian membuka kantong plastik itu.

Isinya menyedihkan. Dompet kulitnya yang hangus separuh. KTP yang meleleh pinggirnya. Jam tangan yang kacanya pecah berhenti di angka 06:15. Dan sisa-sisa pakaiannya yang robek dan penuh darah kering.

Rian mengaduk-aduk isi kantong itu tanpa minat. Dia mencari... entah apa. Mungkin dia berharap nemuin bukti.

Tangan Rian menyentuh saku celana jeans-nya yang sudah robek parah dan kaku oleh darah kering.

Ada sesuatu yang keras di dalamnya.

Jantung Rian berdegup kencang.

Dengan tangan gemetar, Rian merogoh saku itu. Dia menarik benda itu keluar.

Sebuah benda kecil dari kayu eboni. Hitam, halus, dan berkilau.

Tuts Piano.

Tuts dengan ukiran angka 88 di bawahnya.

Rian menahan napas. Matanya terbelalak.

Ini tuts yang dipakai Elara! Tuts yang diberikan Elena! Tuts yang digunakan untuk membunuh monster Sarah dan menghancurkan keyboard Adrian!

Kalau Elara cuma imajinasi... kenapa benda ini ada di saku celana Rian di dunia nyata?

Dan kalau Rian sendirian di mobil... siapa yang memasukkan benda ini ke sakunya?

Rian menggenggam tuts itu erat-erat. Benda itu terasa hangat. Sangat hangat. Seolah-olah masih menyimpan suhu tubuh seseorang yang baru saja memegangnya.

Tiba-tiba, Rian merasa ada getaran di saku celana baju pasiennya.

Bukan, bukan getaran HP. Dia nggak punya HP lagi.

Getaran itu berasal dari... tinta?

Rian melihat punggung tangan kanannya. Di bawah kulitnya, pembuluh darah venanya yang biasanya biru, tiba-tiba berdenyut dengan warna keemasan samar.

Hanya sedetik, lalu kembali normal.

Tapi itu cukup.

Rian menyeringai. Senyum pertamanya sejak bangun dari koma.

Dia tidak gila. Cerita itu nyata. Atau setidaknya, cerita itu menjadi nyata.

Rian meraih buku catatan dan pulpen yang dibawakan ibunya (karena ibunya tau Rian suka nulis). Dia membuka halaman pertama yang masih bersih.

Dia meletakkan tuts piano hitam itu di atas meja sebagai pemberat kertas.

"Oke, Adrian," gumam Rian, matanya bersinar tajam. "Lo bilang gue sendirian? Lo salah."

Rian mulai menulis. Bukan dengan keraguan, tapi dengan keyakinan seorang Pencipta yang marah.

Kalimat pertamanya berbunyi:

"Bab 32: Cara Menghidupkan Orang Mati dengan Tinta dan Kenangan."

Saat Rian menulis huruf terakhir kalimat itu, pintu kamar rawatnya diketuk pelan.

Tok. Tok. Tok.

Rian berhenti menulis. "Masuk."

Pintu terbuka.

Seorang gadis muda melongokkan kepalanya. Dia memakai seragam kurir pengantar bunga. Dia membawa buket bunga Edelweiss yang dikeringkan.

"Permisi, Mas Rian? Ada kiriman bunga tanpa nama pengirim," kata gadis itu.

Rian terpaku.

Gadis itu... wajahnya asing. Rian tidak kenal.

Tapi saat gadis itu masuk dan berjalan mendekat, dia tersandung kakinya sendiri dan hampir menjatuhkan vas bunga di meja.

"Eh, copot! Aduh, maap Mas, saya emang kikuk," gadis itu nyengir malu sambil membenarkan letak kacamatanya.

Gerakan itu. Cengiran itu.

Dan di pergelangan tangan kiri gadis kurir itu... ada bekas luka parut melingkar. Bekas luka yang terlihat seperti... tusukan pulpen yang sudah sembuh lama?

Gadis itu meletakkan bunga di meja, tepat di sebelah tuts piano hitam itu.

Saat dia melihat tuts piano itu, dia terdiam. Matanya membelalak, seolah ada memori yang mendadak menghantam kepalanya.

Dia menatap Rian.

"Mas..." kata gadis itu ragu, suaranya bergetar. "Kita... pernah ngopi bareng nggak sih? Kok saya ngerasa kenal Mas ya? Rasanya kayak......"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!